Sudah semalaman suntuk Adira berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya tetapi sepertinya hal yang sangat serius. Alisnya sesekali berkerut. Desahan nafas kasarnya pun menghiasi keheningan ruang kamarnya.
Pukul 4.00 AM
Sisa 2 jam lagi sebelum ia harus turun dan melakukan rutinitas paginya. Ia juga bahkan belum mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya.
Sedikit lagi. Ayolah.
“YES FINISH!” soraknya. Saat hendak merebahkan diri ia melirik jam dinding.
Pukul 5.30 AM
“Oh s**t”. Sontak saja Adira segera bangkit dan mempersiapkan semua perlengkapan yang akan dibawanya. Sesekali ia tampak kebingungan mencari barang-barang miliknya.
Setelah semua dirasa sudah ia bergegas ke kamar mandi untuk mengganti kaus dalam miliknya dengan seragam olahraga sekolahnya.
KRINGGG
Alarm berdering keras. Yang tandanya sudah pukul 6 pagi. Waktunya berkumpul di lapangan.
Mereka berdesak-desakan keluar dari kamar. Sekolah Adira memiliki asrama yang dihuni 200 siswa. Setiap kamar diisi 4-5 orang. Tapi mengapa kamar Adira hanya ia huni sendiri? Sebab hanya ialah satu-satunya perempuan.
Mereka terburu-buru. Bahkan ada yang memakai celana dalam perjalanan menuju lapangan. Lebih parahnya lagi ada yang hanya memakai kaus dalam dan boxer. Adira sampai terbiasa melihat pemandangan yang seperti itu.
Saat semua sudah berkumpul di lapangan sang komandan memperhatikan anak didiknya satu persatu.
“KAMU! BARIS KETIGA NOMOR 2 DARI BELAKANG! MAJU!” tunjuknya pada siswa yang hanya memakai kaus dalam dan boxer tadi.
“APA INI?! APAKAH INI YANG DINAMAKAN DISIPLIN?” sang komandan meneriaki siswa tersebut dihadapan seluruh siswa akademi.
Tak ada satupun yang berani menjawab sang komandan.
“SEKARANG SEMUA LARI 50 PUTARAN!” teriak sang komandan lantang.
Sang komandan sangat-sangat tegas. Satu melakukan kesalahan maka semuanya akan dihukum. Solidaritas katanya.
Mereka berlari layaknya tentara. Begitu rapi dan satu irama. Pernah suatu kali seorang siswa yang langkahnya berbeda sang komandan pun tidak tanggung-tanggung menambah putarannya dua kali lipat.
Mereka berhasil menyelesaikan 50 putaran hanya dalam waktu 45 menit. Ini adalah rekor baru. Sang komandan tersenyum puas. Ia bertepuk tangan.
“BAGUS SEMUANYA. KARENA KALIAN BERHASIL MENYELESAIKANNYA DALAM WAKTU SINGKAT UNTUK PUSH-UP, PULL-UP DAN SIT-UP CUKUP 50 KALI!” setelah memberi perintah, sang komandan meninggalkan mereka.
Mereka melaksanakan perintah sang komandan dalam diam.
Setelah selesai ‘berolahraga pagi’ mereka beriringan menuju kantin untuk mengisi perutnya sebelum kumpul kembali ke aula.
---
Semua siswa terlihat berpakaian seragam rapi saat berkumpul di aula. Saat sang komandan memasuki aula mereka yang awalnya berisik terdiam. Sang komandan berjalan menuju mimbar. Hanya ada dua alasan mereka dikumpulkan di aula.
Kedatangan anggota atau kepergian anggota.
Sedangkan apabila ada informasi yang penting mereka akan dikumpulkan di halaman pada tepat pukul 12 siang.
“Hari ini adalah hari kelulusan bagi beberapa siswa-siswi terbaik kita. Tidak terasa, perjuangan mereka untuk bertahan di sini selama beberapa tahun terakhir akhirnya terbayarkan,” ucap sang komandan.
“Silahkan maju.” sambungnya.
Sebanyak 19 siswa dan 1 siswi melangkahkan kakinya dengan penuh semangat dan wibawa menuju mimbar.
“Terimakasih kalian sudah menunjukan kemampuan terbaik kalian selama berada di sini. Kalian berhak mendapatkan ini.” Sang komandan menyematkan pin tanda kelulusannya di akademi.
“Dan untuk kamu, Adira. Kamu adalah satu-satunya wanita yang bisa bertahan di tempat ini selama beberapa tahun belakangan ini. Kamu wanita hebat Adira. Saya bangga padamu. Saya harap kamu bisa menerapkan dan menggunakan ilmu yang kamu dapat di sini dengan baik.”
Sang komandan memberikan sebuah hadiah tambahan pada Adira. Sebuah kalung berliontinkan burung garuda.
“Terimakasih komandan.” Adira memberi penghormatan kepada sang komandan dan teman-temannya. Mereka pun memberi tepuk tangan yang meriah pada Adira dan teman-temannya.
Setelah upacara selesai Adira kembali ke asramanya untuk mengambil barang-barangnya. Baru saja hendak mengambil tasnya seketika saja pintunya didobrak dan beberapa laki-laki mendesak masuk.
Mereka memeluk Adira dengan sangat erat sehingga membuat Adira kesulitan bernafas.
“Burung kecil kita akhirnya bebas.” ucap Mandy
“Bahkan Adira belum pergi tapi aku sudah merindukannya.” Sammy mulai berlagak mengusap air matanya.
“Siapakah yang akan melindungi burung kecil kita?” Davy juga mengikuti gaya Sammy.
Dasar dramatis.
“Im gonna miss you my little bird,” ucap Benton dengan penuh haru.
“Kalian kenapa dramatis banget sih?!”
“Kan kita bakalan pisah dari kamu huhu,” Sammy mengeratkan pelukannya
“Nanti kita pasti ketemu lagi kok.”
“Gimana mau ketemu? Alamat kamu aja kita engga tau,” ucap Benton perlahan.
Adira terdiam.
“Okay fine! Aku bakalan ngasi alamatku ke kalian. Tapi aku harus mastiin keadaan aman dulu baru aku email kalian. Okay?”
Sontak saja mereka semakin mengeratkan pelukannya pada Adira dan melompat-lompat riang.
Adira yang melihat tingkah sahabatnya hanya terkekeh pelan. Ia pasti akan merindukan mereka. Mereka bahkan tak melepaskan pelukannya pada Adira sampai seseorang mengetuk kamar Adira. Itu adalah salah satu staf sekolahnya.
“Kalian sudah harus turun sekarang,” ucapnya tegas
Mau tak mau mereka pun harus melepaskan pelukannya pada Adira.
Mereka membantu Adira membawa barang-barangnya. Yang sebenarnya hanya dua buah ransel. Tetapi mereka tetap bersikeras. Bahkan Mandy menggendong Adira selama perjalanan menuju gerbang depan.
Di gerbang depan tampak teman-temannya berbaris bersama sang komandan.
Hmm. Tak biasanya perpisahan seperti ini.
Mandy menurunkan Adira.
“Terimakasih atas pengalaman selama ini yang kalian berikan. Saya tidak akan pernah melupakannya. Saya juga tidak akan melupakan kalian semua.” Adira memberi hormat kepada teman-temannya dan sang komandan. Mereka juga membalas hormat Adira.
Setelah memberi hormat mereka pun saling berpelukan. Bahkan sang komandan yang dikenal galak dan tegas. Ia menyukai Adira karena Adira mengingatkannya pada anaknya yang jauh disana.
“Ehem…ehem.” Adam memberi kode pada Adira agar segera menyudahi ‘acara harunya’. Adira pun mengerti. Ia segera mengucapkan salam perpisahan dan naik ke mobil.
I will miss you guys. My another brother.
Saat mobil akan meninggalkan akademinya ia tak lupa melambai pada semuanya. Setelah puas melambai ia mengambil posisi untuk tidur di sofa belakang.
“Haahh.” Adira menghembuskan nafas kasar.
“Kenapa?” tanya Adam yang masih fokus menyetir mobil.
“Capek.”
“Udah tidur sana. Nanti abang bangunin.”
Adira hanya membalas menggunakan isyarat tangan ‘oke’.
---
Adam tampak menguncang-guncang tubuh Adira. Waktu keberangkatan pesawat sebentar lagi. Adam tidak suka terlambat.
Karena Adira tidak kunjung bangun. Terpaksalah ia harus menggunakan cara lain. Setelah semua barang-barang ia letakan di bagasi. Adam menghampiri Adira dan menggendongnya untuk check-in. Adam menggendong Adira di punggungnya. Seperti seorang ayah yang menggendong anaknya. Tetapi tentu saja Adira bukan anaknya. Pacar saja tidak punya.
Saat menggendong Adira ia dihentikan petugas. Ia disangka menculik seorang gadis dibawah umur. Bagaimana tidak, seorang pria dengan wajah sangar sedang menggendong gadis dengan keadaan tidak sadarkan diri.
Setelah melewati berbagai macam kesulitan karena ‘adik kecilnya’ ini ia pun sampai di dalam pesawat.
“Kurang ajar lo, Dir.” Adam menghela nafas panjang. Ingin sekali rasanya tadi ia menyeret Adira. Namun ia tidak tega. Bagaimana pun juga ia menyayanginya.
Adira sebenarnya sudah terbangun sedari Adam membangunkan dirinya. Ia hanya ingin menjahili Adam. Adira suka melihat wajah Adam yang marah.
Ia terkekeh pelan melihat Adam yang masih bergumam tidak jelas.
---
Pesawat yang mereka tumpangi sudah mendarat namun Adira masih tidak membuka matanya. Adam mulai geram. Ia tidak mau menggendong Adira seperti tadi. Bisa-bisa ia jadi trending topic di dunia maya. Netijen Indo serem brou.
Walaupun Adira sudah diguncang begitu kerasnya ia tetap saja tidak bangun. Karena kesal Adam menyiramkan sedikit air ke wajah Adira. Sontak saja Adira terbangun dan terkekeh.
“Kenapa lo gak gendong gue lagi aja? Kaya tadi.” Adira masih terkekeh
“Enak aja! Buruan turun!” Adam melemparkan sapu tangan pada Adira yang tepat mengenai wajahnya. Ia kemudian mengikuti Adam sambil tertawa pelan.
Saat sudah turun dari pesawat Adira merentangkan tangannya dan menarik nafas dalam-dalam. Saat akan membuka mulutnya segera saja Adam membekap mulut Adira menggunakan tangannya.
“Eitt! Jangan.bikin.malu.-” Adam yang tidak mau dipermalukan dengan cepat mengajak Adira mengambil barang-barangnya. Tentu saja dengan tangannya yang masih menutupi mulut Adira.
Melihat jumlah barang yang dibawanya tidak sedikit Adam mulai berpikir.
Kalau mulutnya gue lepas bisa-bisa dia jerit-jerit gak karuan. Kalau gak gue lepas ini bawanya gimana? Adam kebingungan. Tiba-tiba saja sebuah ide yang cukup gila terlintas dibenaknya.
Ia mengambil sapu tangan yang berada di tangan kiri Adira yang kemudian diikatkan pada mulutnya. Adira hendak protes dan membuka ikatannya. Namun tangannya segera dipenuhi oleh barang bawaannya.
Adam tersenyum puas. Ia mengisyaratkan Adira untuk tetap diam dan mengikutinya saja. Mau tak mau Adira mengikuti Adam dalam diam. Tanpa Adam sadari Adira tersenyum penuh arti.
Setelah sampai di parkiran Adam membuka bagasi mobilnya. Ia kemudian mengambil barang-barang yang ada di tangan Adira. Saat Adam sibuk dengan mobilnya Adira membuka ikatan di mulutnya dan berteriak kencang.
“INDONESIA!! I’M BACK!!!” teriaknya dengan suara lantang sambil melompat-lompat kegirangan.
“WOHOOOO!!” Adira semakin menggila
Orang-orang yang lalu lalang pun dibuat heran dengan tingkah anehnya.
“Udah dibilang jangan! Jangan! Tau jangan?! Hah?!” Adam tak habis pikir dengan gadis yang satu ini. Sekeras apapun sekolahnya ia tetap tidak pernah berubah.
Adam hanya menggelengkan kepalanya. Ia sudah lelah memarahi gadis yang satu ini.
Adam memasuki mobil, meninggalkan Adira yang masih kegirangan. Nanti aja bakalan tenang. Begitu pikirnya.
Setelah puas melompat-lompat. Adira pun menyusul Adam
“Udah puas?” tanya Adam yang sibuk dengan ponselnya.
“Udah dongg!” pekiknya.
“Mau langsung pulang?” tanya Adam
“Ehhh jangann!! Ke rumah lo aja bang.”
Adam tampak keheranan.
“Jadi gini, gue mau kasi kejutan buat mereka besok di sekolah.” Jawabnya
Adam semakin keheranan. “Ngapain lo perlu sekolah lagi? Kan sekolah lo yang sebelumnya udah memenuhi kriteria.”
Adira memutar bola matanya malas. “Lo lupa ya? Gue kan harus hidup ‘normal’.” Jawabnya
Adam memukul jidatnya pelan. Ia baru ingat akan hal itu. Padahal sang komandan yang memberitahunya.
“Yaudah ayo. Tapi jangan macem-macem.” ancam Adam.
Mobil Adam melaju menembus hiruk pikuknya kota. Adam tampak fokus mengendarai mobilnya dengan sesekali bersenandung mengikuti irama musik yang diputarnya.
Adira juga begitu menikmati suasana sama seperti Adam. Tanpa ia sadari mobil yang dikendarainya sudah memasuki area parkir apartemen milik Adam.
“Lho? Udah pindah?” Adira kebingungan melihat Adam menghentikan mobilnya.
“Iya. Rumah terlalu mencolok. Tapi di mana pun kita bersama orang yang kita sayang itu namanya rumah kan?” Adam turun dari mobil menuju bagasi dan mengambil barang-barangnya.
Saat Adira turun dari mobil Adam sudah meninggalkannya.
Cepet banget.
Dengan segera Adira menyusul Adam.
“Anu bang,” tanyanya saat Adam membuka pintu apartemen miliknya.
“Apa?”
“Tadi di parkiran kan gue liat motor. Itu punya lo bukan?”
Adam berdeham
“Boleh gue pinjem?”
“Emang lo bisa naik motor?” sindir Adam
“Wooo walaupun gue sempet tinggal di pedalaman gue juga bisa kali.” elak Adira
Adam tertawa pelan. Ia menunjuk kearah kunci motor yang tergantung di dinding.
“Yeayy!! Timakasii abangg!!” Adira melesat mengambil kunci dan pergi.
“INGET SIM!!”
“UDAHH KOK!” teriak Adira dari jauh.
Adira mengendarai motor keliling kota. Mencoba mengingat tempat-tempat yang sering di kunjungi bersama keluarganya.
Ternyata gak banyak berubah ya. Preman-preman, pencopet, balap liar. I miss this city so bad.
---
Adira tidak tidur lagi malam ini. Semenjak pulang dari jalan-jalan sorenya ia terus berkutat di depan laptopnya. Adam? Menikmati waktu tidurnya yang sempat terbuang belakangan ini. Adam bahkan tertidur semenjak kedatangannya ke apartemen.
Sebentar lagi matahari akan segera terbit. Tugas Adira hampir selesai. Ia tak ingin terlambat di hari pertamanya.
Sambil menunggu laptopnya sedang memproses, Adira meninggalkannya untuk mandi.
Adira tak pernah merasa sebersih ini. Mandi selama ini saja tidak. Paling lama pun hanya 5 menit.
Adira mengenakan seragam yang di letakan Adam di tempat tidurnya lalu mengeringkan rambutnya dan mengikatnya tinggi.
Setelah memastikan tugasnya sudah selesai Adira mematikan laptopnya dan menuju dapur. Ia berniat membuat sarapan.
“Oh wow bau apa ini?” Adam mengendus-endus mencari sumber bau.
“Bukannya gak boleh ya makan mie instan untuk sarapan?” tunjuk Adam pada semangkuk mie instan yang berada di hadapan Adira.
“Buat gue sarapan itu apapun yang dimakan di pagi hari.”
“Mau?” Adira menawari mie miliknya namun ditolak oleh Adam.
“Nikmatilah mie selagi masi hidup.”
“Bacot lo, Dir.” Adam pun hanya memakan roti dengan wajah masam.
“Udah siap untuk sekolah?”
“Tidak pernah sesiap dan semenyenangkan ini.”