Part 38

1019 Kata
Part 38 "Lo mau kemana?" tanya Salma saat memerhatikan penampilkan kakaknya sudah rapih saja di hari minggu dan biasanya kakaknya itu mandinya paling siang kalau hari libur begini. "Jogging," jawab Silma singkat. "Jogging? Tumben banget lo mau jogging." "Kan gue gak sendiri." "Sama gue?" Salma menunjuk dirinya sendiri. "Bukan lo lah, sama Alfa." Silma fokus pada ponselnya yang tengah berbalas pesan dengan kekasihnya. "Sekarang gak minta bantuan gue lagi? Gak takut dicurigai sama ayah dan bunda?" "Enggak, ngapain takut dicurigai? Selama itu gak ketahuan jadi biasa menurut gue." Silma mengedikkan bahunya acuh dan mulai melangkah pergi. "Ya sudah hati-hati." Silma mengangguk saja sebagai respon. Salma tentunya mengikuti kakaknya sampai di teras rumah. Setelah melihat kakaknya sudah masuk dan di antar oleh sopir pribadi barulah Salma balik masuk ke dalam rumah. "Salma." Sapa bundanya yang sedang membawa nampan berisikan cemilan. Lalu ada Juna yang datang hanya mengambil satu toples makanan dan pergi ke ruang keluarga untuk bermain game bersama Pandu. "Kamu gak main kah? Hari minggu ini masih di rumah saja." Zena duduk di ruang tamu sambil menonton televisi dan Salma pun ikut duduk di sebelah Zena. "Enggak, lagi males aja main." Salma menggeleng. "Silma sekarang sudah berani keluar sendiri, biasanya ngajak kamu. Dia punya teman kah?" tanya Zena penasaran kepada Salma. "iya, Bun." Salma mengangguk cepat. Ia sebenarnya merasa bersalah harus berbohong terus menerus soal Silma terhadap orang tuanya. "Apa benar Silma sudah punya pacar?" 'Gue capek bohong terus tapi kalau gak bohong, Silma bakal marah ke gue karena melanggar janji'--pikir Salma yang tidak bisa tenang ketika mulai berbohong.tapi "Belum, Bun." "Ouh begitu, bunda khawatir banget kalau anak-anak bunda itu pacaran. Mending fokus sekolah aja." "Emang kenapa sampai takut gitu, Bun?" Sekarang berganti Salma yang penasaran mengapa bundanya sangat mengkhawatirkan anak-anaknya pacaran bahkan sampai melarang keras memiliki pacar. "Takut aja, kalau anak-anak bunda nanti gak bisa fokus sama sekolah dan mendahulukan pacaran. Terlebih lagi pacaran itu harus siap patah hati dan itu resikonya. Sudah patah hati terus waktunya mengerjakan tugas sekolah jadi tidak fokus. Anak-anak bunda itu mirip sifatnya kayak bunda. Bunda pernah merasakan betapa sakitnya mengenal apa itu pacaran dan setelah bunda mempunyai anak jadi bunda melarang anak-anak bunda supaya tidak bernasib sama seperti bunda. Tidak menyesal sih, ambil sisi positifnya saja ya. Memang sih tergantung anak-anak bunda tapi tetap saja bunda berharapnya anak-anak bunda yang diutamakan fokus pendidikan. Tidak usah khawatir soal pasangan, jodoh sudah ada yang mengatur apalagi cewek pasti deh kalau pinter banyak yang ngejar," ujar Zena menjelaskan. "Dulu bunda banyak yang mengejar kah? Terus ayah beruntung dapetin bunda karena bunda itu wanita terbaik buat ayah?" tanya Salma begitu polos memandang wajah bundanya terutama mata teduh bundanya yang menghangatkan hatinya. 'Salah itu, Nak. Kalau tidak ada kalian, bunda sama ayah tidak bersama'--jawab Zena dalam hatinya. "Iya, bisa dibilang begitu." Zena tersenyum tipis. Andai anaknya tau yang terjadi sebenarnya di masa lalu, mungkin akan membencinya dan juga Pandu. "Bun kalau ada cowok dekat sama kita terus yang dulunya sifatnya ngeselin sekarang jadi berubah. Kayak lembut gitu sifatnya, kalau dimarahin malah sabar banget menghadapinya terus dia gak kayak dulu yang suka banget bikin marah sampai puncak marahnya. Emm laki-laki yang sifatnya berubaj begitu tandanya dia suka sama kita kah?" tanya Salma yang kini malah membayangkan sikap Malvin kepadanya. "Iya, wah ada yang deketin kamu ya?" Zena menggoda putrinya. Ia tidak marah ada yang mendekat putrinya, justru ia senang mendengar cerita dari putrinya begini dan akan terus diawasi. "Iya gitu lah, Bun." Zena terkekeh pelan melihat putrinya sedang salah tingkah. "Iya dia suka sama kamu dan nyaman kalau ada didekatmu. Siapa sih orangnya?" "Ada deh, Bun. Aku malu ih." Salma bergelayut manja di lengan bundanya. "Jadi teman aja. Kamu boleh kok pacaran entar kalau sudah lulus sekolah SMA." "Kan aku belum bilang pacaran." "Iya, Bunda mengerti maksudmu, Nak. Kamu cerita gini aja, bunda sudah senang banget, kalau ada apa-apa cerita aja ke bunda dan bunda akan berusaha membantu anak-anak bunda yang sedang kesulitan," kata Zena mengingatkan. "Terima kasih, Bun." "Sama-sama. Namanya siapa sih?" tanya Zena yang mulai kepo. "Rahasia, Bun." "Ajak ke rumah juga gak papa, sekelas kan? Mesti ada kelompok." "Enggak mau." Salma menggeleng dan mengulum senyumnya. "Woo dasar, anak bunda makin gede sekarang. Udah ngerti cinta-cintaan." Zena mengunyel pipi Salma yang chubby. "Jadi teman dekat itu boleh ya, Bun?" tanya Salma memastikan. "Gak papa, teman biasa aja atau sahabat. Temanan sama siapa aja boleh kok. Kalau temanmu yang cowok mengerti pasti deh dia itu tetap hatinya ada kamu. Ciee." "Hih bunda godain Salma terus." Salma memeluk bundanya erat dan terakhir menciumi pipi Zena. 'Andai kakaknya berterus terang pada Zena, pastinya kakaknya tidak seperti ini'---batin Salma yang tiba-tiba teringat kakaknya saat membahas hal pacaran bersama Zena. ... "Seneng ya kayaknya? Baru pertama kali jogging?" Alfa tertawa kecil melihat Silma yang antusias diajak jogging olehnya. "Seneng dong apalagi joggingnya sama kamu." "Gemes banget sih." Keduanya berlari kecil bersebelahan dan tidak lama pula Silma sudah merasa lelah lalu meminta berhenti pada Alfa. "Tadi semangat banget." Alfa pun ikut duduk selonjoran di pinggir jalan raya yang suasananya masih nampak sepi. "Kan capek, gak kuat lama-lama. Nanti juga bisa lama kok." Silma mengerucutkan bibirnya sebal. "Iya deh iya yang lagi ngambek." Alfa membukakan botol minum untuk kekasihnya. Kemudian Silma meneguk air mineral yang dibelikan oleh Alfa sebelum berolahraga tadi. "Aku kok laper." Silma memegang perutnya yang berbunyi. "Cari makan yuk!" ajak Alfa yang sudah mengerti. "Ayo!" Silma mengangguk mantap dan berdiri dengan semangat. "Bubur ayam ya," ucap Silma. "Iya deh." Alfa menyetujuinya. "Kayaknya trauma aku." Alfa terkekeh pelan seraya merangkul Silma. "Kamu pikir kamu doang, aku juga haha." Kedua tertawa riang gembira. Tanpa mereka berdua sadari. Sebuah mobil melintas di samping mereka dengan laju yang stabil dan orang yang berada di dalam mobil langsung menghadap ke belakang saat di rasa ada seseorang yang dikenalinya. "Itu Salma kan?" Lelaki itu kebingunan lalu duduk biasa seperti sebelumnya. "Itu Salma sama cowok lain. Apa jangan-jangan sahabatnya muncul lagi?" "Gue chat deh. Semoga aja cuman halusinasi gue tadi. Gue gak suka lihatnya." Dialah Malvin yang panik sendiri saat melihat sekilas seorang gadis yang mirip dengan Salma sedang berduaan bersama laki-laki lain yang tidak dikenalinya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN