MANTAN ORGANIK 13 - ANDIN BALIKAN

2010 Kata
"Kok kalian balikan, sih?!" tanya Ajeng sambil menatap Andin kesal. Hal itu sukses membuat Ayu dengan tangan ringannya menoyir kepala Ajeng. "Aw! Kok gue ditoyor, sih!" protes Ajeng sambil memegangi belakang kepalanya. "Ya pertanyaan lo anjir banget. Orang mah temen balikan tuh seneng. Ini malah kecewa. Lo temen macem apaan, sih? Kita tarik maaf buat lo, mau?" ancam Ayu. Ancaman tersebut sontak membuat Ajeng menggeleng cepat. Ah, salah bicara lagi ia. "Iya, sorry. Nggak maksud gitu. Gue cuma bingung aja soalnya target yang tepat malah lepas. Tapi, selamat deh buat lo, Ndin. Akhirnya, ya." Ajeng menatap Andin agak takut-takut. "Iya. Paham kok, gue." sahut Andin. Mereka bertiga tampak berpikir tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Ah, lebih tepatnya hanya Ajeng yang berpikir. Karena, Andin dan Ayu malah memikirkan bagaimana cara mereka pulang dengan cepat. "Kalian udah ada kepikiran apa?" tanya Ajeng yang dibalas gelengan oleh kedua sahabatnya. "Lah, gue kira tadi kalian mikir." "Apaan? Gue mau cepet pulang! Udah sore nih. Takut ujan." sahut Ayu kesal. "Terus, ini misi kita gimana?" Pertanyaan Ajeng membuat Andin dan Ayu mendengus kesal. Oh, ayolah ini sudah sangat telat untuk pulang dan Ajeng masih memikirkan hal yang tidak penting seperti ini? Ingin rasanya Andin dan Ayu melempar Ajeng ke got di samping jalan raya. Tetapi, mereka masih berperikekawanan. Jadi, mereka mencoba mempertahankan kesabaran mereka yang setebal kulit bawang itu. "Ayo, balik! Besok atau lusa masih ada waktu." ujar Andin yang membuat Ajeng akhirnya mengangguk. Ya, kalau tidak dibujuk seperti ini, Ajeng mana mau mendengar? Walaupun, sebenarnya mereka tidak yakin juga esok akan melakukannya lagi. Semoga saja Ajeng lupa dengan misinya sendiri. Ketiga remaja itu menunggu angkot yang lewat ke depan sekolah mereka. Mereka harap masih ada angkot terakhir di hari yang sudah sore ini. "Ah, untung aja masih ada." ucap Andin yang mendahului kedua sahabatnya untuk masuk ke dalam angkot. Benar saja, ini adalah angkot terakhir yang kalau mereka terlewat sebentar saja, tidak akan dapat. Beruntungnya lagi, tidak padat penumpang karena akan pulang. "Eh, jadi lo beneran balikan sama Zafir?" tanya Ajeng kepada Andin yang memecah keheningan di antara mereka. "Hmm..." Andin hanya membalasnya dengan dehaman. "Padahal, kita udah menemukan target. Tapi, ya bagus deh kalo kalian balikan. Lo kan belum move on dari dia." ucap Ajeng yang kali ini disahuti oleh Ayu. "Kita udah bahas ini kemarin. Nggak usah dibahas lagi." "Ya, tapi kan gue belum bahas, ya." "Makanya, pedekatean aja sono sama si monyet." ucap Ayu sebal. "Kita kan udah damai. Kok lo masih bahas ini, sih? Gue kan udah janji nggak bakal kayak begini lagi. Beneran ini." Ajeng menatap Andin dan Ayu secara bergantian. Ajeng mencoba meyakinkan kedua sahabatnya yang rupanya masih menyimpan kekesalan karena kemarin itu. "Bang, kiri, Bang!" teriak Andin. Andin turun terlebih dahulu yang sepuluh menit kemudian disusul oleh Ayu. Ya, Ajeng yang turun terakhir. Mereka tidak lagi membahas tentang Ajeng maupun tentang gagasan mantan organik saat tidak bertiga. Ajeng juga masih merasa sedikit bersalah kepada Andin dan Ayu. Tetapi, semua ini harus berjalan dengan baik. Jadi, ia mencari cara lain agar misinya kali ini berjalan dengan baik. Sampai di rumah, Ajeng langsung membuka laptopnya. Ia mencari cara promosi yang baik. Matanya sampai juling karena menggulir layar dengan cepat. Namun, tak menemukan apapun yang bisa ia jadikan cara untuk mempromosikan mantan organik ini. "Ah, kok pusing banget, sih?" Ajeng mengacak rambutnya frustasi. "Tapi gue nggak boleh nyerah!" serunya dengan wajah yang lebih cerah. Untung saja, aksinya tadi tak dilihat siapapun. Bisa-bisa, Ajeng dianggap memiliki kepribadian ganda karena hal ini. "Mama, kak Ajeng belum ganti seragam udah tiduran, nih!" teriak Mira yang entah sejak kapan berada di ambang pintu kamar sang kakak. "Ini apa lagi, sih bocah? Bikin orang tambah pusing aja!" Ajeng mendorong tubuh Mira agar tak menghalangi pintu kamarnya. Lalu, ia menguncinya dari dalam. Satu masalah beres karena tidak lagi berisik. Ia kembali berpikir cara apa yang akan ia gunakan selanjutnya. Tetapi, sebaiknya ia mandi terlebih dahulu daripada ibunya memergoki dirinya yang belum mandi dan kena omel lagi. "Kamu kenapa ngelamun mulu, Jeng? Ngga baik lho ngelamun depan makanan." ucap ibu Ajeng yang melihat anaknya melamun di sela-sela makan malam. "Lagi mikirin kenapa masih jomlo kali, Ma." celetuk Mira yang membuat Ajeng hampir melempar ayam goreng di tangannya kepada sang adik. Untung saja, ia masih sayang ayam gorengnya. Jadi, ia memilih untuk memakannya dengan raut wajah kesal. Ia tidak ingin terlibat lebih banyak urusan dengan sang adik yang usilnya kebangetan. Ajeng memutusakan untuk kembali ke kamarnya setelah makan malam. "Wah, emang bener kalo perut kenyang, pikiran berjalan dengan lancar!" seru Ajeng yang menemukan sebuah ide di kepalanya. Tak menunggu waktu lama, ia segera membuka laptopnya kembali dan tampak serius menggarap apa yang ada di dalam pikirannya. "Andin sama Ayu pasti kagum nih sama gue." ucapnya bangga sebelum mematikan lampu dan menjelajah ke alam mimpi. Ajeng siap menyambut hari esok yang ia yakin akan lebih baik dari sebelumnya. "Nggak sabar besok, deh. Selamat tidur, Ajeng." Esoknya, Ajeng benar-benar terlihat begitu bahagia. Perubahan sikapnya itu membuat sang adik lagi-lagi meledeknya. "Semalem ngelamun, sekarang senyum-senyum. Anak Mama ini agak-agak, deh." ucap Mira yang membuat Ajeng mendengus kesal. "Lama-lama Kakak kayak lagi Raisa, deh. Serba salah. Semua aja dianggap salah. Udah lah. Ma, Ajeng berangkat dulu, ya." Karena tak ingin terlalu lama berdebat dengan sang adik yang berujung dirinya kesiangan, Ajeng memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Jangan lupakan senyuman yang masih terukir di bibirnya sepanjang perjalanan ke sekolah. Orang-orang yang melihat Ajeng bahkan sampai bingung. Mungkin, anak itu kelebihan mengonsumsi vitamin sebelum berangkat sekolah. Atau, ada juga yang berpikir kalau Ajeng kesurupan. Tapi, ini masih pagi. Mana mungkin kesurupan, kan? Setelah melewati angkot dan orang-orang yang heran kepadanya, begitu masuk ke lingkungan sekolah pun Ajeng berlaku seperti itu. Mulai dari menyapa satpam yang berjaga di depan dan beberapa siswa yang dikenalnya. "Lo kenapa nyengir-nyengir kayak gitu?" tanya Andin sambil menepuk bahu Ajeng. Sahabat Ajeng ini datang tak lama setelah Ajeng yang otomatis melihat bagaimana kelakuan aneh Ajeng pagi ini. "Kalo lo tau gue kenapa, lo juga bakal ikut seneng." jawab Ajeng. "Wah, lo dapet warisan, Jeng? Makanya, lo mau traktir gue, kan?" tebak Andin. Gadis itu mempercepat langkahnya karena penasaran dengan apa yang akan Ajeng katakan. Ajeng memutar bola matanya malas. "Lo kebanyakan nonton sinetron, sih. Warisan dari mana?" "Ya kan siapa tau." "Ada apa, nih?" Pertanyaan itu berasal dari Ayu yang baru masuk ke dalam kelas. "Ajeng dapet warisan." celetuk Andin. "Wah, mantep dong, Jeng." balas Ayu dengan mata yang berbinar. "Kalian ini, ya. Nggak ada warisan-warisan. Ntar gue jelasin pas istirahat." Sungguh, Andin dan Ayu menyesal karena sudah antusias dengan kabar yang dibawa Ajeng. Kalau saja mereka tidak penasaran, mereka tidak berakhir di tempat fotokopi dengan lembaran kertas yang membuat mereka sakit kepala. Bagaimana tidak? Hal yang membuat Ajeng begitu sumringah sejak pagi adalah karena angket yang dibuatnya. Karena terlalu sulit mencari sendiri, Ajeng berinsiatif menyebar angket saja yang nantinya bisa mereka seleksi kandidat yang benar-benar cocok. "Nyeleneh banget sih temen lo!" Andin menyenggol lengan Ayu. Tentu saja, mereka berucap dengan pelan. Karena, Ajeng di sana sedang dengan bangganya menatap tumpukan kertas di tangannya. "Temen lo juga, ya." balas Ayu. "Habis ini gue jamin kalo misi kita bakal berjalan dengan baik!"Ajeng masih menggebu-gebu mengingat ide brilian yang dibuatnya. Angket yang akan mereka sebar ini berisi nama, jenis kelamin, status dan nama mantan yang paling baik. Wah, memang sangat luar biasa ide Ajeng ini. Membuat niat mendorongnya ke dalam got memasuki jilid dua. "Jadi, kita sebar di sekolah sekarang aja mumpung waktu istirahat masih ada. Sisanya, kita sebar nanti sepulang sekolah." ujar Ajeng yang membuat kedua sahabatnya itu malah menyerahkan semua tumpukan kertas itu kepada Ajeng. "Kalo harus ke kelas-kelas, gue nggak mau, ya!" Ayu memandang Ajeng dengan sengit. "Gue juga!" sambung Andin yang juga tidak ingin melakukannya. "Ya udah. Tapi, pulang sekolah nanti, kalian ikut, kan?" Andin dan Ayu mengangguk saja biar cepat. Mereka berdua hanya memantau Ajeng yang menitipkan angket yang dibuatnya ke salah satu anak di setiap kelas. "Dah, ayo masuk kelas." ajak Ajeng pada kedua sahabatnya. Bisa-bisanya Ajeng masih melenggang sesantai ini setelah melakukan hal yang terbilang begitu nyeleneh. "Gue jadi nggak sabar liat hasilnya, deh." Senyum Ajeng begitu lebar melebihi kesabaran orang yang tiba-tiba diputuskan oleh pacarnya padahal tidak ada masalah apa-apa. "Lo yakin, Jeng?" tanya Ayu memastikan. "Iya. Bener, Jeng. Lo yakin ini nggak bakal jadi masalah?" "Nggak. Percaya deh sama gue. Pokoknya, ini bakal sukses dan nggak bakal ada masalah apapun." Ajeng meneouk dadanya jumawa. "Oke. Kalo ada apa-apa, jangan bawa-bawa kita, ya." ujar Andin yang diangguki Ayu. "Kok kalian nggak setia kawan?" Ajeng melayangkan protesnya. "Ya kan yang punya ide ini lo. Yang yakin banget nggak bakal ada masalah juga lo. Berarti, lo yakin banget, kan?" "Oh, iya juga." Andin dan Ayu hanya bisa menggeleng pasrah. Sepulang sekolah, Ajeng sudah siap dengan angket kosong yang akan dirinya sebarkan di luar sekolah. Tetapi, karena sebelumnya ia hanya menyebar pada anak seangkatannya saja, saat pulang ia juga menyebarkannya kepada yang lain. "Jeng, bukannya udah lo sebar?" tanya Andin. "Baru ke anak-anak angkatan kita doang, jir. Sisanya belum." jawab Ajeng. Terlihat siapa yang paling semangat dalam misi ini. Ya, tentu saja hanya Ajeng karena Andin dan Ayu hanya mengikutinya dari belakang. Membiarkan Ajeng memberikan angket-angket di tangannya. "Kok kalian belum nyebarin, sih?" tanya Ajeng. Mereka bertiga sudah berdiri di luar gerbang sekolah sekarang. Ajeng sudah menemukan target yang menjadi tujuannya. Sedangkan, Andin malah merengek haus. "Ajeng, gue mau minum. Lo nggak ngasih kita minum, ih!" protes Andin yang membuat Ajeng membuang napasnya kasar dan memberikan dua lembar uang kecil kepada Andin. "Kalian beli minum dulu, deh. Jangan protes. Gue nggak ada lagi duitnya. Ini buat ongkos pulang." ucap Ajeng sebelum Andin melayangkan protesnya. Ya sudah. Tak masalah. Andin dan Ayu memutuskan untuk membeli minum terlebih dahulu sebelum menyebarkan angket-angket yang mereka bawa. Keduanya sibuk menyedot es cekek yang mereka beli dari uang yang diberikan Ajeng. Benar, uang yang Ajeng berikan hanya pas untuk membeli dua es cekek yang untungnya bisa mengurangi rasa dahaga mereka. "Udah belum minumnya?" teriak Ajeng yang masih dengan antusias menyebarkan angketnya. "Heh, ayo jangan lama-lama." Ayu menyenggol lengan Andin. "Emang, lo tau mau kasih ke siapa?" tanya Andin yang dibalas gelengan oleh Ayu. "Emang lo tau mau disebar ke mana?" Ayu malah balik bertanya. "Nggak juga, sih." cengir Andin. "Ya udah, kita kasih ke siapa, kek. Yang penting manusia." Usulan Ayu ini langsung mendapat anggukan dari Andin. "Ide bagus! Ayo!" seru Andin yang mulai melangkahkan kakinya. Jangan dipikir kalau kedua sahabat Ajeng itu bersemangat karena membagikan angket kepada orang yang tepat seperti yang dilakukan Ajeng. Andin dan Ayu memberikan angket yang mereka bawa kepada siapapun yang mereka temui. "Lo yakin, Yu?" bisik Andin kepada Ayu yang tengah memberikan angket tersebut kepada seorang pria paruh baya yang tengah menyapu dedaunan kering di trotoar. Sudah jelas itu bukan tujuan mereka. Ah, lebih tepatnya tujuan Ajeng. Tetapi, seperti yang mereka katakan sebelumnya, berikan kepada siapapun yang penting manusia. Tak kalah dari Ayu, Andin kini beraksi memberikan angket tersebut kepada orang yang tengah memulung. Bukan target mereka lagi. "Udah hampir habis, nih!" Andin menunjuk angket di tangannya. "Sama. Ke mana lagi, ya? Kita harus cepet habisin, nih." "Bener." Di tengah percakapan Andin dan Ayu, mereka berdua melihat sekumpulan anak kecil yang masih menggunakan seragam merah putih berjalan tak jauh dari mereka. Andin dan Ayu saling menatap. Seperti memiliki ikatan batin, keduanya mengangguk dan tersenyum. Padahal, mereka tidak bicara apapun. Ya, keduanya menghampiri anak kecil itu dan memberikan angket yang mereka bawa. Anak kecil yang tidak mengerti itu tentu senang mendapat kertas yang bisa mereka gunakan untuk bermain. Kalau menebak kertasnya digunakan untuk membuat pesawat kertas, jawabannya sangatlah benar. Karena, anak-anak itu sudah mulai berlomba pesawat kertas siapa yang bisa terbang paling jauh. "Akhirnya habis!" seru Andin dengan wajah yang sumringah. "Lho, kalian udah selesai?" tanya Ajeng yang masih membawa beberapa lembar angket. "Udah, dong." jawab Ayu. "Lho, kalian kan belakangan. Tadi sibuk minum padahal gue udah mondar-mandir." Ajeng merasa curiga. "Ya kita mah sat-set, Jeng. Udah, kan? Yuk balik." ajak Andin. "Ya udah ayo." Tanpa Ajeng ketahui, Andin dan Ayu bertos ria di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN