Part 47
"Terima kasih ya om buat traktirannya." Malvin mencium tangan Pandu begitupula dengan Rery.
"Iya, sama-sama."
"Tadi sebenarnya Salma yang mau traktir saya eh ternyata ayahnya yang traktir," ucap Malvin mengadu.
"Gitu aja cerita." Salma mendengus sebal.
"Bagus tuh apa-apa cerita daripada kamu suka main rahasia-rahasiaan ke ayah." Pandu merangkul Salma dan mereka semua berjalan keluar dari area toko.
"Kan privasi, Yah."
"Kan ayah penasaran." Pandu terkekeh pelan saat menggoda putrinya yang sekarang berani berteman dengan laki-laki sebab yang ia ketahui hanya satu orang saja seorang cowok yang berteman dengan Salma.
"Kamu antar Salma pulang kan?" tanya Pandu pada Malvin.
"Iya dong, Om. Saya harus tanggungjawab karena saya yang mengajak anak om." Mereka tiba di depan toko sekaligus di tempat parkiran. Rery sudah pamit pulang duluan.
"Bentar-bentar kayaknya ada yang ganjal nih." Pandu memandangi motor Malvin tapi justru tak sengaja melihat suatu barang yang membuatnya tersenyum samar.
"Ah ini saya habis beli helm tadi." Malvin yang tau arah mana yang ditatap Pandu lalu ia menggaruk rambutnya. Lagi-lagi menjadi kikuk dan salah tingkah. Ayahnya Salma sangat teliti sekali dan susah rasanya menyembunyikan barang agar tidak dicurigai.
"Ouh habis beli helm baru ini." Pandu melirik Salma yang membuang muka ke arah lain dan enggan menatapnya balik. Putrinya malu kepadanya sampai menggigit kukunta sendiri.
"Sudah ah, ayo pulang!" Salma buru-buru menaiki motor Malvin ketika lelaki itu baru saja menaiki motornya.
"Hampir oleng zeyeng." Reflek Malvin mengucapkan kata tersebut membuat Pandu mengulum senyumnya.
"Zeyeng? Wah kata gaul mana lagi ini? Bilang sayang aja gak usah pakai zeyeng-zeyengnya." Pandu menggoda putrinya membuat Salma berteriak kesal kepada ayahnya dan menyuruh Malvin segera pergi.
"Pamit pergi, Om!" Malvin yang sudah terkena pukulan beberapa kali dipunggungnya akhirnya memutuskan segera pergi dari sini.
"Iya hati-hati!" Pandu mengangkat tangannya ke arah mereka dan mendoakan mereka selamat sampai tujuan.
'Aku sadar, putriku semakin beranjak dewasa dan sudah waktunya mengenal cinta. Tapi mengapa aku menjadi sedih? Sedihnya membayangkan putri-putriku menikah nantinya dan saat waktu itu tiba, semuanya akan terbongkar dan aku khawatir, merek membenciku'---ucap Pandu dalam hatinya.
Pandu merasa sedih jika membayangkan anak perempuannya menikah nanti dan sebelum mereka menuju ke jenjang sana, rasanya Pandu ingin mengatakan sesuatu kepada si kembar tentang dirinya dan Zena di masa lalu. Tapi saat akan mengatakan itu, Pandu justru merasa takut mereka tentu membencinya.
"Kapan aku bisa mengatakannya bahwa mereka lahir di waktu yang salah dan otomatis diriku tidak bisa menjadi wali nikah mereka nanti." Lirih Pandu yang masih dibayang-bayangi kesalahannya di masa lalu.
...
Salma baru selesai mandi dan berganti baju. Ia duduk di meja belajarnya yang kondisi mejanya itu berantakkan. Salma sedang malas bersih-bersih akhir-akhir sebab banyaknya tugas yang menumpuk dan membuatnya lelah. Begitulah dirinya yang hobbynya menumpuk tugas dan kali ini ia panik tatkala baru ingat ada tugas prakarya yang belum di kerjakan.
Tugas prakaryanya itu akan ditumpuk besok pagi. Salma langsung membuka laptopnya dan mulai mengerjakan tugasnya yang nantinya akan diprint.
"Bodo amat dapat nilai jelek atau bagus yang terpenting mengerjakan daripada bolong tugas gue. Haduh mana minggu depan waktunya ulangan semester."
"Dunia SMA gue keras broh."
Mengerjakan tugas sambil mendumel adaah hal yang selalu dilakukan oleh Salma saat dilanda kepanikan. SMA-nya sangat menegaskan kedisiplinan dan memakai poin. Semakin banyak mendapatkan poin, maka semakin dekat dikeluarkan oleh sekolah.
Hanya lima soal dan jawaban yang agak mudah bagi Salma. Namun jawabannya sangat begitu banyak hingga jari-jarinya rasanya linu dan marah saat menyalin jawaban dari go*gle tiba-tiba harus diulang kembali atau ada tulisan yang tidak bisa di salin. Dua jam sudah berkutat di dalam kamar, kini Salma keluar sambil membawa laptopnya lalu menuju kamar kakaknya. Karena printer miliknya rusak, Salma memutuskan meminjam kakaknya saja dibanding besok harus mengantri di perpustakaan yang biasanya banyak murid akan mengeprint tugas.
"Sil, gue masuk." Tanpa menunggu jawaban, Salma membuka pintu kamar kakanya dan masuk ke dalam.
"Lo kenapa nangis?" tanya Salma terkejut saat melihat beberapa lembar tisu yang sudah tak berbentuk rapih berceceran di lantai.
Silma yang tadinya sibuk menatap laptopnya seketika gelapan dan segera menutup laptopnya lalu diletakkan di sebelahnya.
"Gue habis nonton film sedih jadi gue nangis gara-gara itu sih." Silma berbohong, ia masih saja menangisi soal tadi saat bersama Alfa.
Silma masih susah melupakan lelaki itu yang memaksanya balikan bahkan berteman jika tidak mau balikan. Itu semua bukanlah keinginan Silma sebab Silma telah kecewa terhadap sikap Alfa. Lalu teringat masa-masa indah bersama Alfa yang membuatnya mudah menangis. Banyak kenangan manis yang masih terngiang-ngiang dipikirannya dan tentunya Silma masih memiliki rasa kepada Alfa.
Tidak hanya Alfa yang menginginkan kembali, dirinya pun juga menginginkan hal yang sama tapi apa daya hati dan pikirannya tidak sejalan. Silma memilih pikirannya dan menganggap melupakan Alfa adalah pilihan yang benar. Walau itu rasanya berat dijalaninya sekarang karena Alfa sudah terang-terangan tidak mau putus dengannya.
"Gila sih lo nangis habisin satu kotak tisu mana tercecer entah kemana pula hih jijik."
"Healah, kamar lo aja lebih berantakkan dari gue."
"Ya lebih menjijikan lihat tisu bekas ingus." Salma bergidik geli dan memilih duduk di meja belajae kakaknya.
"Lo ngapain ke kamar gue?" tanya Silma heran sembari membereskan tisu-tisu bekas tangisannya lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
"Mau ngeprint."
"Gue aja yang ngeprint." Setelah selesai membuang sampahnya, Silma menyuruh adiknya duduk di kasur sedangkan dirinya mengeprint tugas adiknya. Silma sudah mengerti printer milik adiknya rusak.
"Kurang satu jam lagi, makan malam." Salma merebahkan tubuhnya dan menatap jam dinding kamar kakaknya.
"Iya ya gue tau."
"Lo kan lemot." Salma meledek kakaknya.
"Sekarepmu." Silma mendengus, bukannya diam malah adiknya mengganggunya dengan meledeknya.
"Lo tadi sama Malvin pulangnya?"
"Lo ngintip dari jendela ya?" tebak Salma.
"Iya. Lo dianter sampai depan gerbang?"
"Iyalah, males gue jalan kaku dari depan perumahan. Lagian ayah sudah tau gue sama Malvin. Tapi berteman kok dan tidak lebih dari itu." Salma tetap pada prinsipnya yang tidak mau pacaran dulu.
"Beneran tuh? Ntar diambil orang, nangis."
"Kita kan gak boleh pacaran, ya itu sih lo yang nekat. Gue mah kagak."
"Tinggal tunggu, kuat apa enggak lo memendam rasa ke Malvin. Emm kira-kira berapa lama ya lo kuat?"
"Udah deh, lo fokus ngeprint tugas gue aja."
"Aw!" pekik Silma saat punggungnya dilempari bonekanya oleh Salma.
...
"Hati-hati ya." Zena melambaikan tangannya ke arah si kembar yang tengah masuk ke dalam mobil.
"Iya, Bun!" seru Salma. Silma hanya diam saja dan ia masih kesal kepada bundanya. Mengingat bundanya melarangnya berpacaran meski sekarang Silma sudah tidak berpacaran lagi.
Zena tersenyum memandang mobil yang ditumpangi dua putrinya melaju perlahan keluar dari gerbang rumahnya.
Zena masuk ke dalam rumahnya dan ganti Arjuna yang akan diurus. Putranya itu sangat manja kepada dan tidak mau barang-barangnya disentuh orang lain, kecuali bundanya.
"Juna, susunya sudah diminum belum?" tanya Zena saat ia kembali ke ruang makan dan melihat Juna masih berkutat pada ponselnya.
"Tinggal dikit."
Zena baru sadar kalau Juna masih menggenggam gelas kaca berisi s**u berwarna putih.
"Dihabisin dulu baru main hp. Kamu lihatin apa sih? Jam sudah mau siang lho."
"Iya ya, Bun. Sabar."
Zena meletakkan tas putranya di kursi ketika tau kalau tas Juna tergeletak di lantai.
"Ini lho sudah." Juna beranjak berdiri dan memasukkan ponselnya di sakunya.
"Dimasukkin di tas saja biar gak jatuh waktu kamu mengayuh sepeda." Saran Zena.
"Males, Bun." Juna hanya tersenyum saja dan mulai menghabiskan susunya.
"Ini ya dibilangin susah, pantesan selalu ganti hp. Kamu aja barang gak bisa awet." Zena mengusap bahu Juna setelah Juna beranjak berdiri dan mengambil tasnya.
"Sudah gak ada yang ketinggalan? Diperiksa lagi."
"Enggak ada, Bun. Sudah kuperiksa tadi." Juna menyapmpirkan tasnya ke pundaknya.
Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari rumah dan di sana sudah disiapkan sepeda oleh seorang pembantu.
"Bunda, Juna mau berangkat sekolah." Juna mencium tangan Zena kemudian menaiki sepedanya dan berangkat ke sekolah.
Zena masih tetap di latar rumah sampai anaknya sudah benar-benar pergi. Namun dahi Zena berkerut ketika Juna tiba-tiba menghentikan mengayuh sepedanya di depan gerbang.
"Ada apa, Juna?" tanya Zena sedikit berteriak sebab Juna menolehkan wajahnya ke belakang dengan memasang raut wajah yang sulit diartikan.
"Ada tamu, Bun."
"Siapa?" Zena mendengar kata 'tamu' pun lantas berjalan gontai menuju ke sana.
Seketika mata Zena membulat mengetahui siapa seorang tamu yang dimaksud putranya yang berdiri di depan gerbang.
"Mbak Ca-Cala," ucap Zena terbata-bata.
Wanita di hadapannya saat ini sungguh tidak asing lagi dan sangat mengenalinya. Wanita yang sekarang sudah berusia 46 tahun itu melepaskan kaca matanya dan wajahnya terlihat jelas kali ini. Seseorang yang berada di masa lalu dan pernah menjadi mimpi buruknya kembali hadir seperti dugaannya. Tapi ia tak percaya orang itu masih datang kembali ke keluarganya setelah kejadiaan keji yang dilakukan wanita tersebut yang tak lain ialah Calandre Maulia atau yang kerap disapa Cala.
"Selamat pagi, Nyonya Wijaya. Masih ingat aku ini siapa?" Cala tersenyum miring sambil tangannya membenarkan rambutnya sebentar.
"Bunda, bunda kenapa?" tanya Juna bingung begitu melihat bundannya yang mendadak terdiam dan raut wajahnya berubah.
"Ah enggak papa, Juna. Kamu pergi sekolah sana."
"Iya, Bun." Namun Cala menghalangi Juna pergi ke sekolah dan menyuruhnya tetap di sini sebentar.
"Jangan tahan anakku! Dia mau berangkat sekolah!" Zena kesal karena putranya ditahan oleh Cala.
"Kenapa harus ditahan? Uluh uluh suaranya masih terdengar ketakutan ya? Lagian aku ke sini juga tidak hanya ingin bertemu denganmu melainkan ingin melihat anak-anakmu terutama si kembar." Cala tersenyum dan terkekeh pelan.
Zena merasa was-was teringat dulu saat dirinya memberikan mukena kepada Cala agar segera tobat dari kejahatan di penjara dan mendapat kabar dari seorang sipir bahwa Cala membakar mukena serta barang-barang yang diberikan kepadanya. Entah bagaimana Cala bisa membakar barang-barang yang telah diberikannya. Cala masih belum berubah itulah yang membuatnya Zena merasa cemas kali ini.
"Tante orang jahat ya?"
"Kamu tidak sopan sama seperti Pandu dan wajahmu juga sama-sama gantengnya seperti Pandu. Hmm aku juga ingin bertemu mantan kekasihku yang direbut ibumu." Tangan Cala terangkat dan akan mengusap rambut Juna. Zena langsung mencegahnya dengan menepis pelan tangan Cala.
"Jangan sentuh anakku!" teriak Zena dan menyuruh Juna berada di belakangnya. Zena semakin waspada karena nama suaminya disebutkan.
"Tidak sopan gimana sih, Tante? Saya tadi sudah menyapa dan mencium tangan, Anda. Terus apa tadi? Saya mendengar nama ayah saya disebutkan dan Anda mengaku kalau Anda ini mantan ayah saya? Bunda dan ayah itu saling mencintai sejak SMA. Tolong jangan menghalu, mengaku mantan ayah saya." Juna tidak takut dan ingin melindungi bundanya. Tapi Zena tetap menyuruhnya berada di belakangnya.
"Anaknya membela cerita kebohongan dari orang tuanya. Duh kasian sekali, anak-anaknya dibohongin." Cala kembali memakai kaca matanya lalu menggelengkan wajahnya.
"Benar kan bun apa yang Juna bilang?" tanya Juna pada Zena.
"Benar, Sayang. Jangan didengar ucapan tante itu ya!" Peringat Zena kepada putranya. Juna mengangguk cepat dan menatap tidak suka kepada Cala.
"Mau apa kamu datang kemari? Kamu masih menganggu keluargaku? Dan sekali lagi, aku tidak pernah bermaksud merebut Mas Pandu darimu." Zena pun menyuruh anaknya segera berangkat sekolah sebab takutnya kesiangan.
"Ya coba saja kamu tidak hamil duluan. Aku bisa menikah dengannya tanpa ada drama yang berujung aku di penjara."
"Itu kesalahanmu, kamu memang wanita jahat dan sudah pantasnya pergi kehidupan Mas Pandu. Mas Pandu telah menjadi lebih baik saat bersamaku dan kamu dulunya membuat Mas Pandu berani kepada orang tuanya."
"Begitu kah? Haha iya ada benarnya juga. Tapi kan kita saling mencintai, ups sayang gak ada anakmu. Gimana kalau tau orang tuanya bersatu bukan karena saling mencintai melainkan bundanya hamil duluan? Sepertinya kalau si kembar tau bakalan ada drama lagi haha." Cala tertawa keras.
"Aku dan Mas Pandu saling mencintai. Tolong, jangan ganggu keluarga kita. Kamu pun sudah bahagia dengan yang lain. Aku ingin kita damai." Zena mengatur napasnya dan jantungnya sudah sedari tadi berdegup tak karuan. Bayang-bayang kejadian memilukan di masa lalu kembali terputar begitu jelas diingatannya.
"Ah aku jadi ingat tujuan utamaku datang ke sini." Cala merogoh tasnya dan Zena agak memundurkan tubuhnya.
Zena menatap Cala bingung dan Cala memberikannya sebuah undangan.
"Yahh pastinya kamu sudah mendengar kabarku kan? Ya aku menikah dengan seseorang yang pernah menjadi musuh bisnis Pandu. Tapi aku menikah secara siri. Walau begitu, aku membuat acara perayaan mewah. Iya dong, hidupku tetap enak, bergelimang harta," ujar Cala yang bersikap angkuh dan bersedekap d**a.
"Sayangnya aku tidak disuruh masuk." Cala melirik sekilas rumah mewah di sampingnya.
"Jikalau kamu berubah, aku akan menyuruhmu masuk." Zena menghela napasnya pelan.
"Oh ya?"
"Aku mohon jangan ganggu keluargaku."
"Entah." Cala mengedikkan bahunya acuh.
"Bye!" Cala pergi meninggalkan Zena yang masih mematung di tempatnya berdiri.
Zena mengusap dadanya dan menenangkan dirinya. Firasat tidak enak pun muncul.
"Ya Tuhan, lindungilah keluargaku."
...