Berubah Lagi

1635 Kata
Penggalangan dana yang di lakukan oleh Malika dan teman kelasnya berhasil mengumpulkan uang sebesar 30 juta. Belum termasuk uang yang di berikan oleh keluarga dan orang terdekat Malika. Kini Malika berjalan menuju ke parkiran, setelah mendiskusikan siapa yang akan menyerahkan uang hasil sumbangan. “Lika, besok ngak bisa ikut?” tanya Arga. “Besok aku ada pekerjaan, ngak bisa ikut ke rumah Sasa. Nitip salam saja ya,” jawab Malika. “Baiklah besok aku akan sampaikan.” “Terima kasih, Ga.” “Oh iya, aku mau pulang dulu. Hari ini sekretaris Papa akan datang ke toko, melaporkan pekerjaan yang harus aku periksa.” “Sudah punya sekretaris sekarang?” “Pinjaman dari, Papa. Padahal sudah aku minta untuk selamanya namun ngak di bolehin sama Bapak Ady.” “Tante Niken?” “Hmmm ... gilak ngak tuh, Dapur Nala saja punya sekretaris yang luar biasa sekelas Tante Niken,” ucap Malika dengan terkekeh. Arga tertawa saat Malika mulai pamer, kemarin sahabatnya itu sudah bercerita jika Papanya meminjamkan satu sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan Malika. Selama dia belum mendapatkan sekretaris yang cocok dengannya. “Lagian kamu ini kenapa juga kasih standar yang tinggi buat rekrut karyawan?” “Biar mereka ngak kaget lihat cara kerjaku, Ga. Aku ngak mau punya karyawan yang baru kerja 2 hari langsung kabur.” “Jangan galak-galak, Lika!” seru Arga. Malika tergelak setiap kali Arga mengatainya bos galak, padahal dia ini merasa selalu ramah dengan semua karyawannya. Hanya saja di saat jam kerja Malika tidak suka jika ada yang seenaknya sendiri. “Hati-hati di jalan, Lika. Jangan ngebut,” ucap Arga. Arga mengantarkan Malika sampai ke parkiran, karena dia akan bertemu dengan temannya di cafe depan kampus. Saat dalam perjalanan menuju ke Toko Dapur Nala, Malika melihat mobil Nadhief berada di depannya. Selama kelas Nadhief berlangsung dia sangat cuek sekali dengan Malika, bahkan saat memanggil nama Malika waktu absen tidak mau melihat ke arahnya. “Itu orang mau kemana sih? Kemarin saja manis banget sama Malika, tadi pagi sudah berubah. Jadi curiga kalau Kak Nadhief masih ada keturunan dari bunglon,” gerutu Malika. Saat melihat ada lampu merah di depannya, dengan sengaja dia berjejeran dengan mobil Nadhief. Malika membuka kaca mobilnya ingin memanggil orang yang berada di dalam mobil. “Kakak mau kemana ...” teriak Malika. Kebetulan hari ini Nadhief membawa mobil dengan kaca transparan jadi Malika bisa melihat dengan jelas. Saat tidak ada jawaban dari Nadhief, Malika sedikit mengeluarkan kepalanya. “Kak Nadhief mau kemanaaaaaaa ...” Teriakan Malika yang kedua makin kencang hingga membuat pengendara motor di sekitar melihat ke arahnya. “Ihh ... Kak Nadhief ngak dengar apa belajar tuli sih?!” omel Malika. Lampau hijau sudah menyala, dia menutup kembali kaca mobilnya. Melihat mobil Nadhief berjalan ke arah yang sama dengannya, membuat Malika tersenyum. Dia berada tepat di belakang Nadhief. “Aku telpon ah ... siapa tahu Kak Nadhief tadi beneran ngak dengar.” Nala mengambil earphone, dia menekan nomor Nadhief. “Yah ... ngak di jawab, berarti pura-pura tuli tadi,” gerutu Malika. Dia mematikan panggilannya, lalu menyalip mobil Nadhief yang melaju dengan sangat santai. Kalau tidak ada janji dengan Tante Niken sudah bisa di pastikan jika Malika akan tetap mengikuti mobil Nadhief. “Selamat siang, Mbak Malika,” sapa karyawan Dapur Nala. “Selamat siang, Ibu Niken sudah datang?” “Sudah Mbak, baru saja masuk di ruangan Mbak Malika.” “Oke, terima kasih,” ucap Malika. Tidak mau membuat Tante Niken menunggu lama, Malika langsung bergegas menuju ke ruang kerjanya. “Siang Tante, maaf sudah Malika telat,” sapa Malika saat masuk ke dalam ruang kerjanya. Tante Niken bangun untuk menghampiri Malika, mereka berdua langsung berpelukan. “Siang, Sayang. Ngak telat kok, Om kamu saja tadi yang mengantarnya kecepetan. Katanya sudah ngak sabar mau beli pastry.” Malika mengajak Tantenya untuk duduk kembali. “Om ikut, Tan? Malika ngak lihat tadi.” “Langsung pulang abis beli pastry, ada janji sama Papa kamu.” Malika mengangguk, dia mulai mendengarkan pekerjaan yang harus di kerjakan olehnya. Tante Niken ini adalah istri dari Adik Mama Arina. Sejak muda dia sudah menjadi sekretaris Kakek Malika hingga menurun ke Papa Ady, kini malah berganti ke Malika. Semua yang di jelaskan oleh Tante Niken langsung di terima dengan baik oleh Malika, kini Tante dan keponakan itu sedang sibuk mengerjakan laporan penjualan dan pendapatan dari Toko Dapur Nala yang sedang berkembang dengan pesat. “Ah ... capeknya!” seru Malika dengan meregangkan otot tangannya. Tante Niken tersenyum ke arah keponakannya, Malika ini sangat persis sekali dengan Kakek dan Papanya ketika sedang bekerja. Pantas saja dia kesulitan menemukan sekretaris yang cocok dengannya. “Tante mau langsung pulang?” tanya Malika, saat melihat tantenya mengemas barang. “Iya, mau mampir ke kantor Papa kamu. Ada berkas yang harus tante ambil.” Malika mengangguk dia mengucapkan terima kasih dan mengantar Tantenya untuk sampai ke lantai 1. Dia masih harus di toko menunggu laporan yang baru saja di kerjakan oleh bagian gudang. *** Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, Malika masih berada di toko. Hari ini toko tutup lebih awal, Malika berniat untuk mengajak makan-makan para karyawannya. Sekarang ini mereka akan segera berangkat ke warung bebek goreng yang terkenal di daerah Toko Dapur Nala berada. Karyawan yang tidak membawa motor akan ikut dengan mobil Malika, sementara yang lainnya memakai motor secara bersama-sama. Rutinitas setiap bulan yang selalu di lakukan Malika dan Nala untuk mengapresiasi para karyawan. “Mau tambah apa lagi selain bebek?” tanya Malika, dia kini sudah berubah menjadi pelayan warung tenda. “Tempe bakar, Mbak.” “Iya, apalagi?” “Tahu bakar, Mbak.” “Iyappsss, lanjut apa lagi?” “Calon suami, Mbak.” Nala melihat ke arah karyawan perempuan yang memesan calon suami padanya. “Kita tanyakan sama yang punya ya, apakah di sini ada yang masih available. Kalau ada aku juga mau pesan satu.” Semua karyawan Malika beserta pelanggan lainnya tertawa mendengar apa yang di katakan oleh Malika. “Kalau saingannya sama Mbak Malika, kita mundur saja deh ... terlalu berat.” “Haha ... haha tenang saja kita akan bersaing dengan sehat,” jawab Malika dengan menyerahkan kertas berisi pesanan para karyawannya. Suara gelak tawa Malika dengan para karyawannya meramaikan warung tenda yang cukup besar. Mereka tak henti-hentinya menggoda anak pemilik warung bebek goreng yang ternyata satu kampus dengan Malika. “Mas ambil jurusan apa?” “Ekonomi, Mbak.” “Loh kok sama lagi, jangan-jangan kita benar-benar jodoh,” ucap Malika. Dia ini paling jago kalau di suruh membuat orang grogi. “Aku sering lihat Mbak Malika kalau sedang di kantin bersama Mas Arga.” “Panggil saja kalau pas ketemu, ngak usah malu,” jawab Malika dengan ramah. “Iya, Mbak. Lain waktu kalau bertemu akan saya panggil.” Malika mengangguk, dia membalas pesan dari Mama Arina tersayang. Mamanya meminta bungkus bebek goreng beserta tempe bakar, kalau Papa Ady minta bungkus martabak telur yang ada di sebelah warung bebek goreng. Dia keluar untuk memesankan pesanan Papa Ady, namun saat akan turun dari trotoar. Malika tidak sengaja melihat Nadhief yang sedang makan di tempat yang sama dengannya. “Kak Nadhief di sini juga ternyata?” tanya Malika. “Iya,” jawab Nadhief dengan singkat. Melihat ada beberapa dosen dari fakultasnya yang makan bersama dengan Nadhief, Malika menyapa dengan sopan. Dia langsung pergi menuju ke penjual martabak telur. Malika juga memesankan kue bandung kesukaan Husna dan Karim, orang tua sahabatnya. Saat pesanan Malika sudah jadi dia bergegas masuk, karena perutnya sudah sangat lapar sekali. Di sela-sela makan, Malika beserta karyawannya terus saja membuat keriuhan. Mereka kini sedang membahas salah satu pelanggan tetap Toko mereka. “Orangnya kayak gimana, kok aku ngak pernah lihat?” tanya Malika. “Ganteng banget, Mbak. Duh ... vibes nya tuh kayak oppa korea yang umur 40 tahun.” “Sudah tua dong?” “Bukan tua, Mbak Lika tapi matang,” saut salah satu karyawannya. “Masak sih? jadi pengen ketemu deh. Minggu ‘kan dia datangnya?” “Iya, Mbak,” jawab kompak karyawan bagian depan. Obrolan mereka terhenti karena sudah pukul 9 malam, makanan mereka pun sudah habis semua. Selain makan di tempat, karyawan nala juga boleh bungkus bebek maksimal 2 porsi per orang. “Terima kasih, Mbak Malika.” “Sama-sama, besok jangan terlambat okay ...” “Oke, Mbak,” jawab dengan kompak seluruh karyawan Dapur Nala. Malika langsung menuju ke penjual martabak telur dan kue bandung untuk mengambil pesanan. Setelah itu, dia menuju ke mobilnya untuk segera pulang. “Pak Nadhief jadi antar Bu Anin?” tanya Pak Iqbal. Dosen Malika yang terkenal galak. Malika tidak sengaja mendengar percakapan dari dosennya, karena mobil Malika kebetulan berada di samping mobil Nadhief yang di pakainya tadi siang. “Eh, ada Malika,” panggil Bu Anin. “Iya, Bu. Saya pamit pulang dulu,” jawab Malika dengan sopan. Namun saat akan pergi Pak Iqbal memanggil Malika. “Malika tadi karyawan kamu?” “Iya, Pak. Karyawan saya dan sahabat saya.” “Kamu owner Dapur Nala yang cookies apa yang Restoran?” tanya Pak Iqbal lagi. Malika agak sungkan saat ingin menjawab. “Semuanya, Pak. Join sama sahabat Malika.” “Pantas saja kamu masih umur 18 tahun sudah membawa mobil harga milyaran ke kampus, jago bisnis rupanya.” Malika menggaruk keningnya yang tidak gatal. “Kalau mobil hadiah dari Eyang Uti, Pak,” jawab Malika dengan sangat jujur. Membuat para dosennya tersenyum, mereka sangat menyukai Malika. Karena dia termasuk mahasiswi pandai di kampus, meskipun jarang sekali ikut kegiatan kampus yang tidak wajib. Setelah selesai berbincang sebentar dengan dosennya, Malika benar-benar pamit karena Mama Arina sudah meneleponnya. Menyuruh anak cantiknya untuk segera pulang. Dia berjalan begitu saja ke arah mobilnya tanpa mau menyapa Nadhief yang sejak tadi terus saja memandangnya. Malika masih kesal tidak ada selera untuk menyapa dosen sekaligus tetangganya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN