Bab.22 Bertemu Tina Faud Lagi

1193 Kata
  Mendengar kata-kata Welly, Martina Sujaya dan Lisa Zulnadi kaget lalu menatap undangan di tangan Welly yang berkilauan emas.   Bahkan Lisa ketika melihat undangan di tangan Welly juga tidak tahan terkejut.   Martina membelalakkan mata dan tidak percaya.   "Welly Jardian, darimana kamu mendapatkan ini?"   Welly berpikir sejenak dan berkata asal, "Diberikan oleh seorang temanku. Tidak apa-apa, kamu ambil saja, nanti aku minta dengannya lagi!"   Martina, " ...."   Martina tentu saja tahu, undangan di tangan Welly ini, bagaimanapun juga lebih berkelas tinggi berapa kali lipat dari punya Lisa.   Dia dulu juga pernah menghadiri perjamuan sejenis ini sekali, hanya saja levelnya juga jauh dari ini.   Sekalipun begitu, itu juga cukup mengejutkan Martina. Tidak peduli level, percakapan tamu di dalam, atau makanan dan minuman yang disajikan, semuanya sangat diperhatikan.   Sekalipun hanya undangan sederhana ini, di dalam juga ada banyak yang harus diperhatikan. Biasanya tamu yang semakin terhormat, maka undangan yang diterima akan semakin indah dan warnanya cantik.   Bagaimanapun, ini adalah penegasan terhadap identitas para tamu.   Undangan yang dipegang oleh Lisa, sebenarnya hanyalah yang paling biasa. Lebih tinggi sedikit, biasanya adalah warna putih perak.   Undangan emas seperti di tangan Welly, hanya tokoh berkedudukan terhormat yang layak mendapatkannya.   Martina menatap Welly, jelas dia tidak mirip orang semacam itu.   Martina sedang melamun sudah mendengar Lisa tertawa di sampingnya.   "Haha, lucu sekali," Lisa tersadar, dalam hati berpikir barang di tangan Welly, sama sekali bukan yang asli.   "Kamu pemain sandiwara ya? Menurutmu menarik ya?" Lisa melanjutkan mencibir, "Memang sih, undanganmu ini dibuat dengan begitu mirip! Hanya saja apakah kamu merasa kami akan percaya? Kamu siapa? Atas dasar apa orangnya membagikan undangan untukmu? Masih undangan emas? Kamu tidak hanya pemain sandiwara, otak masih kurang. Sekalipun palsu juga harus logis!"   Setelah mengatakan itu, Lisa merebut undangan dari tangan Welly dan merobeknya, lalu melemparnya ke wajah Welly.   Kemudian Lisa berkata kepada Martina dengan gembira, "Martina, lihat, 'kan? Hari ini adalah contoh terbaik. Kedepannya kalau masih berhubungan dengan orang semacam ini, kamu juga akan ditertawakan orang! Kamu sebaiknya pikirkan dengan jelas!"   Selesai bicara, Lisa pergi dan tidak memberikan Welly kesempatan untuk membantahnya.   Martina melihat undangan yang dirobek menjadi dua bagian menghela napas diam-diam. Meskipun dia tahu undangan ini delapan puluh persen palsu, ini tetap adalah pemberian Welly.   Setidaknya dia memperlakukannya dengan tulus dan bisa tahu dengan pikirannya.   Hal-hal ini adalah yang tidak bisa dilakukan oleh Lisa, orang yang sudah berhubungan dengannya selama bertahun-tahun dan disebut sahabat.   Martina menghela napas dan memungut undangan itu dengan diam, lalu tersenyum berkata, "Welly, terima kasih, aku terima undangannya."   "Apakah kamu besok akan pergi?" tanya Welly.   Martina ragu-ragu, bagaimanapun juga dalam hatinya jelas. Sangat kecil kemungkinan undangan di tangan ini asli.   Tapi jika mengatakan tidak pergi, itu sangat menyakiti orang.   "Aku ... kalau ada waktu pasti akan pergi," Martina tersenyum.   Tapi Welly juga tahu kalau dia hanya menjawab asal saja.   Hai, sudahlah, ikuti nasib saja. Welly menggelengkan kepala, kemudian tersenyum pada Martina, menjejalkan paksa uang ke tangan Martina dan pergi.   Welly kembali ke kamarnya dan berbaring sepanjang sore.   Dalam hatinya murung, karena selama beberapa hari ini, begitu banyak orang yang tidak percaya dengannya dan menertawakannya.   Namun Welly merasa, semua ini tidak apa-apa. Untuk apa dia permasalahkan dengan mereka? Tidak apa-apa mereka tidak percaya, dirinya tetap hidup dengan baik.   Sama seperti ada sebagian orang yang tidak percaya kalau bumi itu bulat, tapi bumi tetap berputar sendiri. Karena keraguan sekelompok kecil orang sama sekali tidak akan mempengaruhinya.   Seperti orang lain merendahkan Welly, tetap tidak bisa mengubah fakta dia memiliki Papa kaya raya.   Welly bahkan menantikan, apa yang akan dipikirkan orang-orang ini jika suatu hari nanti tahu dengan identitasnya?   Keesokan sorenya, Welly memperkirakan waktu sudah kurang lebih dan langsung naik taksi ke hotel Haston.   Ini adalah salah satu hotel berbintang lima kota Batang yang sudah terkenal lama. Welly dulu sama sekali tidak ada kesempatan masuk ke sini, apalagi dijamu oleh orang.   Bahkan naik taksi, sopir itu juga mengamati Welly dan bertanya, "Kerja sampingan ya? Bagus ya bocah, aku dengar, kerja sampingan di sana menghasilkan banyak uang."   Welly terlalu malas untuk menjelaskan, hanya mengangguk dan berkata, "Iya, kerja sampingan."   Pihak lawan hanya sopir taksi, mungkin dia berkata jujur, sopir juga tidak akan percaya. Sebaliknya akan seperti orang lain yang merasa dirinya gila.   Ketika mobil hampir sampai di hotel Haston, sopir menghentikan taksi di tepi jalan. Welly bingung dan bertanya kenapa tidak menyetir masuk?   Sopir tersenyum dan berkata, "Itu adalah hotel Haston, kamu kira mobil saja sudah berani menyetir ke dalam? Kamu lihat di sana, setidaknya juga harus mobil seperti itu barulah bisa masuk ke pintu gerbang."   Welly membayar uang dan memandang ke arah yang dikatakan sopir lalu melihat sebuah mobil Audy A4 berhenti perlahan-lahan di depan pintu putar besar hotel Haston.   Pintu kursi penumpang depan Audi itu terbuka dan orang yang turun membuat Welly kaget.   "Tina Faud?" gumam Welly   Benar, mobil Audy itu milik Nelson Louis. Mereka juga muncul di sini, mungkin juga datang menghadiri perjamuan deh?   Welly tidak ingin bertemu wanita itu, dalam hatinya saat ini masih penuh kebencian pada Tina.   Sampai sekarang, Welly masih tidak bisa lupa, ketika pintu kamar hotel terbuka, betapa benci hatinya ketika melihat Tina!   Hampir bersamaan, Tina yang baru turun dari mobil juga langsung melihat Welly di tepi jalan. Dia langsung mengerutkan kening dan menjadi bersemangat.   Awalnya dia penasaran, kenapa Welly bisa di sini, tapi dengan cepat dia paham, mungkin si b******n ini juga datang ikut-ikutan.   Dia juga layak ke sini? Hehe ....   "Wah, kebetulan sekali, kenapa bisa bertemu denganmu di mana saja?" Tina menatap Welly dengan sombong dan tertawa, "Kenapa kamu di sini? Ingin mencari kesempatan menyusup masuk dan makan gratis ya? Hehe, kalau begitu kamu mungkin akan kecewa. Di sini adalah hotel Haston, level keamanan sama dengan Gedung Putih. Sekalipun kamu berubah menjadi kodok juga tidak bisa masuk!"   Dirinya tidak mengusik wanita ini, dia malah datang sendiri?   Welly yang sudah sangat benci dengan Tina, sekarang menjadi semakin jengkel.   "Tina, jangan berkata begitu!" Disaat itulah, Nelson yang baru menghentikan mobil juga berjalan datang. Dia memandangi Welly dengan senyuman tertahan, "Orang mungkin hanya lewat saja. Tempat seperti ini, bukan bisa didatangi siapa aja. Benar nggak, Welly Jardian, haha ...."   Welly berwajah marah, dia sudah tahu dua Dewa wabah ini kalau bertemu dengannya pasti tidak ada hal baik.   Dulu mereka yang sudah bersalah padanya, kenapa malah dirinya yang berdosa?   Welly berkata dingin, "Aku datang menghadiri perjamuan, hari ini tidak ingin ribut dengan kalian."   Welly melewati Nelson naik ke tangga namun dihadang olehnya.   "Cih ... apa yang kamu katakan? Kamu menghadiri perjamuan? Haha, kamu jangan membuatku tertawa, oke? Tolong, apakah kamu belum bangun tidur? Tahu tidak apa yang kamu katakan?" Nelson tertawa dan menyindir, "Kamu kira siapa saja boleh masuk? Hehe, apakah kamu punya undangan?"   Ketika bicara, Nelson mengeluarkan undangan putih perak dan memukulkannya ke wajah Welly dengan pelan lalu berkata, "Lihat tidak? Yang ini, mana punyamu? Hehe."   Kata-kata Nelson penuh kebanggaan dan arogansi.   Hanya saja kesombongannya, bagi Welly sangat kekanak-kanakan dan konyol.   Welly menatap langsung Nelson dan tersenyum, "Aku tidak perlu benda ini, minggir."   Tidak perlu?   Nelson tersenyum lagi dan dalam hati berkata, membual itu menarik ya? Tempat seperti ini, semua tamu, siapa yang bukan membawa undangan?   Nelson hendak bicara namun mendengar ledakan tawa di sampingnya.   Dia menoleh dan melihat Denis Jarwo tersenyum dan berjalan datang dengan sepasang tangan di saku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN