Siapa Pengantin Kecil?

1194 Kata
Denis benar-benar mengajak Renata keluar dari apartemen yang di mana tempat mereka pertama tinggal itu yang sekarang mereka pergi ke tempat yang jauh lebih aman lagi dibandingkan dari apartemen di lantai dua puluh empat itu. Kali ini mereka tinggal di sebuah apartemen beda dari yang pertama di lantai empat yang tidak terlalu tinggi bagi Denis untuk bisa membuat gadis ini lebih nyaman di sana. Ada perjanjian yang di mana sebelum Renata tinggal dengannya, gadis tersebut harus berjanji dengannya agar tidak menyebabkan kesalahan dan tidak membuat masalah bagi Denis nantinya. Usai memindahkan barang, mereka beristirahat di sofa ruang tamu yang berbentuk L dan telentang masing-masing menghadap kepala yang sama. “Kamu mau makan apa?” “Terserah kakak aja,” ujar Renata yang terdengar suara napasnya menderu karena kelelahan itu. Denis selain membiarkan Renata tinggal di apartemennya, pria itu juga berusaha untuk mencari tahu tentang gadis yang tinggal dengannya saat ini. Tidak mau jika nanti dia salah memberikan tempat tinggal pada orang lain yang mungkin saja Renata adalah penjahat yang nyamar juga untuk menghancurkan dirinya—sebab musuh Denis dalam dunia bisnis itu cukup banyak. Tak lama setelah itu dia mendengar suara napas yang begitu tenang dan malah bangun dari sofa untuk melihat gadis yang ada di dekatnya itu sedang tidur. Sebenarnya dia sangat ingin sekali membahas sesuatu. Ingin mencari tahu siapa sebenarnya ayah atau ibu Renata yang bisa dia cari informasinya dari gadis ini. Sayangnya Renata sudah terlelap siang itu saat dia baru saja menyalakan pendingin ruangan. Lama dia perhatikan wajah itu, ia merasa pernah melihat Renata. Tapi entah di mana, yang jelas dia merasa tidak asing dengan wajah ini. Seluruh akal sehat Denis memaksa dia untuk sadar dari apa yang dia lakukan sekarang. Apa yang Denis lakukan sampai dia berani menatap gadis ini sangat keterlaluan. “Apa yang kau pikirkan Denis?!” ujarnya di dalam hati lalu dia mencoba beranjak dari tempatnya sekarang dengan Renata. Mereka sudah tidak satu kamar lagi, alasan Denis pindah apartemen juga dengan alasan lain adalah tidak mau satu kamar dengan Renata dalam jangka waktu yang lama. Bagaimanapun juga dia adalah pria normal pada umumnya. Takut jika godaan dan juga suatu hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi nanti. Sekarang pun dia akan mencoba membuat jarak di antara mereka. Mengenal Renata ataupun membiarkan gadis ini yang mengenalnya lebih jauh. Ada dua pilihan yang harus dia lakukan. Wajah Denis tiba-tiba saja merah ketika mengingat bagaimana cara dia memandangi gadis yang sedang tidur. Denis tidak suka terhadap gadis yang centil, tidak suka terhadap gadis yang mengejar-ngejarnya seperti yang banyak dilakukan oleh gadis diluaran sana untuk dirinya, tubuhnya seketika ada tercium aroma parfum Renata yang di endus oleh Denis. Parfum itu adalah barang yang dibelikan untuk Renata beberapa hari lalu. Dia keluar dari kamarnya usai mandi dan juga berganti pakaian setelah membersihkan badannya dari keringat yang sangat lengket sepanjang hari ini setelah pindahan dengan Renata. Gadis itu juga baru bangun dari tidurnya yang sekarang sedang duduk di sofa mencari kesadaran yang sampai sekarang ini masih terlihat begitu ngantuk. “Tidurlah kalau kamu masih mengantuk!” Renata menatapnya sejenak yang tiba-tiba saja air mata gadis itu keluar dari pelupuk matanya. “Kamu kenapa?” Nampak ia berusaha menyembunyikan sedihnya dari Denis. “Kamu kenapa nangis?” ulang pertanyaan sampai kedua kali membuat Denis langsung menghampiri Renata. Renata segera menyeka air matanya. “Mimpiin Ibu tadi manggil aku beberapa kali kak,” jelas Renata. Ini tentang ibunya, pantas saja Renata terlihat sedih yang katanya sudah tidak bertemu lagi setelah usianya delapan tahun karena perceraian itu. Sama seperti yang dirasakan oleh Denis dulu. Tapi sekarang dia berusaha untuk bangkit dari itu semua. “Kamu kangen Ibu kamu?” “Kangen, tapi aku nggak punya fotonya sama sekali,” “Kamu inget bagaimana rupanya?” Renata mengangguk pelan. “Ingat, tapi tidak terlalu. Yang jelas tadi dia datang ke mimpi aku,” Denis paham dengan kerinduan seorang anak pada orang tuanya. “Kalau aku anterin kamu pulang gimana?” Raut wajah itu seketika berubah saat dia mengatakan akan mengajak Renata pulang. “Ini akan menjadi lebih buruk dibandingkan sekarang kak. Aku yakin Ibu tiri aku udah pasti nyariin aku juga dan bakalan langsungin pernikahan itu,” “Re, aku bukannya nggak mau bantu kamu. Tapi apa kamu yakin? Kita bakalan tinggal berdua terus seperti ini? Maksud aku, aku pria normal, Re,” Renata mendongakan kepalanya menatap Denis. “Aku paham, setelah mendapatkan pekerjaan aku keluar dari sini,” “Keahlian kamu apa?” “Menggambar,” jelas Renata yang membuat pria ini terdiam sejenak. Denis beranjak dari tempatnya duduk barusan lalu mengambil laptopnya untuk menunjukkan software yang biasa digunakan untuk menggambar. “Kamu bisa ini?” Awalnya agak terlihat ragu, tapi Renata mengangguk. “Iya, jurusan aku memang itu,” Kebetulan dia butuh arsitek melakukan ini semua untuk mengerjakan gambar dan juga semua kebutuhan yang akan dia gunakan nantinya untuk mengerjakan proyeknya. “RAB kamu ngerti?” “Ngerti, aku pernah kerja juga kok kak. Tapi karena Ayah yang minta aku untuk nikah, jadi mau nggak mau harus nurutin dia,” “Kalau gitu, kamu kerja dari rumah. Kamu bantu aku, buat RAB, denah rumah sama sekaligus bangunannya. Ini lumayan sih, karena ini rumahnya cukup luas kan ya. Kurang lebih di dalam satu kompleks itu ada dua puluh bangunan dan itu lumayan lama pengerjaannya, rumahnya nggak main-main juga,” “Ini untuk perumahan elit?” “Iya, sayangnya arsitek yang lain lagi sibuk. Aku juga nggak bisa kerjakan ini semua, soalnya begitu satu selesai, maka langsung dibangun. Ini untuk barang sih, cuman udah ada yang pesan. Tapi untuk gambarnya yang benar-benar bagus aku belum ajukan sama sekali. Yang di pesan itu di komplek lain, kalau yang di sini belum,” tunjuk Denis pada satu tanah kavlingan yang masih kosong. Renata cukup mengerti dengan beberapa pekerjaan seperti ini. “Terus kalau di blok A ini udah ada yang pesan?” “Udah ada yang pesan jadi investasi, terus di blok B ini masih kosong kan ya. Karena beda, kalau di blok A ya gambarnya ada di sini. Lagi tahap pengerjaan, terus orang yang pesan di blok A itu mesan lagi tapi desain yang beda, tapi aku belum sempat ngajuin, karena belum nemu gambar yang benar-benar pas. Orangnya ini tipe orang yang nggak mudah untuk dijanjikan Re, aku belum berani janji sama dia karena di blok B ini kan lahannya baru. Di blok A cuman satu macam, terus dia tahu kan kalau aku yang punya tanah di blok B juga, terus dia malah minta dibuatin lagi,” “Kalau kakak berkenan, aku pinjam laptop kakak nanti untuk mulai. Nanti kakak juga jelasin detail ukurannya berapa, luasnya juga gimana. Biar aku usahakan untuk gambar, dan ini juga butuh waktu berhari-hari sih kak. Aku nggak pernah ngerjain proyek yang gambarnya cuman satu hari,” jelas Renata. “Kamu beneran ngerti tapi kan?” “Ngerti, nanti kakak tinggalin aja laptopnya sama aku. Aku bantuin selama aku bisa,” Denis menutup laptopnya langsung ketika dia baru ingat bahwa Renata sedang dalam keadaan sedih. “Nanti malam kita makam bareng di luar,” kata Denis. “Kamu mandi aja dulu, terus udah gitu istirahat. Segala keperluan di sini nanti bisa diatur,” lanjutnya. Pria itu menghela napasnya. Apakah sekarang sudah waktunya membuka hati untuk perempuan pasca dia berjanji bertemu dengan pengantin kecil yang belum dia temukan sampai sekarng ini. Kemunculan Renata juga tidak bisa dia tolak. Banyak yang dia butuhkan juga dari gadis ini. Ataukah nanti gadis ini yang akan menjadi pelabuhan pertama dan terakhirnya? Denis segera menyingkirkan pikiran itu dan langsung masuk ke kamarnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN