Ajeng masih benar-benar marah atas kelakuan sahabatnya. Sejak semalam moodnya benar-benar buruk sampai-sampai tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika selesai bersiap udah di situ berjalan turun kemudian menuju meja makan. Sudah ada kedua orang tuanya dan sang adik, Mira yang udah menunggu dan bersiap untuk sarapan.
Ajeng berjalan mendekat kemudian duduk di samping Mira. Melihat sang kakak yang murung membuat anak itu memperhatikan dan menetap Ajeng cukup lama. Yang merasa diperhatikan kemudian melirik ke arah Sang Adik.
"Kenapa kamu ngeliatin Kakak kayak gitu?" tanya Ajeng.
Mira menggelengkan kepalanya kemudian memilih memalingkan wajahnya. "Soalnya muka Kakak ditekuk gitu."
"Mau ditekuk, mau dilipat muka aku tuh tetap cantik." Ajeng memuji dirinya.
Mendengar perkataan sang kakak membuat Mira bertingkah seolah-olah mual. Ia mencibir kepercayaan diri Ajeng pagi ini. Lalu Ajeng memilih tak peduli dengan tingkah sang adik karena memang terbiasa seperti itu. Keduanya memang seringkali bertengkar dan membuat kegaduhan di rumah yang sering membuat sang Ibu merasa kesal dan gemas dengan kelakuan kedua anak perempuannya itu.
"Sirik aja," ucap Ajeng.
Mira menjulurkan lidahnya. "Enggak usah kepedean Anda."
"Enggak kepedean. Memang dasarnya cantik."
"Kalau dilihat, Mira yang lebih cantik sih. Terlihat dari cowok-cowok yang ngejar Mira juga banyak. Hahahah. "
Ajeng melirik pada Mira, tak bisa dibantah kalau Mira banyak yang menyukai. Sementara dirinya? Untuk berkenalan dengan Dafa saja sulit sekali.
Sang ibu yang baru sedang berjalan dari dapur sambil membawa nasi goreng hanya menggelengkan kepalanya. "Ini masih pagi ya, kalian udah ribut aja."
"Itu kakak duluan," protes Mira.
"Dih, kamu duluan yang mulai."
"Dih, kok Mira?" tanya Mira kesal pada sang kakak karena merasa dituduh.
"Sudah-sudah stop. Jangan berantem terus. Sarapan dulu mama udah bikin nasi goreng, enak banget, lho."
Kemudian, setelah selesai sarapan Ajeng segera melangkahkan kakinya untuk berangkat menuju sekolah. Seperti biasa ia berjalan ke jalan besar untuk menunggu angkot yang biasa ia tumpangi menuju ke sekolahnya. Ajeng harus berangkat cukup pagi karena biasanya jika telat sedikit saja jalanan mulai macet.
Jalanan menuju sekolah dari rumah memakan waktu yang tak terlalu lama hanya sekitar kurang dari 10 menit untuk tiba. Setelah turun dari angkot Ajeng juga harus berjalan beberapa ratus meter ke dalam dari jalan besar untuk menuju sekolah. Gadis itu melangkah sambil memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan kepada kedua sahabatnya itu untuk membalas dendam. Walaupun pada akhirnya nanti yang ia lakukan hanyalah diam dan memilih tak bicara. Setidaknya ia harus membuat suatu rencana 'kan?
Masuk ke dalam sekolah melalui lorong setelah melewati tiga kelas aja masuk ke dalam kelasnya. Kedua sahabatnya itu memperhatikan ajang yang duduk di depannya. Andin dan Ayu saling tatap, tak ada sapaan drama dari Ajeng yang jelas menunjukkan bahwa sahabatnya itu masih sangat marah.
Andin berjalan bergerak mendekati, pergi sama sahabatnya itu kemudian menyodorkan buku tugas miliknya. "Gue tau banget lo belum ngerjain matematika 'kan? Nih gua udah kerja semua lo bisa nyontek."
Ajeng memilih tak mengacuhkan Andin. Ia kemudian meletakkan tas ke dalam laci meja, kemudian Ajeng mengeluarkan buku tugas miliknya.
Andin mendekatkan bukunya pada Ajeng. "Ini gue udah kerjaan semuanya lho. Lo bisa langsung tulis sat set sat set."
Ajeng lagi-lagi hanya diam, ia lalu berdiri dan berjalan dengan sedikit menggeser kursi yang diduduki Andin, gadis itu berjalan menuju tempat duduk di mana Mia sedang sibuk mengunyah basreng.
"Mi, gue boleh nyontek tugas MTK?" tanya Ajeng.
Mia menganggukkan kepalanya, kemudian menunjuk buku yang tepat berada di atas meja, di depannya. Tadi sudah ada beberapa siswi yang meminjam buku Mia.
"Gue pinjam dulu ya, Mi," pinta Ajeng.
"Oke, lo bawa aja jangan lupa balikin nanti pas udah masuk." Mia berkata sambil sibuk mengunyah basreng yang di dalam mulutnya.
"Oke, oke." Ajeng merasa senang karena ia bisa mendapatkan contekan lain selain dari Andin. Lalu kembali berjalan menuju tempat duduknya.
Ketika sampai di tempat duduknya Ajeng kembali menyenggol kursi yang diduduki Andin seolah gadis itu tak ada di sana. Mengetahui bahwa tak akan ada perubahan dari sikap Ajeng, Andin memutuskan untuk kembali ke kursinya.
Ayu dan Andin saling menatap. Mereka tentu saja mengerti bahwa Ajeng tak mudah untuk ditaklukan emosinya. Apalagi kalau sudah sampai tak mau mau nerima tugas dengan mudah. Ibarat kyubi saat ini gadis itu menunjukkan sembilan ekornya pertanda benar-benar marah. Dan kini kedua orang itu harus memikirkan cara bagaimana untuk membuat Ajeng tak lagi kesal dan mereka bisa berbaikan.
Jam pelajaran pertama matematika. Tentu saja karena mendapatkan contekan dari Mia, hari ini Ajeng lolos dari hukuman tak mengerjakan PR. Sepanjang jam pelajaran tadi tak ada pembicaraan yang dilakukan oleh tiga sekawan itu. Biasanya di sela-sela pergantian jam pelajaran ketiganya akan membuat keributan dengan heboh bercerita satu sama lain ataupun bernyanyi.
Kemudian, saat beristirahat berbunyi, Ajeng berniat untuk berjalan ke taman jamur. Sediakan melangkahkan kakinya Ayu menahan langkah Ajeng dengan memegangi tangannya.
"Jeng, lo mau nggak gua traktir mie ayam?" tawar Ayu.
"Iya, nanti gue juga beliin pap ice isian lengkap buat lo deh. Enak banget lo makan mie ayam sama minum pap ice coklat." Andin menambahkan tentu saja hal itu ia lakukan agar Ajeng memaafkan dan mau kembali mengobrol bersama mereka.
Ajeng masih marah, ia memilih tak peduli dengan tawaran kedua sahabatnya itu. Gadis itu kemudian melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencananya tadi bahwa ia akan berjalan ke taman belakang. Belakang disebut taman jamur karena ada sebuah pendopo yang cukup besar dan dengan atap yang berbentuk jamur. Para siswa biasanya duduk di sana untuk sekedar menikmati waktu istirahat ataupun sekedar mengobrol.
Ajeng duduk menatap ke arah lapangan bisa terlihat dari tempatnya duduk. Tak ada yang dipikirkan kali ini selain menikmati angin yang menerpa wajahnya. Sementara tak jauh di sampingnya ada dua orang siswi yang tengah mengobrol. Salah satu siswi terlihat menangis.
"Sumpah ya gue tuh nggak nyangka kalau ternyata tuh cowok gue selingkuh." kata siswa berambut pendek yang kini menangis.
Sementara di sebelahnya ada siswa lain yang berkerudung terlihat menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Agaknya ia berusaha untuk membuat temannya itu merasa lebih baik.
"Aku kan udah bilang sama kamu kalau dia itu bukan cowok yang baik," kata gadis berjilbab kepada temannya.
"Iya soalnya, lo tau sendiri 'kan kalau cowok gue itu, baik banget sama gue dan perhatian banget. Jadi, gue sama sekali nggak pernah kepikiran kalau dia bakal selingkuh kayak gini." Gadis berambut pendek itu kembali menangis. Terlihat kalau dia benar-benar terluka atas kelakuan kekasihnya yang memilih untuk menduakannya.
"Iya, tapi kenyataannya? Lihat deh dia malah selingkuh gitu. Dari awal emang udah enggak baik."
Mendengar curhatan kedua siswi itu membuat Ajeng kembali teringat dengan rencananya tentang mantan organik. Ia merasa bahwa mantan organik akan menjadi salah satu usaha terbaik untuk menciptakan kehidupan percintaan yang bisa dirasakan oleh semua kaum jomblo. Ajeng juga ingin membuat para jomblo-jomblo bisa mendapatkan pasangan yang baik, juga memiliki kisah cinta romantis dan menyenangkan. Bahkan menurut Ajeng salah satu poin memiliki pasangan adalah peningkatan nilai di mata pelajaran. Ajeng merasa bahwa pasangan yang berkualitas adalah mereka yang bukan hanya menyayangi dan mencintai pasangannya tetapi juga mereka yang mendukung pendidikan pasangannya.
Namun tentu saja mantan organik bukan hal yang bisa dilakukan seorang diri. Ajeng memerlukan partner untuk itu ada pilihannya jatuh kepada kedua sahabatnya yang Bahkan tak mendukung rencananya. Kini ia merasa bahwa keinginannya untuk membuat mantan organik adalah hal yang sia-sia dan hanya akan berakhir menjadi hangat dan mimpinya saja.
Sementara itu di kantin Ayu dan Andin tengah membicarakan dan berdiskusi bagaimana caranya untuk membuat Ajeng memaafkan mereka. Keduanya merasa bersalah karena tak bisa menepati janji. Di sisi lain mereka juga merasa bahwa pembicaraan dengan ajang mengenai mantan organik adalah hal yang tak masuk akal.
"Jadi, gimana nih caranya biar Ajeng maafin kita?" Ayu bertanya pada Andin yang kini tengah sibuk mengunyah bakso di dalam mulutnya.
"Sebenarnya caranya cuman satu sih. Setuju sama rencana dia tentang mantan organik," jawab Andin kepada sahabatnya itu.
Ayu menghela napas sebenarnya, ini menjadi lebih berat baginya. "Yakin mau ikut mantan organik itu?"
"Sebenarnya gua ngerasa ini kayak hal yang sia-sia gitu nggak sih? Ayu, ngapain sih kita mikirin hidup orang lain sementara hidup kita aja susah?" Andin menjawab dari itu membuat Ayu menganggukan kepalanya.
"Iya sih, tapi gimana dong? Lo 'kan tahu sendiri kalau Ajeng tuh susah banget buat dilarang kalau dia mau sesuatu." Ayu buka suara.
"Gini aja deh kita setuju dulu untuk ikut maunya dia. Terlepas nanti kita benar-benar enggak ngikutin maunya dia. Yang penting kita buat Ajeng baik dulu sama kita." Andin memberikan saran pada Ayu yang kini menganggukan kepalanya setuju dengan rencana yang telah dibuat Andin.
Setelah Andin dan Ayu menyelesaikan makan siang mereka di jam istirahat. Banyak kemudian mencoba mencari Ajeng dengan melangkahkan kakinya ke taman belakang. Keduanya melihat anjing yang tengah bersandar pada pilar lalu segera berlari mendekat.
Ajeng menatap kedua sahabatnya itu dengan heran apa yang dilakukan keduanya dengan menghampirinya. Setelah berlari keduanya kini telah berdiri tepat di depan Ajeng.
"Jeng, kita setuju untuk ikut kegiatan lo."Ayu buka suara bahwa iya setuju dengan kegiatan Ajeng.
"Kegiatan yang mana?" Ajeng bertanya kepada kedua sahabatnya itu.
"Kita setuju buat ikut lo dalam kegiatan mantan organik." Ayu jawab sambil diikuti anggukan kepala dari Andin.
Mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu membuat Ajeng terbelalak iya benar-benar terkejut. terlalu mendadak sekali keduanya setuju dengan rencana Ajeng untuk membuat mantan organik.
"Yang benar kalian setuju sama rencana gue buat bikin mantan organik?" tanya Ajeng yang terlihat begitu malas. Dia kecewa berat.
Ayu dan Andin menganggukan kepalanya, tentu saja di dalam hati keduanya masih setengah hati untuk mengatakan hal ini. Karena sejak awal Ayu dan Andin merasa bahwa apa yang dilakukan Ajeng adalah hal yang sia-sia.
“Iya, beneran! Kita nggak bohong.” kata Ayu yang mencoba meyakinkan Ajeng.
“Iya, bener tuh kata Ayu, kita bakalan bantuin lo terus! Sampe misi berhasil.” kata Andin.
“Tapi gue nggak percaya.” jawab Ajeng yang tak berminat sama sekali.
Dalam hatinya, Ajeng tentulah berharap banyak kepada kedua temannya tersebut namun jika dilihat dari bagaimana temannya yang telah membohonginya, Ajeng merasa kalau pergi adalah jalan terbaik. Dia takut dibohongi lagi.