“Kalian?” tanya Raga yang sedikit menebak mengenai apa yang terjadi.
Raga tentulah tidak bisa berkutik karena dia tidak bisa berkilah lagi. Bagaimana mau berkilah kalau di sana sudah ada semua mantan dari Raga. Kalau hanya ada satu atau dua mungkin dia bisa memanipulatif namun kalau sebanyak itu, dia tetap tidak bisa berkutik.
“Balikin uang kita!” seru mantan-mantan Raga.
“Iya, gue bakalan balikin semuanya.” kata Raga akhirnya.
“Ini buat lo!” kata seorang mantan yang menampar pipi Raga dengan sangat keras napas gadis itu memburu, terlihat sekali api kekecewaan di dalam matanya, andai saja, dia tidak bertemu dengan Raga, maka seharusnya dia akan baik-baik saja.
“Ini juga buat lo!” kata seorang gadis yang menendang tulang kering Raga. “Lo jahat banget, lo adalah laki-laki jahat yang paling b******k yang ada di hidup gue!
Mantan-mantan Raga pun langsung melayangkan ini dan itu kepada Raga hingga Raga terlihat babak belur. Mereka seperti benar-benar sudah tidak suka lagi kepada raga bahkan sudah sangat jijik. Bagaimana tidak? Mereka tentu berpikir mengenai mengapa mereka bisa sebucin itu sebelumnya kepada Raga.
“Yuk, Guys, gue bakalan kasih tau kalian nomor telepon dan alamat Raga, jadi kalian bisa langsung minta tanggung jawab kesana kalau mau minta hak halian, dia nggak berkutik lagi!” kata seorang mantan.
“b******k!” umpat Raga namun dia tidak bisa melakukan apapun. Melakukan perlawanan pun tidak ada buahnya, pengunjung mal yang sudah melihat keadaan ini tentulah mendengar sebrengsek apa dirinya, sehingga tentu tidak akan pernah ada yang membantunya.
Akhirnya setelah mempermalukan Raga di depan semua orang, dan juga membuat Raga berjanji untuk melunasi hutang-hutang itu, Agen AMO menghampiri Raga, dan melayangkan sebuah tamparan keras.
“Ini buat lo karena sudah mencoreng nama baik kita!” kata Ajeng.
Kali ini Raga langsung angun dan melayangkan tatapan kebencian kepada Ajeng, “Lo bertiga bakalan nyesel udah bikin gue kayak gini!” kata Raga kesal setengah mati.
“Oh ya? Sebelum itu terjadi, lo yang bakalan gue bikin nyesel duluan, Bro. Gue punya data-data lo secara lengkap dan itu kayaknya cukup banget buat gue sebarin.” kata Ayu yang langsung memberikan senyuman liciknya.
Kali ini Raga tidak bisa berkutik. Karena dia sadar kalau beberapa mantan yang didatangkan ini baru sebagian besar, dia masih memiliki mantan yang belum mendatanginya di hari ini, kalau dia masih berurusan dengan Geng Amo maka dia akan mendapatkan ancaman lebih banyak, lebih baik dia menyerah saja.
“Jangan nyakitin hati cewek, lo laki-laki, punya ibu perempuan, punya satu adik perempuan, gimana kalau mereka mendapatkan perlakukan yang sama seperti lo memperlakukan cewek-cewek tadi? Hei, Bung. Karma itu aa, semesta itu bakalan nyatet kebusukan apa yang udah lo lakuin. Gue bukannya nyumpahin, cuma harusnya bisa lebih intropeksi diri dan bisa belajar buat jadi manusia yang lebih baik lagi.” kata Ajeng.
Andin dan Ayu terdiam mendengar ucapan Ajeng, mereka tidak ada yang menyangka kalau Ajeng bisa mengatakan hal seperti itu. Ajeng terlihat bi8jak sekali.
“Yuk, Guys, cabut!” kata Ajeng.
“Yuk!” seru Andin dan juga Ayu.
Di perjalanan Ayu dan Andin langsung memuji Ajeng, “Anjir keren banget lo, gue kira lo nggak bisa marah dan gak bisa ngomong kayak tadi, Jeng.” kata Andin.
Ajeng menoleh ke belakang. Saat dirinya merasa kalau tempat mereka sudah sangat jauh dari tempat Raga, dia pun mengeluh, tangannya sakit, “Lo tau gak sih? Sumpah gue deg degan banget. Gue khilaf anjir refleks gitu aja pengen nampar dia. Aduh tangan gue sakit.” kata Ajeng.
Ayu dan Andin pun langsung terkekeh geli melihat bagaimana Ajeng. Ajeng memang sedikit ajaib dalam hal ini. Bagaimana mungkin Ajeng bisa berkata seperti itu.
“Bloon banget si lo Jeng, gemes gue.” kata Ayu.
Ajeng terkekeh geli, “Ternyata begitu ya? Gue baru tau loh kalau ternyata nampar orang rasanya begitu.” kata Ajeng.
“Hahahaha, harus nemuin cowok b******k lagi nih kita.” kata Andin.
“Yeuuu nggak gitu juga. Ogah banget. Nanti orangnya kayak Balqis. Aduh benar-benar dah gue takut banget waktu Balqis ngancem kita. Gue kan penakut ya, diancem begitu ya sangat amat mempan.” kata Ajeng, “Mana gue sampe gak bisa tidur.” kata Ajeng.
“Hahahaha gak jelas lo. Lebay banget. Tapi, JEng. Kayaknya mending kita berhenti aja deh, liat kan? Kita itu cuma manusia bisa, Jeng. Walaupun kita udah survei, ternyata laki-laki itu b******k, gak kedeteksi kebrengsekannya sama kita. Karena kita cuma tau luarnya doang.” kata Andin.
“Mohon maaf kalau kita udah liat dalemnya serem juga ya.” kata Ayu sambil cengenengan.
“Anjir, gue lagi serius padahal.” kata Andin kesal.
“Jangan, Ndin, kita itu sudah sepakat buat ngejalanin ini. Semoga saja target yang lain gak kayak si Balqis. Toh waktu dengar kalau mereka jadian kemarin kita seneng banget kan? Berarti itu tandanya kita memang sangat cocok dengan ini.” kata Ajeng.
“Jeng … ayolah udahan aja.” kata Ayu. “Bener kata si Andin.”
“Enggak, Yu, nggak bisa. Kita harus selesaian lagi,.” kata Ajeng.
Ayu dan Andin pun menghela napas, di satu sisi mereka malas sekali menjadi agen rahasia ini namun di sisi yang lain mereka masih sayang paa Ajeng.
TAk lama kemudian, mata Ayu menangkap sesuatu. Disana ada Dafa yang tengah berjalan dengan seorang perempuan.
“Eh, liat-liat-liat, ada si monyet.” kata Ayu.
Mata Ajeng dan Andin pun langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ayu. Seketika jantung Ajeng berdebar dengan sangat cepat, bagaimana tidak, di sana dia melihat Dafa dengan seorang perempuan. Dia tidak mengenal siapa perempuan itu, sama seperti Ayu dan Andin. Mereka tidak ada yang mengenal perempuan itu.
“Kak Dafa?” tanya Ajeng yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Rasanya dia ingin menangis saja.
Dadanya kini terasa sakit, dia merasa ingin menangis dan melabrak Dafa namun dia sangat tahu kalau hubunganya dengan Dafa belum terlihat sangat jauh, dia masih berada di tahap pedekate. Ah, apakah Dafa juga menganggap kedekatan mereka juga bentuk pedekate? Dia rasnaya tidak bisa menyimpulkan. Karena Dafa begitu abu-abu.
“Tuh kan gue juga bilang apa. Dia itu gak baik. Gak percayaan sih.” kata Ayu.
“Udahlah, samperin aja.” kata Andin yang langsung menarik Ajeng, Ajeng memberontak namun Ayu juga ikut menarik Ajeng untuk mengikuti Andin. Ayu berharap dengan kejadian ini Andin bisa terbuka pikirannya. Dia tidak mau kalau temannya bucin akut pada orang yang salah. Sebagai teman. Mereka berdua menginginkan yang terbaik pada Ajeng.
“Kak Dafa!” panggil Andin.
Dafa pun langsung menoleh ke orang yang memanggilnya. Seketika Dafa langsung terkejut begitu saja, apalagi melihat ada Ajeng di sana. Dafa pun mencoba menerka-nerka mengenai apa yang sudah terjadi.
Ayu pun langsung menampar pipi Dafa, “Jahat banget lo, ya! Lo udah deketin temen gue, tau-taunya lo jalan sama cewek lain!” seru Ayu berapi-api.
Ajeng langsung memegangi Ayu karena dia melihat kalau sahabatnya itu akan kembali menampar Dafa. Sekesal apapun dia dengan Dafa namun dia tetap tidak mau mereka membuat keributan di mall.
“Dia maksud lo?” tanya Dafa sambil menunjuk perempuan yang ada di samping Dafa.
“Iyalah siapa lagi.” kata Ayu kesal.
“Ayu, udah …” kata Ajeng yang meminta ayu untuk berhenti, sebab dia sudah sangat malu setengah mati. Dia juga ingin pulang saat ini juga, dia sudah tidak tahan berada di sana.
Dafa menghela napasnya, “Dia adik gue. Namanya Rara.” kata Dafa.
“Siapa, Bang?” tanya gadis itu.
Ajeng, Ayu, dan juga Andin langsung terdiam begitu saja. Terutama Ayu yang sudah terlanjur menampar Dafa. Dia benar-benar jadi merasa malu sekarang karena dia sudah menyerang orang sembarangan.
“Dia adik lo?” tanya Ayu mencoba memastikan pendengarannya.
Dafa menganggukkan kepalanya begitu saja, “Iya, dia dik gue.” kata Dafa.
“Sorry, sorry gue nggak tau kalau dia adik lo. Abis kalian kelihatan seumuran.” kata Ayu.
“Kita cuma beda dua tahun kalau lo mau tau.” kata Dafa.
Ayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Sorry.” kata Ayu.
“Elo sih, Yu.” kata Ajeng yang juga jadi merasa tidak enak dengan Dafa.
“Maaf ya, Kak. Maafin temen aku.” kata Ajeng.
Dafa tersenyum kepada Ajeng, Ajeng dai salah tingkah, dia merasa kalau senyuman itu benar-benar terlihat begitu mempesona. Debaran jantung Ajeng bahkan kini sudah tidak bisa dibendung lagi.
“Iya, nggak papa. Yang penting lo nggak salah paham kan sama gue?” kata Dafa.
Ajeng tersenyum dan menganggukkan kepalanya begitu saja.
“Ini adik gue, namanya Rara. Ra kenalin ini gebetan abang sama teman-temannya.” kata Dafa.
Ajeng membelalakkan matanya mendengar apa yang Dafa katakan. Apa katanya tadi? Gebetan? Ah, Ajeng benar-benar seperti ingin melayang di udara. Dia tidak menyangka kalau Dafa akan memperkenalkan dirinya kepada keluarganya dengan kata ‘gebetan’.
Melihat Ajeng yang bengong, Andin yang tidak mau kalau temannya malu-maluin langsung menyikut Ajeng mencoba menyadarkan temannya ini kalau gadis di depannya yang merupakan adik dari Daffa sudah mengulurkan tangan.
“Eh, Ajeng.” kata Ajeng yang langsung mengambil uluran tangan itu dan langsung memperkenalkan diri.
“Aku Rara, adiknya Bang Dafa.” kata Rara.
“Senang bertemu sama kamu.” kata Ajeng.
Rara tersenyum kemudian dia menoleh ke arah kakaknya, “Bang, ayo katanya mau nonton kita nanti teat.” kata Rara.
“Eh, Jeng, dan kalian, kita berdua duluan ya.” kata Dafa.
“Iya, Kak. Sekali lagi maaf ya, Kak.” kata Ajeng.
Dafa tersenyum lembut dan menganggukkan kepalanya.
Setelahnya mereka mengamati Dafa dan adiknya yang sudah mulai masuk ke bioskop. Kemudian mereka pun menghela napas. Seperti baru saja terbebas dari sesuatu.
“Anjir malu banget gue.” kata Ayu.
“Elo sih, bloon.” kata Andin yang langsung terkekeh melihat bagaimana raut wajah Ayu.
“Iya, iya, gue salah. Udah dong. Ahela kan jadi kesel gue. Mana diliatin orang-orang lagi anjir.” kata Ayu yang langsung mengusap wajahnya sendiri.
“Makanya, Yu. jangan kayak tadi. Gue ka malu anjir di depan Kak Dafa.” kata Ajeng kepada Ayu.
Ajeng tau kalau temannya itu hanya sedang membelanya namun kalau sudah begini mereka semua menjadi malu.
“Iya, iyaaa, maaf.” kata Ayu.