Part 43

1030 Kata
Part 43 "Sil, Salma nggak satu sekolahan sama lo ya?" tanya Kiky kepada Silma dan ia baru saja teringat seseorang yang dirindukannya. Silma menghentikan langkahnya lalu menghadapkan tubuhnya ke samping. Mereka berdua berada di koridor dan akan menuju kelas mereka masing-masing setelah terdengar bel masuk kelas beberapa menit yang lalu. "Salma sudah tau lo kok." Silma menelan ludahnya susah payah dan mengakui telah melakukan kesalahan yang sama yakni berbohong. Berbohong menjadi sifatnya yang melekat pada dirinya sendiri sekarang ini. "Terus?" tanya Kiky, maniknya berbinar-binar dan tidak sabar mendengar kelanjutan ucapan Silma. "Tapi, Salma nggak mau ketemu sama lo lagi. Dia sudah kecewa sekali karena lo ninggalin dia tanpa pamit." Silma memasang muka sedihnya supaya lebih dramatis supaya Kiky mempercayainya. "Salma kecewa ya?" Kiky langsung cemas dan menyesal. Menyesal dulunya mengapa ia tidak bergantian dulu kepada Salma sebelum dirinya pergi karena harus ikut keluarga yang mengadopsinya. "Iya, Ky. Gue sih sudah bilang berulang kali ke dia tapi Salma tetap tidak ingin bertemu kembali sama lo." Mereka berdua melanjutkan langkahnya. Sejak Silma putus bersama Alfa, sudah tidak ada lagi orang yang menatapnya sinis dan berbisik-bisik sewaktu melihat Silma lewat di koridor. Walau begitu masih ada beberapa yang tidak menyukai Silma bahkan ada yang secara terang-terangan mendukung Alfa dan Silvia balikan karena dirasa mereka berdua pasangan cocok dibandingkan Silma dan Alfa. "Maafin gue, Sal. Padahal gue kangen banget sama lo dan gue kembali ke Indonesia, sudah tidak sabar banget pengen ketemu sama lo." Kiky menghela napasnya pelan. Ia sangat merindukan temannya dan ingin bersama-sama kembali seperti dulu. Silma melirik Kiky sekilas dan perasaan bersalah mulai muncul di hatinya. 'Maaf, gue emang egois lagian teman Salma juga banyak dan gue gak mau Kiky nanti malah lebuh fokus ke Salma saat bersama gue. Gue tau, Kiky menyukai Salma dan gue gak terima mereka berpacaran dalam waktu dekat ini ditambah gue baru putus sama Alfa. Gue masih butuh Kiky di samping gue'---pikir Silma seraya mengangguk samar dan merasa keputusannya itu tepat untuk dirinya sendiri. Egois? Iya itu adalah dirinya. Ia sudah bukan anak kecil yang suka mengalah lagi dan ingin rasanya menjadi sosok egois karena baginya menjadi egois itu lebih membuatnya leluasa. "Tenang, Ky. Gue bakal bujuk dia beberapa kali kok." Silma menepuk pundak Kiky. "Iya, terima kasih, Sal. Tapi kalau memang dia emang gak mau ketemu sama gue, ya sudah aja sih gak usah dipaksa. Gue memang salah dan yang membuat Salma kecewa berat ke gue. Tapi lagi nih, nantinya gue sama dia kembali bersama." Kiky mencoba membawa santai meski hatinya tidak tenang dan ingin sekali bertemu temannya. "Iya, kalian pasti bakal bertemu." Silma mengangguk dan tersenyum simpul. Kiky mengulas senyum tipis dan ikut mengangguk. "Eh iya, Ky." "Apa, Sil?" Kiky menatap Silma bingung. "Lo kok bisa tau sih kalau gue itu Silma." "Ya iyalah pasti tau, kita punya foto bersama dan wajah kalian berdua juga tidak berubah malahan sama-sama lebih cantik aja." "Heleh, pasti cuman muji Salma doang nih." Silma tertawa kecil dan menyenggol lengan Kiky. "Kan wajah kalian sama, gak ada bedanya di wajah kalian." "Ya terus kok bisa tuh nebak benad kalau gue ini Silma?" tanya Silma penasaran. "Gaya pakaian kalian beda. Apalagi lo itu suka banget rambutnya terurai sedangkan Silma kan dari dulu dikuncir mulu sampai rambutnya kelihatan rusak gitu. Mungkin sekarang enggak ya? Salma perawatan pastinya." "Ah iya ya gue baru paham nih, haha. Iya si Salma selalu gue ajak ke salon dan kadang juga perawatan sendiri di rumah itupun gue paksa," ujar Silma. "Ah jadi tambah kangen sama dia." 'Maafin gue, Ky'---balas Silma di dalam hatinya. "Udah sampai kelas aja." Keduanya menghentikan langkah kaki bersamaan. "Gue duluan ya, Ky." Silma mengangkat tangannya ke arah Kiky dan dibalas yang sama pula oleh Kiky. "Iya, Sil." ... "Sal." Malvin masuk ke dalam kelas sambil di tangannya membawakan satu kantung plastik berwarna hitam dan disodorkan ke Salma setelah duduk dibangkunya. "Iya? Lo beliin gue ni?" Salma nampak meletakkan selembar foto di atas meja, sepertinya gadis itu sedari tadi memandangi selembar foto yang tampak usang dan menarik perhatian Malvin saat ini. "Iya." Malvin mengangguk dan meninggikan lehernya supaya lebih jelas menatap selembar foto berukurab kecil tersebut. Salma melahap pentol pemberian dari Malvin dan masih belum sadar apa yang sedang dilakukan oleh sosok lelaki di sebelahnya. "Itu foto siapa? Lo kah?" tanya Malvin kepo. Salma menatap Malvin sebentar lalu matanya tertuju pada selembar foto yang baru sadar masih tergeletak di depannya. "Eh iya, itu foto gue waktu SD dan ada acara foto rapotan eh tukang fotonya itu kenal sama bokap gue jadi gue difoto terus gue ajak sahabat gue juga hehe." Salma terkekeh dan malah menunjukkan dengan jelas foto tersebut di depan Malvin. Malvin menyipitkan matanya lalu mengucek matanya saat foto itu terpampang jelas di depannya. Salma yang keheranan pun memasukkan foto miliknya ke dalam dompetnya. "Ada apa sih?" tabya Salma dan masih mengunyah pentolnya. "Ah enggak papa, cuman kayak gak asing sih sama sahabat lo itu sahabat lo kah? Bukan saudara?" "Bukan. Ini sahabat gue dan gue tiba-tiba kangen aja sama dia." Selesai makan pentolnya," jawab Salma seadanya. Ia memang merasa sahabatnya itu sudah tidak jauh lagi dengannya dan Salma masih antara percaya atau tidak sekarang. 'Gue ingin ketemu sama lo, Ky. Gue kangen'---batin Salma di dalam hatinya. "Ah gue ingat, sahabat lo diadopsi?" "Iya, dia anak yatim piatu. Sepertinya sih diadopsi tapi ibu panti tidak memberitahukan keluarga mana yang mengadopsinya. Katanya sih keluarganya sudah dikenal banyak orang. Gue enggak tau sama sekali sampai sekarang. Siapa sih sosok keluarga yang mengadopsi Kiky? Dan sahabat gue emang buat gue kecewa juga karena gak pamit dan kasih tau ke gue. Emm." Salma menghembuskan napasnya berat Entah mengapa perasaan Malvin mulai tidak sejak Salma mengatakan soal adopsi dan ini kai soal keluarga yang katanya dikenal banyak orang. "Kalau boleh tau, nama sahabat lo siapa, Sal?" tanya Malvin makin penasaran. "Kepo banget deh." Salma tersenyum miring lalu beranjak berdiri dan akan membuang plastik bekas bungkus pentolnya ke tempat sampah di luar kelas. Malvin terdiam dan memandangi kepergiaan Salma. "Apa jangan-jangan dia? Ah enggak mungkin, keluarga yang dikenal banyak orang itu juga banyak dan bukan keluarga ayah doang." "Tapi kenapa gue kayak takut begini?" Malvin memegang dadanya yang mendadak berdevar tak karuan. "Semoga saja bukan dia," gumamnya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN