Part 46
Seperti kata Malvin, Salma menyuruh sopirnya untuk tidak menjemputnya sebab dirinya akan bersama Malvin dan teman-temannya selepas pulang sekolah hari ini.
Malvin sangat bersemangat mengajak Salma seperti habis memenangkan lotre. Lelaki itu begitu senang akhirnya Salma perlahan luluh kepadanya, walau begitu Salma masih gengsi mengakui perasaannya. Tangan Malvin menggandeng Salma dan tidak mau dilepaskan sampai menuju parkiran motor.
"Tangan lo kecil banget sih." Komentar Malvin saat menggandeng tangan Salma.
"Tangan lo yang terlalu besar."
"Tapi pukulan lo kuat banget." Malvin menyengir, sosok Salma adalah hiburan dari segala kesedihan dan kesepian dalam kehidupannya.
Meski tak tampak Salma menghiburnya, cukup melihat Salma tersenyum dan tidak terlalu acuh kepada itu sudah menenangkan hatinya.
"Iya deh, terserah lo bilang apa," ucap Salma mengalah dan pasrah tangannya diayun-ayunkan oleh Malvin ketika mereka berjalan beriringan.
"Temen lo dimana?" tanya Salma bingung karena setiba di parkiran, tidak menemukan keberadaan teman Malvin.
"Rery nunggu di depan gerbang." Malvin menaiki motornya.
"Ouh." Salma akan menaiki motor Malvin tapi dicegah oleh Malvin.
"Apa?"
"Pakai helm gue."
"Enggak mau, helm lo berat." Salma menolak seraya menggelengkan kepalanya. Bisa dibayangkan beratnya helm full face milik laki-laki dan Salma tidak mau kepalanya malah pusing nantinya. Gadis itu pernah mencoba helm ayahnya sendiri dan langsung membuat kepalanya menjadi lemas saking merasakan beratnya helm tersebut.
"Ah iya sih, tapi demi keselamatan lo. Kalau gue, tidak masalah. Gak ada yang sedih kalau gue tiada."
"Omongan lo ngaco deh." Salma tak suka mendengar ucapan Malvin baru saja.
Malvin hanya tersenyum dan memakai helmnya sendiri. Salma pun juga sudah ada di belakangnya.
"Gue suka be*t daripada ninja, rampong banget mau naik." Salma menggurutu karena kesulitan menaiki motor Malvin yang terlalu tinggi.
"Iya sudah besok gue bawa mobil sekalian biar lo gak kesulitan, kan enak tuh naik mobil. Lo juga gak kepanasan, kehujanan dan bisa tidur pulas."
"Ya sudah bawa mobil sana besok." Salma tidak percaya dengan ucapan Malvin dan menganggap Malvin hanya bercanda saja. Padahal Malvin memang serius besok membawa mobilnya ke sekolah.
"Asalkan lo mau bareng gue tiap pulang sekolah."
"Bawa mobil aja kagak mungkin." Salma mencibir.
"Beneran dibilangin kok." Malvin pun menjalankan motornya dengan kecepatan stabil dan sempat berhenti untuk memanggil temannya yang sudah menunggunya sedari tadi di gerbang sekolah.
"Rery!" teriak Malvin tatkala sudah keluar dari area sekolah.
"Oi!" Rery menyusul dari belakang dan sempat tercengang melihat Salma juga ikut.
"Si Malvin bawa ceweknya, nah gue jadi obat nyamuk nanti dong." Rery bergumam dan memilih di belakang motor Malvin.
Di sisi lain...
Malvin menatap dari spion motornya, Salma ternyata berpengangan kuat di pundaknya dan tampak takut menaiki motornya yang kecepatannya ia tambah.
'Lucu banget sih ekspresinya'--Malvin merasa gemas melihatnya.
Kemudian meraih tangan Salma supaya melingkar di pinggangnya tapi Salma menolak dan memasang muka kesal kepadanya. Akhirnya Malvin tidak memaksa Salma, berbeda dengan Salma yang terkejut dan reflek menolak tangannya yang dituntun oleh Malvin untuk memeluk pinggangnya. Degup jantung Salma berdebar tak karuan, ada rasa aneh yang membuatnya perutnya juga sakit dan tubuhnya terasa panas.
"Lho kok berhenti di sini?" tanya Salma heran saat Malvin menghentikan motornya di depan toko helm.
"Beliin lo helm." Malvin melepaskan helmnya dan menyuruh Salma turun lebih dulu.
"Gue gak--"
"Sudah gak papa, gue juga mau beli helm biar kita couplean." Malvin menata motornya lalu menarik tangan Salma agar ikut masuk bersamanya.
"Ada-ada saja." Salma melongo dan tertawa sebentar.
Rery yang berada di belakang mereka tadi juga sempat bingung tapi saat melihat toko yang menjadi Malvin menghentikan motornya, ia seketika paham apa yang membuat Malvin ke tempat ini.
Malvin dan Salma sudah di dalam toko helm. Mereka di sambut oleh salah satu pegawai di toko tersebut.
"Lo mau model helm yang kayak gimana?" tanya Malvin kepada Salma.
"Sebenarnya gue punya helm di rumah."
"Sudah, tidak masalah kan gue ngajak lo couplean." Malvin tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan giginya yang rapih.
"Hmm iya deh, gue mau yang model bogi begini." Salma berjalan menuju model helm yang disukainya.
"Warna apa mbak? Warna polos atau beberapa warna menjadi satu begini?" Pegawai itu menawarkan helm dengan berbagai warna.
"Saya ingin warna hitam polos."
"Ada dua modelnya, silakan dipilih."
"Yang ini, Mbak."
"Oke, masnya juga nyari?" tanya pegawai itu kepada Malvin.
"Sama kayak pacar saya."
Salma melotot mendengar dirinya disebut pacar, ia mencubit pinggang Mavin membuat Malvin mengeluarkan ringisan.
Pegawai toko itu terkekeh melihat keromantisan mereka berdua lalu ia memilihkan helm untuk Malvin. Malvin dan Salma mencoba helmnya masing-masing sebelum membayar helm di kasir. Setelah cocok di hati mereka, Malvin dan Salma sama-sama menuju ke kasir.
"Gue yang bayar. Lo tunggi di luar aja." Malvin menahan Salma agar tidak ikut-ikutan di kasir.
"Gue bisa bayar sendiri."
"Enggak usah, kan gue yang ngajak jadi gue yang tanggung jawab." Malvin mengulum senyumnya simpul.
"Gue jadi repotin lo."
"Enggak papa, Salma. Sudah sana keluar!" Malvin mengusir Salma dengan mendorong pundaknya pelan.
Salma menghela napasnya dan keluar dari toko helm. Di sana dirinya tak sendiri melainkan ada Rery yang duduk di atas motor sambil bermain ponselnya. Salah satu teman Malvin yang menurut Salma paling ngeselin.
"Ekhem, yang dulunya menghindar sekarang bersama, ekhem." Tanpa menatap Salma, Rery menyindir gadis itu.
Salma mengabaikan Rery yang mencoba memancingnya.
"Gitu ya benci yang artinya benar-benar cinta. Ihuyy bentar lagi gue ada pajak jadian dari Malvin nih." Rery bersiul dan cekikian.
"Gak waras."
Tak lama, Malvin telah selesai membayar dua helm yang dibelinya dan menghampiri Salma.
"Nih. Couple kan kita?" Malvin memberikan helm kepada Salma.
Salma pun memakai helm pemberian Malvin.
"Makasih."
"Sama-sama."
"Lo beli helm juga?" tanya Rery begitu melihat Malvin memakai helm baru.
"Iya dong, kita couplean."
"Lo yang pengen bukan gue dan tadi, lo ngaku-ngaku gue itu pacar lo?" Salma menatap Malvin yang tengah mengeluarkan motornya dari barisan motor lain sembari berkacak pinggang.
"Ya sapa tau kan nanti lo jadi pacar gue." Malvin cengengesan lalu menyuruh Salma ke motornya.
"Kalian ini ribut mulu," cibir Rery.
"Jomlo harap diam!"
"Sok banget deh lo." Rery menatap sinis ke Malvin.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju toko sepatu merk ZiZac.
"Jangan bilang ke Rery!" bisik Salma di sisi telinga Malvin.
"Siap!" Malvin mengangguk mengerti.
...
"Lumayan sepi nih, jadi lebih enak." Mereka bertiga masuk ke dalam toko dan disambut oleh salah satu pegawai toko sepatu.
Salma yang juga merasa cemas saja, takutnya ada ayahnya di lantai paling atas sebab ia tidak tau hari ini ayahnya di kantor mana karsna saking banyaknya cabang toko sepatu milik ayahnya.
"Semoga ayah gak ada di sini." Salma merapalkan doa dan ia tak mau ayahnya tau dirinya bersama laki-laki meski ayahnya tidak seperti bunda tapi tetap saja merasa khawatir ditegur.
Salma memperingati beberapa pegawai toko tersebut yang mengenalnya melalui sorotan matanya yang mengode mereka.
"Gue mau ke sana." Rery menepuk pundak Malvin dan Malvin hanya mengangguk saja sebagai responnya.
"Lo juga mau cari sepatu?" tanya Salma yang mengikuti kemana Malvin pergi.
"Iya, gue mau cari sepatu couple." Malvin memang pencinta barang couple bersama pasangannya. Ia selalu menyukai barang-barang yang dipakai bisa sama seperti seseorang yang disukainya.
"Sepatu couple?" tanya Salma melirih. Entah mengapa ia tidak suka kalau Malvin membelikan sepatu cewek lain.
"Ya couplean sama lo lah."
"A-apa?" Salma terbata-bata dan cengo menatap Malvin yang kini memanggil seorang pegawai.
"Cari sepatu apa, Mas?"
"Cari sepatu couple yang limited edition," ujar Malvin.
"Emang ada?" Salma bingung mendengar permintaan Malvin. Pegawai itu mengangguk dan pergi mencarikan sepatu sesuatu permintaan Malvin.
"Ada dong, ini punya bokap lo masak lo gak tau sih?" tanya Malvin balik dan gemas sendiri pada tingkah Salma.
"Enggak tau gue."
"Karena lo kayaknya gak pernah punya pasangan jadi begini."
"Lo ngejek gue nih?" Suara Salma berubah menjadi ancaman membuat Malvin menunjukkan dua jarinya sambil tersenyum.
"Hehe enggak zeyeng."
Pegawai tadi kembali menghampiri Malvin dan memberikan sepatu kets couple berwarna putih.
"Ini ukuran standard, dicoba dulu kalau kebesaran atai kekecilan bisa bilang nanti saya carikan yang lain."
"Iya mbak." Malvin duduk di kursi yang mencoba sepatu tersebut bersama Salma yang duduk di sebelahnya.
"Ukuran gue emang ini sih," kata Salma yang merasa sepatu itu sudah tepat di kakinya.
"Gue juga nih."
"Lo yang bayar dong? Ck biar gue aja deh."
"Gak usah, gue yang ngajak kok."
"Gue gak enak."
"Gak papa." Malvin beranjak berdiri dan memberikan sepatu tadi kepada pegawai toko yang menunggunya di hadapannya.
"Di ambil, Mas?"
"Iya, Mbak."
"Ya sudah deh nanti kita pulang dari sini, gue yang traktir makan."
"Ih gemes, gue itu gak papa." Malvin mencubit pipi Salma dan geregetan sendiri karena Salma tengah merasa tidak enak kepadanya.
"Sa bodo." Salma masih duduk di tempatnya sedangkan Malvin menghampiri Rery yang kebingungan memilih sepatu olahraga.
Satu jam kemudian, Rery sudah menemukan sepatu yang sesuai dengan keinginan dan Malvin yang mengomeli temannya itu terlalu lama dalam memilih seperti cewek kalau sedang berbelanja.
Malvin juga memaksa Salma memakai sepatu baru dibeli agar tampak coupleannya. Malvin merasa giginya kering karena sedari tadi tak bisa menghentikan senyum dan tawanya saat berbincang dengan Salma. Tapi saat mereka bertiga keluar dari toko, seseorang memanggil Salma dari arah samping dan tubuh Salma menegang seketika.
"Salma."
"Ayah." Salma meruntuki dirinya sendiri, bisa-bisanya bertemu ayah saat ayahnya ternyata terlihat baru tiba di toko cabang ini.
"Kamu kok gak bilang ke ayah kalau di sini? Terus mereka siapa?" Salma menghampiri dan mencium tangan ayahnya.
Pandu menatap dua lelaki di samping putrinya secara bergantian.
"Saya Malvin, temannya Salma, Om."
"Saya Rery, temannya Malvin, Om."
Mereka berdua juga mencium tangan Pandu.
"Kamu punya teman cowok rupaya. " Pandu membelai rambut Salma dan Salma merasa malu pada ayahnya saat ini.
"Iya, Yah."
"Habis pulang sekolah langsung ke sini ya?" tanya Pandu lagi.
"Iya, Om. Saya yang ngajak Salma ke sini buat nemenin saya beli sepatu," jawab Malvin seraya tersenyum sopan. Berbeda dengan Rery yang kebingungan sebab orang di hadapannya ini bukanlah orang biasa dan ia tau kalau orang tersebut pemilik toko sepatu ini.
'Jadi Salma anaknya pemilik sepatu ini? Buset mereka gak ngasih tau gue, Salma holkaynya bukan main juga. Asyik punya temen holkay, gue kan sering belanja sepatu nih hmm bisa tuh bisa dikasih bonusan'---Rery menggosok dagunya dan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Woy Rery!" Malvin berteriak tepat di telinganya membuat Rery terjengkat kaget.
"Bisa gak sih manggilnya santai, jantungan gue." Rery mengusap dadanya.
"Lha lo kayak orang gila aja, senyum-senyum sendiri. Ini tempat umum woy, lo tadi dilihati orang-orang mana dipanggil lo budheg pula." Malvin menarik napasnya.
"Napa sih manggil gue?"
"Ayo ikut gue, kita diajak makan-makan sama bokapnya Salma!"
....
"Salma nih gak cerita ke ayah kalau punya temen cowok. Diam-diam saja." Pandu mengajak Salma dan dua lelaki remaja itu ikut makan siang bersamanya. Pandu memang belum makan siang dan memaksa mereka untuk menemaninya yang ternyata mereka juga sama-sama belum makan siang sepertinya.
"Enggaklah, mereka gak penting diceritain," balas Salma.
"Ouh gitu." Pandu mengangguk paham.
"Sebenarnya tidak begitu, Om. Kita dekat kok dan saya juga teman sebangku Salma. Salma selalu ada di sisi saya saat saya sakit kemarin-kemarin." Malvin tersenyum santai dan tidak peduli ditatap tajam oleh Salma.
"Jangan percaya, Yah! Dia bohong." Bibir Salma cemburut dan Malvin menebak kalau Salma suka manja pada ayahnya.
"Kamu juga bohongin ayah tadi. Katanya sudah makan siang ternyata belum." Pandu menggoda putrinya dan curiga sepertinya mereka bukan cuman teman biasa melainkan melibatkan perasaan juga.
"Terima kasih ya, Om. Untuk makan siangnya."
"Iya, silakan dimakan. Yang banyak ya, tuh Salma juga." Pandu mengangguk dan tersenyum kecil.
Anaknya memang jarang membawa teman ke rumah dan kali ini Pandu merasa senang saja bisa bersama teman-teman anaknya.
"Ouh ya, ayah salah fokus sama sepatumu dan Malvin yang kembar."
"Itu couplean, Om!" Rery langsung menyahut cepat.
Pandu pun tersenyum lebar dan mengusap pipi Salma. Putrinya salah tingkah ketika dirinya pergoki memiliki sepatu couplean bersama teman laki-lakinya.
"Itu tanda pertemanan kita, Om." Sambung Malvin yang juga salah tingkah ditatap penuh selidik oleh Pandu.
"Ouh tanda pertemanan." Pandu mengangguk.
Bagaimana pun dirinya pernah merasakan muda seperti mereka jadi Pandu paham sekali dibalik pertemanan Salma dengan Malvin.
"Sudah, Ayah. Fokus makan aja. Katanya gak boleh makan sambil ngobrol," ucap Salma yang ingin rasanya segera pulang. Apalagi Malvin yang tidak bisa diajak kerja sama.
"Eh iya, ayo fokus makan." Kini mereka berempat mulai makan, Pandu tadi memesan soto ayam yang jualan di depan tokonya.
...