MANTAN ORGANIK 14 - MENYEBAR ANGKET

2015 Kata
Ajeng, Andin dan Ayu berkumpul di taman jamur untuk melihat angket-angket yang mereka sebar. Ajeng yang paling bersemangat karena sepertinya, kali ini ia akan mendapat banyak kandidat. "Wah, kayaknya sekarang banyak banget nih dapetnya!" seru Ajeng sambil mulai membaca satu persatu angket di tangannya. Andin dan Ayu hanya bisa membuang napas kasar karena tidak terlalu tertarik dengan hasil yang didapat. "Eh, ayo dong kalian baca ini. Pilihin dulu mana yang masuk." ucap Ajeng yang menyodorkan angket ke arah Andin dan Ayu. Kedua sahabat Ajeng itu hanya mendelik sebelum mengambil angket dan membacanya. Di tengah kekhusyukan mereka membaca, tampak wajah Ajeng yang mulai murung. Ia menaruh angket dengan agak kasar dan membuat Andin dan Ayu menoleh ke arahnya. "Kenapa, Jeng?" tanya Andin. "Ih, males banget gue!" balas Ajeng sewot. Ia melempar angket di tangannya ke samping dirinya dan memasang wajah masam. Hal itu membuat Andin dan Ayu mengambil angket yang Ajeng lemparkan tersebut. Kedua gadis itu saling pandang dan tersenyum lebar setalah tahu apa yang membuat Ajeng marah-marah. "Kenapa sih, Jeng?" tanya Ayu yang pura-pura tidak tahu. "Lo liat aja sendiri, deh!" Ajeng melirik angket yang sebenarnya sudah Andin dan Ayu lihat itu. "Ah, udah deh, Jeng. Ini berarti lo udah nemu kandidatnya, kan." ucap Ayu. "Bener, tuh. Kita udah nemu, nih. Apa lagi yang lo pikirin lagi, sih?" Andin ikut mengompori. Ajeng menyandarkan tubuhnya dengan lesu karena merasa tidak setuju dengan apa yang tertera di angket. "Jeng, ayo. Kesempatan bagus, kan?" Andin merasa begitu puas dengan jawaban di angket sebenarnya. Karena, itu yang diam-diam Andin dan Ayu harapkan. "Nggak mau! Gue kesel banget, deh!" Ajeng masih membantah kenyataan yang membuat dirinya kesal. Ya memang hasilnya sudah terlihat dan sudah mendapat kriteria yang diinginkan. Tetapi, mengapa harus seperti ini hasilnya? Kan, tidak menguntungkan baginya. Malah lebih merugikan. "Jangan gitu, Jeng. Ini kan emang udah dapet hasilnya. Tinggal kita lanjutin. Bener, kan?" Andin dan upaya mengomporinya masih tetap berjalan. Ia berusaha untuk meyakinkan Ajeng agar melanjutkan misi ini dengan segala hasil yang yang didapatkan. "Ya ampun. Apa sih yang lo pikirin lagi, Jeng?" Ayu juga menambahkan. "Nggak, ya. Gue nggak mau!" balas Ajeng tak mau kalah. Kedua sahabatnya memikirkan cara untuk membuat Ajeng mengiyakan ini. Tetapi, seperti agak sulit membuat Ajeng yakin dengan hasil ini mengingat wajahnya malah terlihat semakin murung. "Nggak mau pokoknya!" Ajeng bersikukuh tidak ingin mengiyakan meski kedua sahabatnya sudah membujuknya dengan cukup halus. "Lagian, kenapa sih harus pada jawab kak Dafa? Mana banyak, lagi!" protes Ajeng tak terima. Ya, yang membuat ia kesal adalah, tak hahya satu jawaban mantan yang baik versi mereka adalah Dafa dan itu sangat mengganggunya. Ajeng menghentakkan kakinya ke tanah seperti anak kecil yang merajuk. Andin dan Ayu melihat sikap Ajeng tersebut dengan malas. Oh, bayangkan saja bagaimana keras kepalanya Ajeng akan hal ini. Ia sangat tidak terima dengan semua yang ia baca tersebut. "Ya itu artinya, Dafa mantannya banyak." jawab Andin yang membuat Ayu menyenggol lengannya. "Maksudnya, Dafa itu mantan yang baik." Andin mengoreksi perkataannya yang membuat Ajeng menoleh sejenak sebelum kembali menyandarkan tubuhnya dengan lemas. Bagaimana mungkin ia menjadikan Dafa sebagai target misinya sedangkan Dafa merupakan orang yang ia sukai? Selain itu, jawaban mereka juga membuatnya kesal. Apa memang mantan Dafa sebanyak ini? "Ini kenapa mantannya kak Dafa banyak, sih?" "Ya udah tau mantan Dafa banyak, lo kalo mau sama dia, cuma dijadiin salah satu koleksinya aja." batin Andin berteriak kencang. Andai saja ia bisa menyuarakan ini langsung kepada Ajeng. Sayangnya, ia tahan karena tidak ingin ada lagi pertikaian di antara mereka. "Kalian laper gak, sih?" Ayu tiba-tiba memecah kecanggungan di antara mereka. Suasana yang tidak menyenangkan seperti ini tidak akan ia biarkan terlalu lama. Siapa tahu, setelah makan, pikiran Ajeng akan menjadi lebih baik dan mengiyakan pendapat kedua sahabatnya juga mempertimbangkan isi dari angket yang disebarnya. "Gue laper!" sahut Andin dengan kerasnya. Hal itu membuat Ajeng yang duduk di sebelahnya agak terkejut. "Lo laper juga kan, Jeng?" tatapan Ayu beralih pada Ajeng yang masih tampak tak memiliki semangat hidup itu. "Laper, sih." cicit Ajeng. Daripada membahas hasil angket yang akan membuat suasana di antara mereka semakin memanas, lebih baik makan bakso dan minum segelas es teh manis. Bahkan, Ajeng yang sebelumnya ogah-ogahan saat ditanya ingin makan atau tidak, kini menjadi yang paling semangat memesan. "Pak, punya saya pake bakso, ya." ucap Ajeng yang membuat sang pedagang bakso menggeleng pasrah. Tak hanya itu, ucapan nyeleneh Ajeng ini membuat kedua sahabatnya menggeleng heran. Bisa-bisanya Ajeng berkata seperti itu. "Ya kan saya memang jualan bakso, Neng. Kalau saya jualan bubur, saya kasih bubur." jawab si pedagang bakso yang membuat tawa Andin dan Ayu meledak seketika. "Maksud teman saya, Bapak kasih baksonya ke tangan dia aja langsung. Nggak usah pake mangkok, Pak. Teman saya mau menjajal ilmu kebal." celetuk Andin yang membuat Ayu tak henti-hentinya tertawa. Anehnya, si pedagang bakso malah serius mendengarkan apa yang Andin katakan lalu beralih menatap Ajeng. "Bener, Neng?" "Lah, Pak. Kita bercanda aja. Si Bapaknya percayaan aja." balas Andin yang membuat pria paruh baya itu tampak kecewa. "Yah, padahal saya udah seneng bisa liat debus. Siapa tau, bakso saya jadi viral dan rame." balas si bapak dengan raut agak kecewa. Ketiga remaja itu hanya bisa tertawa dan meminta maaf karena sudah bercanda. "Maaf ya, Pak. Bercanda aja biar nggak tegang-tegang amat, kita." ucap Ajeng. "Iya, Neng. Saya mah santai, kok. Karena kalian lucu, saya kasih bonus deh, baksonya." Hal itu membuat ketiga remaja yang masih mengenakan seragamnya itu bersorak. Sepertinya, bakso yang kini sudah tersaji di hadapan mereka sekarang lebih menarik daripada angket yang membuat Ajeng galau. "Eh, tadi matematika dijadiin PR apa nggak, sih?" tanya Ayu yang membuat Ajeng tersedak. Bisa-bisanya Ayu membahas tugas saat mereka makan. Ya tentu saja itu membuat Ajeng terkejut. "Kayaknya iya, deh. Yang di papan tulis, kan?" sahut Andin. "Ih, bisa nggak sih, kalian gak bahas tugas dulu? Kita lagi makan, nih." Ajeng memutus pembicaraan mereka. "Oh, oke." cengir Ayu. Mereka menghabiskan bakso hingga tak tersisa bahkan sampai kuahnya. "Jadi, mau langsung balik, nih?" Pertanyaan Andin mencuri atensi Ayu yang tengah sibuk mengunyah es batu. "Enak aja pulang. Balik lagi ke taman. Kita kan belum kelar bahas yang tadi." balas Ajeng. Andin membuang napasnya kasar. Ia pikir, Ajeng akan lupa setelah makan. Ternyata, masih saja ingat. "Lo tinggal iyain aja, Jeng. Abis itu, kita mulai misinya. Beres, kan?" Ayu berbicara dengan santainya. "Nggak bisa gue iyain gitu aja dong, Yu. Ini masalahnya kak Dafa." Mereka sudah kembali ke taman ssat ini. Tentu saja dengan bahasan yang masih sama seperti sebelumnya. Ajeng yang bersikukuh tidak ingin menjadikan Dafa target selanjutnya padahal hasilnya sudah terbukti banyak. Dan Andin juga Ayu yang berusaha meyakinkan Ajeng. "Jeng, kita udah capek-capek sebar angket dan sekarang kita udah dapet hasilnya. Ini udah valid dong, berarti?" Andin dengan usaha kerasnya terus meyakinkan Ajeng. "Bener, tuh. Emangnya, lo mau kalo harus nyari lagi dari awal? Kan capek, Jeng. Lo sendiri yang kemarin yakin banget kalo cara ini bakalan berhasil. Ayolah." Ayu juga tak kalah kuat membujuk Ajeng yang kini malah beranjak dari tempat duduknya. "Gue balik duluan, deh. Kepala gue agak pusing." ucapnya membuat Andin dan Ayu saling pandang. "Lo ngambek sama kita, Jeng?" tanya Ayu. "Iya. Kita kan pulangnya naik angkot yang sama." lanjut Andin. "Gue nggak ngambek. Cuma, gue emang tiba-tiba pusing aja. Mau cepet nyampe rumah. Jadi, gue duluan, ya." ucap Ajeng lesu. Andin dan Ayu tidak membalas apapun selain mengangguk dan membiarkan Ajeng pulang terlebih dahulu. "Dia beneran nggak ngambek, kan?" tanya Andin. "Kayaknya nggak, deh. Dia emang mau balik cepet aja, kali." sahut Ayu. "Mukanya emang agak pucet. Apa karena hasil angket itu, ya?" tebakan Andin tidak terlalu salah sepertinya. "Bisa jadi. Anaknya batu banget, sih. Heran gue!" Sebenarnya, Andin dan Ayu cukup puas dengan hasil angket itu. Karena, Ajeng harusnya bisa membuka mata kalau Dafa itu memiliki banyak mantan dan baik yang ditunjukkannya itu memang tak hanya pada satu orang saja. Andin dan Ayu memang tidak pernah setuju dengan Ajeng yang naksir Dafa. Mereka hanya tidak ingin Ajeng kecewa. Mengingat sahabatnya yang satu itu tidak berpengalaman dalam masalah percintaan. Mungkin, Ajeng akan menilai kalau mereka berdua terlalu egois. Tetapi, mereka tentu saja bukan melakukan ink karena dendam atau apapun. Melainkan, karena mereka teman dekat yang harus melindungi satu sama lain. "Orang kalo lagi kasmaran bakal susah banget, Ndin. Gue takut kita malah marahan lagi gara-gara ini." ucap Ayu frustasi. "Kita balik, yuk. Lanjut ngobrol di jalan." ucapan Andin ini diangguki oleh Ayu. "Bener banget. Gue juga sebenernya agak takut dia ngambek lagi. Tapi, gue lebih takut dia kenapa-napa. Tapi anaknya emang batu banget. Capek gue." sambung Andin. Kedua sahabat Ajeng itu tetap membahas masalah ini sepanjang perjalanan pulang. "Kita harus mastiin kalo Ajeng nggak ngambek gara-gara ini." bisik Andin. Mereka berbisik bukan tanpa alasan. Itu karena saat mereka mengobrol sebelumnya, orang lain yang berada di dalam angkot melirik ke arah mereka karena merasa tidak nyaman dengan obrolan kedua remaja itu yang terlalu keras. "Kita chat aja di grup." usul Ayu. "Nggak. Takutnya nggak bakal direspon. Gimana kalo lo bilang kita mau ngerjain matematika bareng aja? Terus, teleponan. Dia pasti nggak bakal nolak tuh. Atau, kalo dia ngambek, dia bakal nolak." "Ide bagus!" Di tempat lain, Ajeng yang pulang dengan memesan ojek online itu sudah sampai di depan rumahnya. Setelah membayar, ia berjalan lesu ke dalam rumahnya. Ia masih memikirkan isi angketnya. Mengapa akhirnya harus seperti ini? "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." jawab sang ibu yang tengah duduk santai sambil membaca katalog tupaiware edisi terbaru. "Waduh, diliat-liat, lemes banget mukamu, Kak." Tentu saja, yang bicara ini bukan ibunya melainkan sang adik yang motto hidupnya memang tiada hari tanpa menggoda Ajeng. "Apa sih, Mir? Kakak lagi nggak pengen berantem sama kamu, ya!" Ajeng menatap sewot sang adik. "Udah, Mir. Kamu ini hobi banget usilin kakakmu. Jeng, kamu ke kamar aja. Ganti baju dulu." "Oke, Ma." Untung saja, ibunya menengahi. Jadi, tak ada sesi percekcokan antara kakak beradik itu. "Cinta remaja memang sulit." gumam Mira sok tua. Malam harinya, setelah makan malam, Ajeng menerima pesan di grup yang mengajak mengerjakan matematika bersama. Kepalanya agak pusing tapi ia tidak ingin tertinggal dan harus sibuk menyalin besok. Jadi, ia mengiyakan apa yang Ayu katakan di grup mereka. "Gue pikir lo udah tidur, Jeng. Gimana pusingnya? Udah enakan?" tanya Andin mengawali sesi mengerjakan tugas mereka. Tak banyak basa-basi dan mereka mulai membahas tugas satu persatu. "Yang nomor tiga ini kenapa susah banget, deh?" "Iya. Gue udah nyoba tiga kali tetep aja nggak dapet." Andin dan Ayu saling bersahutan membahas tugas mereka. Hanya Ajeng yang tetap diam karena ia lebih memilih mengerjakan saat hasilnya sudah didapat. Memang luar biasa. "Udah besok aja deh kerjain langsung aja. Jeng, lo masih pusing, gak?" "Lumayan." sahut Ajeng singkat. "Ini lo beneran nggak ngambek sama kita, kan?" Pertanyaan Ayu dibalas gelengan oleh Ajeng. "Nih ya, Jeng. Kita itu nggak mau lo sudah payah lagi nyarinya abis ini. Ibaratnya, mita udah susah payah jaring ikan dan kita udah laper banget. Pas ikannya dapet, masa lo rela nahan laper dan milih lepasin ikannya?" Andin mencoba meyakinkan Ajeng kembali. Kali ini, gadis itu sampai memberikan perumpamaan. "Gimana, Jeng? Lo masih harus mikir dulu apa gimana? Ini udah fix dapet, lho. Bahkan, nggak satu orang doang yang jawab. Lo masih nggak yakin di sebelah mananya, sih?" Ajeng yang terus mendapat gempuran dari kedua sahabatnya itu semakin berpikir keras. Apa memang jalan ini akan ia ambil dan harus merelakan Dafa masuk ke daftar misi mereka? Atau dirinya egois saja karena ingin tetap dekat dengan Dafa? Ah, ini merupakan pilihan yang terlalu menyebalkan bagi Ajeng mengingat mencari kandidat mantan organik begitu sulit sejauh ini. "Gue bingung banget." ucap Ajeng. Wajahnya tampak benar-benar frustasi karena harus memikirkan hal ini. "Apa lagi yang bikin lo bingung sih, Jeng? Tinggal iya. Kita lanjut ke tahap selanjutnya. Beres, kan? Tinggal itu doang yang belum lo iyain." "Bener, Jeng. Bukannya lebih cepat lebih baik?" Andin dan Ayu ini benar-benar menjalankan misi tidak setuju Ajeng dengan Dafa dengan sangat keras. Mereka akan terus berusaha meyakinkan Ajeng agar mengiyakan Dafa masuk ke dalam daftar target sampai Ajeng mengiyakannya. "Gue pikirin dulu, deh. Makasih udah bantuin gue, ya. Besok gue kasih jawabannya." ucap Ajeng yang diangguki oleh kedua sahabatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN