Episode 3: Kecewa

1744 Kata
Pukul 4 sore saat kantor tutup. Hari ini Grisella dan Arron berjanji akan menjemputku di kantor dan mengajakku makan malam diluar. Bahagianya punya sahabat seperti mereka. Mereka sangat mengerti keadaanku yang pas-pasan ini jadi merekalah yang mengambil inisiatif untuk mentraktirku makan. Padahalkan aku orang yang diterima bekerja.  Saat turun ke lobby, Arron ternyata sudah menunggu. "Arron dimana Grisella?" "Dia bilang mau menemui seseorang dulu." "Siapa? Dia punya teman disini?" "Entahlah. Kau tau kan Grisella itu selalu punya kejutan. Ngomong-ngomong apa kau sudah bertemu Vino?" Aku tersipu malu saat Arron bertanya padaku. Bagaimana tidak? Saat Arron menyebut nama Vino saat itu pula ingatanku kembali ke kejadian tadi pagi. "Hei Raya wajahmu yang memerah bisa membuat orang lain salah paham." "Maksudmu?" "Bisa saja orang lain mengira kau dan Vino sudah melakukan hal yang bukan-bukan. Padahal aku yakin kau hanya berhasil berjabat tangan dengan Vino." "Waw kau luar biasa Arron." Aku mengacungkan kedua jempolku pada Arron yang sudah menebak dengan tepat kejadian apa yang membuatku begitu senang. "Gris disini." Arron melambaikan tangannya pada Grisella. Aku tengah membelakangi Grisella saat itu. Saat berbalik untuk menyambut kedatangannya saat itulah mataku menangkap sosok yang sudah tidak asing bagiku. Laki-laki itu? Ada hubungan apa dia dan Grisella? "Hei maaf sedikit lama. Kenalkan ini kakakku. Tidak apakan kalau dia ikut kita?" "Aku sih tidak keberatan. Raya bagaimana denganmu?" Aku tidak peduli pada pertanyaan Arron karna terlalu terkejut mendapati kenyataan kalau laki-laki yang bersama Grisella itu adalah kakaknya. Pantas saja wajah mereka mirip. Kupikir hanya sebuah kebetulan. "Ka kakak?" "Iya. Kakak yang sering kuceritakan pada kalian itu. Maaf baru sekarang mengenalkan kakakku soalnya kakak selalu sibuk." "Di dia benar-benar kakakmu?" "Iya Raya. Memangnya ada apa sih? Kenapa kau jadi gagap seperti itu?" "Kakak yang mengantarmu pulang waktu itu?" "Iya Raya." Grisella tersenyum kikuk ke arahku. Aku tau dia gugup. Mungkin karna dia sedang berbohong. Jelas-jelas malam itu kakaknya tidur bersamaku, jadi bagaimana mungkin kakaknya bisa ada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. "Kenalkan kak. Aku Arron." Arron mengulurkan tanganya sambil tersenyum ramah pada kakak Grisella. Aku masih syok mendapati kenyataan kalau laki-laki yang tidur denganku waktu itu adalah kakak Grisella. Bagaimana bisa? Bagaimana ceritanya? "Aku Gabrian. Senang berkenalan denganmu Arron. Sebenarnya aku sudah lama mengenal kalian berdua melalui cerita Grisella. Hampir setiap hari dia membicarakan kalian." Lagi-lagi aku melongok. Jadi dari awal dia sudah mengenalku? Lalu mengapa waktu itu dia tidak mengatakan apa-apa? "Kalau yang ini kakak pasti sudah kenalkan? Iya kan Raya?" Ditanya seperti itu oleh Grisella, aku yang tidak fokus malah mengulurkan tanganku untuk mengajaknya berkenalan. "Jadi kalian belum kenalan?" "Secara resmi sih belum Gris. Tapi aku dan Raya sudah beberapa kali bertegur sapa. Kenalkan aku Gabrian. Kalian berdua boleh memanggilku kakak seperti Grisella." Gabrian menyambut uluran tanganku dengan hangat. Aku hanya mengangguk dengan begitu canggung. Sial. Aku jadi malu sendiri pada Grisella karna kejadian malam itu. Tunggu dulu. Jika malam itu Gabrian tidak mengantar Grisella pulang, lalu kemana dia? Jangan-jangan dugaanku benar kalau Grisella dan Arron berakhir tidur bersama. Kuperhatikan kedua sahabatku yang sama sekali tidak merasa canggung atau malu saat bersama. Mereka biasa-biasa saja. Mungkin aku terlalu berlebihan dalam menyimpulkan sesuatu. Jika memang ada sesuatu yang terjadi, aku yakin mereka berdua tidak mungkin bisa bersikap biasa saja seperti itu. "Ehem. Kau tidak berniat melepaskan tanganku Raya?" Ya tuhan. Aku langsung melepaskan tanganku dari Gabrian dengan muka merah padam. Sial gara-gara memikirkan Grisella dan Arron aku bahkan tidak menyadari kalau aku masih berjabat tangan dengan Gabrian. "Maaf kak. Pikiranku sedang melanglang buana." Aku tersenyum lebar pada Gabrian. Grisella langsung mengamit lenganku mendekat ke arahnya. "Apa kau sudah tau Raya kak Gabrian itu General Menejer di sini." "A apa? General Menejer?" Sekali lagi aku terlihat seperti orang bodoh. Buru-buru aku membungkuk memberi hormat pada Gabrian. Sial. Pantas saja waktu itu semua karyawan begitu hormat padanya. Harusnya Grisella mengatakan itu sejak awal. "Sudahlah. Diluar jam kantor kau adalah sahabat adikku. Jadi tolong lupakan soal formalitas dan panggil saja aku kakak." Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Grisella yang sudah lebih dulu berjalan ke arah mobil. "Gris kau keterlaluan. Seharusnya kau memberitauku sejak awal kalau kakakmu itu GM. Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh." Aku berbisik-bisik setelah duduk disamping Grisella. Aku tidak ingin Arron dan Gabrian mendengar percakapan kami. Arron duduk didepan kemudi sedangkan Gabrian duduk disebelahnya. "Kau kan tau aku ini orang yang penuh dengan kejutan. Satu hal lagi, kalau-kalau kau tertarik kakakku itu masih jomblo alias belum punya pacar." "Kau gila. Apa kau mau punya kakak ipar seperti aku?" Grisella tertawa cekikikan yang langsung membuat Gabrian menoleh ke arah kami. Lagi-lagi mukaku memerah. Berada dalam satu mobil dengan Gabrian yang pernah tidur satu ranjang denganku, membuatku malu setengah mati. *** Selesai makan malam, Arron memaksa untuk mengantarku pulang. Aku terpaksa menolak permintaan Arron karna masih penasaran dengan Gabrian. Apapun yang terjadi malam ini kami harus bicara. Aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Beberapa kali kusenggol kaki Gabrian dengan kakiku untuk membuatnya menoleh ke arahku. Gabrian menatapku dengan heran. Aku langsung meminta Gabrian pergi ke toilet dengan bahasa isyarat. Sepertinya dia mengerti dan langsung pamit ke toilet pada Arron dan Grisella. Tak lama setelah Gabrian pergi akupun langsung menyusulnya. Bagaimanapun aku tidak ingin Grisella curiga pada kami dan lebih tidak ingin Grisella tau kalau malam itu aku tidur bersama kakaknya. Gabrian menungguku di depan toilet pria dengan tangan terlipat di d**a. Dia keren meskipun hanya berdiri di depan pintu toilet, tapi tentu saja Vino lebih keren. Menyadari pikiranku yang konyol aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran menyebalkan itu. "Ada apa?" Gabrian bertanya dengan suara datar. Keramahan yang beberapa saat lalu diperlihatkanya di depan Arron dan Grisella seperti menguap begitu saja. Apa sebenarnya dia tidak menyukaiku? "Kak sepertinya kita harus bicara. Aku akan meminta mereka berdua pulang. Ada hal penting yang harus kutanyakan pada kakak." Gabrian tampak seperti sedang berpikir sebelum menyetujui permintaanku. "Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Ingat, pastikan Grisella tidak tau tentang kejadian malam itu." "Aku juga ingin mengatakan itu pada kakak. Jika dia tau mau ditaruh dimana mukaku. Kalau begitu aku tidak harus memohon pada kakak untuk merahasiakanya." Gabrian hanya mengangguk dan berlalu begitu saja. Sial jika dia bukan kakak Grisella dan juga bukan atasanku, maka aku tidak mungkin bersikap hormat padanya. Sekarang lihatlah, dia seperti sedang meremehkanku. Aku harus menarik kembali pikiran konyolku yang sempat menganggap bahwa Gabrian itu keren. Apa gunanya keren kalau sikapnya sok cool seperti itu. Aku kembali berkumpul bersama Grisella dan Arron dengan wajah sedikit kesal. "Kau kenapa?" Arron langsung bertanya begitu menyadari kekesalanku. "Aku meninggalkan sesuatu di kantor. Sepertinya aku harus kembali untuk mengambilnya." Aku berbohong. Jika Arron bertanya lebih jauh lagi, maka aku yakin dia akan tau kalau aku sedang berbohong. "Apa tidak bisa besok saja Raya? Ini hampir jam 8 malam." Aku mulai gugup. Arron satu-satunya orang yang sangat sulit untuk kubohongi. Kutatap Gabrian untuk mencari pertolongan. Gabrian sepertinya mengerti dan langsung memberikan alasan. "Dia meninggalkan pekerjaan yang harusnya dia selesaikan besok Arron. Sebagai pekerja baru dia masih harus banyak belajar." "Kalau begitu aku akan mengantarmu ke kantor Raya." "Tidak perlu. Aku sudah menyuruh supirku untuk kemari.  Biar aku yang menemani Raya, kau antar saja Grisella pulang." Kulirik Arron yang sepertinya tidak rela membiarkanku pergi bersama Gabrian. "Kau juga harus mengantar Raya pulang kak. Awas kalau kau membiarkanya pulang sendiri." "Iya aku tau Gris. Arron jangan keluyuran lagi, langsung antar Grisella pulang kerumah. Ingat jangan turuti kemauanya jika dia berencana mengajakmu keliling kota dulu. Hari sudah semakin malam." "Siap kak." Arron berdiri sambil memberi hormat pada Gabrian. Dia seperti prajurit yang sedang memberi hormat pada komandanya. Melihat pemandangan itu aku langsung tersenyum simpul. Arron memang sedikit konyol. Kulirik Grisella yang juga tersenyum melihat kelakuan lucu pria yang diam-diam disukainya itu. Setelah Arron dan Grisella pergi kami memesan secangkir kopi dan memilih duduk di pojokan. Kutatap Gabrian yang sedari tadi menunggu apa yang akan kutanyakan. Baru saja akan bertanya, sudut mataku menangkap sosok Vino yang baru saja masuk di ambang pintu. Dia memegang sebuket bunga yang sangat cantik. Secepat kilat kuraih buku menu yang terletak diatas meja saat mata Vino menelusuri satu persatu pengunjung restoran yang memang cukup ramai. Kurasa dia tidak menyadari keberadaanku. Mataku terus mengawasi Vino yang kini tersenyum lebar ke arah seorang wanita yang juga kukenal. Dia Alya. Apa hari ini ulang tahun Alya? Kenapa Vino membawa bunga? "Sampai kapan kau akan memperhatikan Vino dan mengabaikanku?" Suara Gabrian serta merta membuatku tergagap dan kembali meletakkan buku menu. Vino duduk membelakangiku, jadi aku tidak perlu bersembunyi. Lagipula kenapa aku harus sembunyi? "Kakak mengenal Vino?" "Tentu saja aku mengenal karyawanku." "Kakak juga kenal Alya?" "Pertanyaanmu konyol Raya. Jika kau mengenal Vino, maka secara otomatis kau juga akan mengenal Alya. Mereka itu persis seperti kalian bertiga." "Tapi sepertinya mereka lebih dari itu. Lihatlah mereka begitu mesra." Gabrian menoleh kearah Vino dan Alya. Saat itu Vino sedang menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda pada Alya sembari menggenggam tangan wanita itu. Hatiku tiba-tiba terasa nyeri. "Sepertinya Vino sedang melamar Alya." Aku diam saja. Aku takut jika aku bersuara Gabrian akan sadar jika aku sedang kecewa. Tak ingin lebih lama melihat pemandangan tidak menyenangkan itu, aku memilih pergi. Gabrian tampak heran meskipun tetap mengikutiku. "Raya kau mau kemana? Kita bahkan belum bicara." "Lain kali saja." Aku mempercepat langkahku meninggalkan Gabrian yang tetap setia mengikutiku. Sebenarnya dia mau apa? Baru saja ingin berbalik untuk meminta Gabrian pulang, suara ponsel laki-laki itu berbunyi. Aku tak mudah mencintai Tak mudah bilang cinta Tapi mengapa kini denganmu Aku jatuh cinta Tuhan tolong dengarkan ku, beri aku dia Tapi jika belum jodoh aku bisa apa Sial. Kenapa nada deringnya harus lagu itu sih? Mendengar lagu galau saat suasana hati sedang buruk mataku langsung berkaca-kaca. Gabrian mengangkat telponya sambil terus memperhatikanku. "Aku sedang ada urusan penting, nanti kububungi lagi." Gabrian menghampiriku setelah memutuskan sambungan telponya. Tanpa disangka-sangka dia membawaku ke dalam pelukannya dan memintaku menangis. "Kau menyukai Vino kan? Menangislah. Aku juga pernah ada diposisimu." Mendengar kata-kata Gabrian air mataku jatuh begitu saja. Kenapa? Kenapa menyukai seseorang begitu menyakitkan seperti ini? Tuhan buat saja aku melupakanya, atau jadikan dia milikku. Jangan biarkan aku tidak dapat melupakanya juga tidak dapat memilikinya. Itu menyakitkan tuhan. Aku terus menangis dalam pelukan laki-laki yang secara resmi baru kukenal siang tadi. Saat ini selain Gabrian tak ada seorangpun yang bisa membuat hatiku lebih baik. Ternyata diterima di perusahaan tempat Vino bekerja bukanlah sebuah keberuntungan. Tuhan ingin membuka mataku agar aku sadar cintaku selamanya akan menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan. Vino sudah jelas menyukai wanita lain. *** To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN