Cinta itu seperti mata air abadi dan selalu mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa manusia yang dahaga. Bagaikan anggur nikmat, yang manis di bibir, serta dapat menghangatkan badan, tetapi tidak jarang juga memabukkan.
Dua insan dilanda cinta, berdiri pada dua sisi kehidupan yang berbeda, terus saja tersenyum ketika saling menatap.
Semua binar-binar cinta itu mengalir lembut dan tulus. Bak sungai firdaus yang suci, Bunga bersama Lucky berhasil melampaui kesenjangan diantara mereka.
Di dalam rumah megah berlapis emas, nyonya Susan melakukan pertemuan rutin bersama teman-teman sosialita. Ia sudah sejak lama berniat untuk keluar dari kelompok itu, tetapi selalu saja ditahan dan dijerat.
Padahal, beliau begitu menderita ketika bercampur dengan orang-orang yang selalu saja mengejeknya. Nyonya Susan semakin sakit hati, disepanjang waktu ketika melihat anak menantunya bahagia.
"Jeng, sudah hampir setahun loh. Kok belum dapat cucu juga," goda tante Meta dalam tawa mengejek. "Nggak subur ya? Kebanyakan makan ikan asin sih, dulunya."
"Heeemh. Kenapa sih, Jeng? Kok kamu selalu saja mengejek saya? Nanti kalau kamu butuh uang, nggak saya kasih lagi loh!" ancam nyonya Susan membalik ejekan rekannya tersebut.
"Iiih, bukannya ngejek kali," elaknya sambil menyentuh tangan nyonya Susan dengan lembut. "Tapi tanya, ber-ta-nya ... ." Sambung wanita itu sekali lagi, dengan bentuk bibirnya yang masih saja menghina.
"Kalau soal cucu, jangan dipikirin! Mungkin memang belum rezekinya," timpal tante Elia dalam senyum hangat. "Jeng Susan juga dulu kan susah dapat momongan. Setelah usaha sana-sini, terus pakai trik bayi tabung, baru dapat si Lucky."
"Bener tuh," kata yang lainnya yang terdengar positif. "Lagian ya, kalau ada uang, semuanya aman, gampang."
"Iya, ya." Ibu-ibu sosialita lainnya mengangguk dan berhenti mengomentari kehidupan nyonya Susan.
"Nah, itu dia. Atau kasih waktu aja, Jeng." Tante Tania melanjutkan komentar yang lainnya. "Kalau dalam dua tahun belum juga hamil, Lucky harus dinikahkan kembali! Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka musti nurut!" saran yang lainnya dan itu masuk ke dalam pikiran nyonya Susan.
"Benar juga tuh," jawab nyonya Susan tampak suka dengan perkataan tante Tania yang cukup dekat dengannya. "Nanti, sepulangnya dari arisan ini, saya akan berbicara kepada mereka semua!"
"Bagus, Jeng. Gitu dong. Perlihatkan kekuasaan kamu! Jangan diam aja!"
"Iya."
***
Selama satu tahun terakhir, hidup Bunga dan Lucky baik-baik saja. Meskipun nyonya Susan kerap melempar cibiran kepada Bunga, tetapi tuan Sanur langsung memberikan hadiah kepada anak menantunya tersebut.
Gara-gara hal itu, nyonya Susan berhenti menyakiti hati Bunga. Sebab, ia merasa rugi sendiri. Jika tiap kali membuat mata bunga berkaca-kaca, ia akan kehilangan cukup banyak uang untuk hadiah apa saja yang tidak murah.
Terakhir kali, ketika beliau menolak untuk makan malam bersama Bunga dan ibunya, tuan Sanur membelikan Bunga berlian seharga dua miliar.
Nyonya Susan benar-benar tidak bisa berkutik dan harus bersedia menerima Bunga. Namun di dalam hati, ia terus mengutuk dan semakin sakit hati.
Setibanya di rumah yang didominasi dengan warna putih, nyonya Susan menyampaikan keinginannya.
Saat itu, Bunga dan Lucky mulai resah. Tetapi, tuan Sanur kembali menjadi pelindung untuk gadis miskin tersebut dan mengatakan akan membawa keduanya ke dokter ahli kandungan di luar negeri.
Mendengar rencana tersebut, nyonya Susan marah besar dan tidak suka karena suaminya selalu ikut campur. "Mama nggak suka cara Papa yang selalu saja ikut campur."
"Loh, Papa cuma ngimbangin Mama aja kok. Kan Mama duluan to yang ikut campur urusan Lucky dan Bunga? Makanya Papa ngekor. Coba Mama diam dan membiarkan mereka begitu saja! Papa juga bakalan mingkem kok, Mama sayang."
"Sebel!" nyonya Susan masuk ke dalam kamarnya tanpa bersedia mengobrol dengan yang lainnya.
Tak ingin masalah ini berlarut-larut dan berkepanjangan, tuan Sanur mengejar istrinya dengan langkah cepat setengah berlari.
"Sayang?" kata Bunga sambil menatap suaminya.
"Tenanglah! Papa pasti bisa mengurus Mama."
"Tapi, kelihatannya Mama sangat marah kali ini."
"Sabar ya! Kamu masih punya Papa, kan?"
Bunga mengangguk, "Kalau bukan karena Papa, aku pasti ... ."
"Suuut! Jangan melupakan aku juga!" pinta Lucky sambil menutup ujung bibir Bunga dengan jari telunjuk tangan kanannya.
Bunga menunduk dan berusaha membuang kesedihan, "Iya, Sayang."
"Besok, aku dan Papa akan keluar kota."
"Apa?" Bunga tampak tidak suka.
"Sebentar aja kok. Paling, malamnya juga sudah pulang. Kalau kamu nggak nyaman, banyak di kamar aja ya!?" pinta Lucky yang begitu paham akan kondisi istrinya.
"Baiklah." Bunga merasa tidak enak hati.
***
Keesokan harinya, tuan Sanur dan Lucky berangkat ke luar kota pagi-pagi sekali. Sesaat setelah mereka pergi, nyonya Susan pun meninggalkan kediamannya.
Tidak ingin merasa kesepian, Bunga memutuskan untuk membuat cake kesukaan suaminya bersama sang ibu, di dapur.
"Bu, istirahat saja!" pinta Bunga karena sudah beberapa hari terakhir ini, ibunya tampak pucat dan lesu. Tapi, ketika diajak untuk berobat, beliau menolak.
"Kalau boleh, Ibu ingin pulang. Kangen sama almarhum ayahmu," katanya sambil menatap penuh kerinduan.
"Ya sudah kalau begitu, nanti Bunga antari ya, Bu?"
"Nggak usah! Kamu selesaikan saja dulu masaknya. Ini kan lama, belum hiasannya lagi. Semoga suamimu suka dengan hasilnya."
"Ya sudah kalau ibu maunya begitu. Cuma, diantar mamang mau kan, Bu?"
"Iya, boleh. Makasih ya, Nak."
"Sama-sama, Bu."
Lalu keduanya mempersiapkan diri dan Bunga langsung meminta sopir untuk mengantarkan ibunya ke rumah lama, di mana ia dibesarkan dengan penuh cinta.
"Besok, Bunga bakalan berkunjung sama Lucky, Bu."
"Iya, Nak."
"Satu lagi, nggak perlu masak! Biar bunga yang menyiapkan semuanya."
Ibu mengangguk dalam senyum bahagia. Beliau begitu bangga akan sikap putri yang selalu menyayangi dirinya. "Ibu pamit ya, Bunga! Jaga dirimu baik-baik!"
"Iya, Bu." Bunga melambaikan tangan sambil tersenyum.
Jarak kedua rumah cukup jauh. Sekitar 70 menit ke arah pinggir kota. Ibu pun beristirahat, sepanjang perjalanan.
Sekitar pukul 17.30 WIB, semua makan malam yang lezat sudah tersedia di atas meja makan ukuran besar yang elegan. Nyonya Susan pun telah kembali dan Bunga langsung menyapa bersama suara lembut serta kepala yang tertunduk.
Namun seperti biasanya, semua berlalu begitu saja, seakan tidak memiliki arti dan makna. Sekali lagi, Bunga menghela napas panjang untuk bersabar.
Sekitar pukul 21.30 WIB, tuan Sanur dan Lucky belum juga kembali. Bunga mulai cemas dan terus-menerus menelepon suaminya. Hingga ponsel milik Lucky tersambung, tetapi bukan dia lah yang mengangkatnya.
"Selamat malam!" jawab sang penerima telepon.
"Ma-malam. Maaf, ini ponsel suami saya kan?" tanya Bunga kaku.
"Tuan Lucky?" sahut seseorang yang tidak dikenali tersebut.
"Iya, benar. Di mana suami saya dan Anda siapa?"
"Maaf, Bu. Anda bersama satlantas dan kami ingin mengabari bahwa kendaraan yang membawa suami Anda, mengalami kecelakaan beruntun," ucapnya jelas dan tegas.
"A-apa?"
Bak petir di tengah malam gulita. Tanpa hujan, tanpa badai, suara gemuruh saling menyambut dan menggetarkan hati Bunga.
"Tidak mungkin."
"Korban sudah di bawa ke Rumah Sakit Kota. Silakan diperiksa!" sarannya dengan suara tenang.
"Ba-baiklah." Bunga menutup ponselnya dan langsung berlari ke arah nyonya Susan.
Pintu diketuk dengan gerakan tangan yang cepat. Tak lama, mertuanya keluar dari dalam kamar dan ketika melihat Bunga lah yang berada di luar pintu kamarnya, wajah cantik itu kembali ditekuk.
"Ada apa? Berani-beraninya kamu menyentuh pintu kamar saya," ujarnya sangat emosional.
"Ma-Mama ... ." Bunga mencoba untuk mengatakannya bersama bibir yang terus bergetar.
"Berhenti menyebut saya dengan panggilan itu!" Bentak nyonya Susan dalam emosi, sembari membuka matanya lebar-lebar. "Kamu tidak pantas," bisiknya sambil mendorong Bunga yang sudah lemah.
Bunga menundukkan kepala, ia berusaha untuk mengangkat lidahnya, "Papa dan Lucky kecelakaan, Ma."
"Apa?" nyonya Susan terdiam dan amarahnya berubah menjadi ketakutan.
"Sekarang sedang di Rumah Sakit Kota," sambung Bunga yang tidak kalah cemasnya dengan nyonya Susan.
"Semua gara-gara kamu, dasar sialan!" ujarnya penuh dendam. "Ya Tuhan, papa ... Lucky ... ."
"Mama!" panggil Bunga dengan suara memohon. "Untuk kali ini saja, ayo pergi bersama!" pintanya dengan tubuh yang membungkuk.
Tanpa menjawab, nyonya Susan masuk ke dalam kamarnya. Lalu keluar dan berjalan cepat sambil meneriaki sopir pribadinya. Kemudian mereka berangkat ke rumah sakit bersama.
Bersambung.
Jangan lupa tab love, follow aku, dan tinggalkan komentar ya, makasih.