"Duh, kalo gini caranya nggak bisa dibiarin!" geram Ajeng setelah melakukan penyelidikan dengan agen mantan organik terhadap Raga.
Padahal, urusan setelah jadian seharusnya bukan lagi tanggung jawab mereka. Tetapi, karena ini rasanya keterlaluan, mereka terutama Ajeng, tidak akan membiarkan hal itu terjadi lebih jauh.
Jadi, untuk menjalankan misi mereka selanjutnya, Ajeng akan bicara dengan Balqis mengenai bagaimana hubungan gadis itu dengan Raga. Apakah lelaki itu menunjukkan gelagat yang aneh atau tidak.
"Gue ada ide." Ajeng membisikkan apa yang ada di dalam pikirannya kepada Andin dan Ayu.
Kedua sahabatnya itu mengangguk setuju dan langsung mengiyakan apa yang Ajeng katakan. Toh, mereka juga harus tahu bagaimana Raga menurut sudut pandang Balqis sebagai kekasihnya yang berhasil dipertemukan oleh agen mantan organik.
"Jadi, mau kapan lo ngajak Balqis janjian?" tanya Andin.
"Besok gak sih? Bukannya lebih cepat lebih baik, ya?" sahut Ajeng.
"Oke setuju. Kita emang harusnya bergerak cepat." ucapan Ayu turut diangguki oleh kedua sahabatnya.
Mereka tidak akan mungkin mengatakan secara gamblang apa yang mereka ketahui tentang Raga. Apalagi, mereka lihat sepertinya Balqis ini begitu mencintai Raga dan kalau mereka mengatakan yang tidak-tidak mengenai lelaki itu, pasti tidak akan dipercaya.
"Udah gue chat dan katanya bisa." ucap Ayu sambil menunjukkan pesannya dengan Balqis.
"Bagus kalo gitu. Semoga anaknya nggak tiba-tiba ada janji sama Raga, ya."
"Oh iya. Jangan sampe deh. Bisa nggak jadi, kan. Apalagi, tuh cowok kayak cenayang anjir. Tau-tauan mulu." geram Andin.
"Ya udah, besok fix, ya. Sekarang, kita balik dan sementara menghentikan dulu pencarian target sampai masalah ini beres. Kita nggak mau kan kalo track record kita jadi jelek gara-gara ini."
Ucapan Ajeng langsung diangguki oleh Andin dan Ayu. Mereka bergegas pulang saat matahari mulai pulang ke peraduannya.
Esoknya, mereka bertiga yang sengaja membawa pakaian ganti dari rumah agar tidak pulang dulu itu langsung mengganti pakaian mereka dan segera pergi ke tempat di mana mereka janji bertemu dengan Balqis.
"On time banget anaknya." bisik Ajeng saat melihat gadis berkacamata yang sudah duduk di dalam kafe.
Padahal, mereka janji bertemu pukul tiga sore dan sama Ajeng dan kawan-kawan datang itu baru pukul tiga kurang sepuluh menit.
"Hai." sapa Ajeng membuat Balqis menoleh.
"Hallo. Eh, aku kira yang dateng adminnya aja." ucap Balqis yang membuat Ajeng tertawa hambar.
Setelah basa-basi yang lumayan basi, mereka berempat akhirnya duduk berhadapan. Ajeng dengan Balqis, Andin dengan Ayu.
Sebenarnya, mereka sudah merancang apa saja yang akan mereka bicarakan. Tetapi, saat melihat wajah Balqis yang berseri-seri setelah membuka ponselnya, mereka bertiga menjadi ragu akan tugas mereka sendiri.
"Kenapa?" tanya Ajeng yang sebenarnya tahu kalau Balqis tengah bertukar pesan dengan kekasihnya yang tidak lain adalah Raga.
"Oh nggak. Tadi, Raga nanya aku di mana. Terus, bilang jangan lupa makan." balas gadis itu dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
Ajeng menahan diri untuk tidak menghujat sama sekali karena menurutnya itu begitu menggelikan.
"Disuruh makan doang baper. Heran." batin Ajeng.
Namun, hal itu tentu tak luput juga dari pandangan Andin dan Ayu yang ingin sekali meneriaki Ajeng agar sadar diri karena dirinya juga begitu.
"Oh oke. Gue lupa bilang kenapa kita ngajak lo ketemu." ucap Ajeng berusaha mengembalikan obrolan mereka.
"Eh iya. Katanya, mau survey, ya?" tanya Balqis yang membuat Ajeng menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"I-iya. Ehehe."
Andin menyenggol lengan Ajeng agar sahabatnya itu fokus dan tidak goyah karena tampang serius Balqis.
"Gini, kita emang melakukan survey ke orang-orang yang berhasil kita pertemukan. Ya, untuk mengisi testimoni. Gitu, deh. Jadi, lo nggak keberatan, kan kalo kita tanya-tanya?" tanya Ajeng perlahan. Berharap Balqis tidak curiga kalau dirinya sedang dimata-matai oleh ketiga agen tersebut.
"Oh, tentu aja nggak keberatan. Aku malah berterima kasih banyak sama kalian karena udah bantuin aku ketemu cowok kayak Raga."8
Jawaban Balqis benar-benar membuat Ajeng mati-matian menahan emosinya agar tidak meledak saat itu juga. Ternyata, Raga benar-benar pandai membuat image baik di depan Balqis. Sampai membuat gadis itu tak henti-hentinya tersenyum saat membahas lelaki itu.
Demi meyakinkan Balqis, Ayu bahkan menyediakan catatan dan serius mencatat apa yang Balqis ceritakan mengenai hubungannya dengan Raga.
"Oke. Alasan lo bilang makasih karena dipertemukan dengan Raga apa? Yang spesifik, ya." ucap Ajeng.
"Raga itu baik. Ya, treat me like a queen. Dia beneran sebaik itu. Lembut juga. Orangnya nggak pernah ngomong kasar dan selalu ngajak aku jalan. Kayak ke mall, nonton, bahkan dia nggak bosen pas aku ajakin ke toko buku."
Ajeng, Andin dan Ayu mengangguk paham dengan jawaban yang diberikan oleh Balqis. Ternyata, Raga bisa melakukan semua itu demi meyakinkan Balqis. Pantas saja gadis itu begitu Bucin dibuatnya.
Tetapi, mereka masih belum mendapat cukup jawaban. Karena, pasti ada hal yang dilakukan Raga yang bisa saja tidak etis dan membuat citra baiknya luntur.
"Oh iya, kita juga ada janji nonton nanti weekend." ucap Balqis tanpa diminta.
Ajeng berpikir, mungkin Raga sudah membuat catatan khusus untuk mengatur jadwal kencannya di akhir pekan agar semuanya berjalan lancar.
"Lo seneng banget, ya bisa jalan sama Raga?" tanya Ajeng.
"Jangan ditanya. Udah pasti seneng banget."
Ajeng yang sudah tidak tahan meluapkan emosinya itu mengambil ponselnya dan mengirim pesan di grupnya.
Ajeng :
Wah, ini mah udah bulol akut. Susah ketolong.
Andin dan Ayu yang hanya membaca pesan itu mengangguk tanda setuju dengan pesan yang Ajeng kirimkan.
"Kalian kenapa?" tanya Balqis saat melihat tinggal Andin dan Ayu.
"Nggak kenapa-napa, kok. Itu, tadi kita serius banget dengerin cerita lo." sahut Andin.
"Oh gitu. Iya pokoknya makasih banget. Raga emang orang yang tepat. Kalian bisa banget nemuin cowok kayak Raga."
Ucapan Balqis itu membuat ketiganya merasa bersalah karena Raga kebalikan dari semua yang Balqis ceritakan.
"Hmm, iya sama-sama." balas Ajeng tak ingin membuat Balqis curiga.
"Lo bilang nggak sama Raga hari ini mau ke mana?" tanya Ayu.
Sebenarnya, Ayu sudah mengatakan kalau Balqis jangan mengatakan pertemuan mereka kepada Raga karena ini merupakan survey individu dan jangan sampai ketahuan. Tetapi, mengingat segala ucapan Balqis, Ayu jadi ragu. Jadi, menanyakan kembali hal itu.
"Nggak, kok. Aku bilang ketemu temen SMP." balas Balqis yang membuat Ayu bernapas lega.
"Terus, dia percaya?"
"Percaya, kok. Dia emang nggak pernah ngekang aku. Yang penting, kalo mau keluar, aku laporan sama dia." jawab Balqis.
"Harus laporan, ya? Terus, dia suka laporan nggak sama lo?" tanya Ajeng.
Ia berharap, semoga pertanyaan ini bisa membuat Balqis sadar kalau Raga sering keluar dengan perempuan lain. Berganti-ganti pula. Tetapi, jawaban Balqis sungguh di luar dugaan mereka semua.
"Iya. Raga kalo mau keluar pasti bilang dulu. Ke manapun, dia selalu laporan."
"Terus, lo percaya?" tanya Ajeng lagi.
"Percaya, lah. Kenapa nggak?"
"Oh, iya. Kenapa nggak, ya?" Ajeng mulai kehabisan akal karena ternyata Raga selicik itu. Pantas banyak sekali menjerat korban. Bahkan, agen mantan organik sendiri yang terkena jerat.
"Pokoknya, dia tuh idaman banget."
Lagi-lagi, Balqis menunjukkan wajah sumringahnya. Hal itu membuat Ajeng, Andin dan Ayu berteriak kalau semua itu bohong.
"Oke, last question. Kalian kan sering jalan, ya. Itu berarti, Raga yang bayarin, kan?"
Balqis menggeleng pelan.
"Jadi, kalian bayar masing-masing?" tanya Ajeng masih dengan pikiran positifnya.
Namun, saat Balqis menggeleng lagi, ketiganya tahu Raga lelaki seperti apa sekarang.
"Jadi?" tanya Ajeng pura-pura tidak tahu.
"Aku yang bayar kalo kita jalan. Soalnya, Raga suka lupa bawa dompet." jawab Balqis.
Trik lama ternyata. Pura-pura tidak membawa dompet. Padahal, zaman sekarang sudah banyak menggunakan uang digital. Dan ponsel tentu barang yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Tetapi, Balqis ini sepertinya sudah kepalang jatuh cinta kepada Raga. Jadi, melupakan fakta semacam itu.
"Kok bisa lupa bawa dompet itu gimana ceritanya?" tanya Ajeng lagi.
"Jadi, dia habis nganter mamanya dan buru-buru nemuin aku karena nggak mau telat. Kelupaan, deh. Baik banget kan, dia? Prioritasin aku banget."
"Kagak prioritasin lo! Itu namanya lo lagi dikibulin, dodol!" teriak Ajeng dalam hati.
"Oke, tapi kalo habis jalan, dia ganti uang lo nggak?"
"Dia bilangnya mau ganti. Tapi, kata aku mending nggak usah. Gak enak."
Jawaban Balqis membuat Ajeng terheran-heran. Mengapa ada orang yang tidak enakan masalah uang?
"Kok nggak enak?"
"Ya emang nggak enak. Kan, jalannya juga berdua sama aku. Toh, Raga juga nggak sengaja gak bawa dompet dan dia punya niatan buat ganti uang aku. Jadi, nggak masalah."
Ini benar sudah dipastikan kalau Balqis bucin akut dan agen mantan organik rasanya sulit untuk memberitahunya. Mereka juga sulit membayangkan apa yang akan terjadi kepada Balqis kalau sampai tahu bagaimana Raga yang sebenarnya.
"Jadi, menurut lo wajar hal tadi?" tanya Ajeng.
"Iya. Nggak masalah kok selama Raga baik."8
"Oke!" Ajeng sedikit menaikan nada bicaranya karena sudah terlanjur kesal. "Em, maksudnya oke kalo gitu. Surveynya kayaknya udah sampe sini." lanjut Ajeng memperbaiki perkataannya.
"Siap."
"Makasih buat waktunya ya, Balqis. Sorry ganggu lo."
"Nggak apa-apa, kok. Aku malah seneng ketemu kalian karena bisa ngomong makasih langsung ke kalian." Balqis tampak begitu bersemangat.
"Ya udah. Kalo gitu, kita balik, ya. Kita doain semoga lo baik-baik aja." ucap Ajeng.
Ia sama sekali tidak ingin mengatakan langgeng untuk hubungan Balqis dan Raga karena bagaimanapun, Balqis harus secepatnya tahu apa yang Raga lakukan selama ini. Apalagi, sampai merugikan materi. Semoga saja Balqis juga terbuka hatinya. Walaupun, konsekuensinya memang agak berat mengingat gadis itu sudah terlanjur cinta.
"Oke, kalian hati-hati di jalan, ya." ucap Balqis sambil melambaikan tangan ke arah Ajeng, Andin dan Ayu yang berjalan meninggalkan kafe dengan perasaan yang cukup dongkol.