Sudah seminggu sejak Jungkook memutuskan untuk keluar dari apartemen ini, namun kenyataan tak bertindak sesuai kehendaknya. Dia masih disini, tinggal di apartemen sederhana ini dengan memerankan lakon sebagai pihak ketiga.
Bagaimana tidak? Jika hampir setiap hari dirinya dihadapkan pada adegan romantis sepasang suami istri dengan seorang bayi—yang sedang lucu-lucunya memasuki usia delapan bulan.
Jungkook membayangkan begitu lengkap dan sempurna keluarga itu, seharusnya dia tidak disini, namun ia tak bisa menolak setiap ia ingin pergi, Taehyung justru mehanannya dengan dalih jika dia belum pulih.
Jungkook bukan orang bodoh, penyakitnya ini mungkin tak bisa pulih terlebih lagi hatinya, setiap hari bagaikan menoreh luka di tempat yang sama, yang bisa ia lakukan hanyalah berpura-pura buta, tak melihat keromantisan mereka meski setiap hari tampak di depan mata.
Jungkook memandangi Taehyung yang kini tengah menggoda anaknya dengan menggelitik perutnya, Jennie yang berada disisinya sedang berusaha menyendokan bubur ke dalam mulut anaknya, sesekali suara tawa keras bayi lucu itu meriuhkan suasana.
Jungkook yang melihat mereka di meja makan ini tampak hanya bisa terdiam, keluarga itu begitu sempurna. Seharusnya Jungkook tak merusaknya, dengan kehadirannya disini sama saja dia mengganggu kebahagian mereka.
Jungkook sebenarnya tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Taehyung saat ini, daripada menuruti istrinya untuk kembali ke rumah, dia justru memilih untuk tinggal di apartemen sederhana ini—bersamanya, sejenak Jungkook berpikir jika ia terlihat begitu egois jika membayangkan mungkin Taehyung masih mencintainya, atau mungkin hanya kasihan padanya, mengingat dia sudah tak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.
Bel apartemen yang berbunyi mengusik setiap kegiatan para penghuni yang ada di apartemen itu. Jungkook hendak beranjak untuk melihat siapa tamu yang datang, namun Taehyung sudah lebih dulu berdiri setelah menyerahkan Taecsu ke pangkuan Jennie dan berniat untuk membukakan pintu untuk tamu yang begitu lancang karena datang begitu pagi.
"Biar aku saja yang membuka pintunya, kau lanjutkan saja sarapanmu Jungkook." Taehyung memang masih sama, penuh perhatian dan lembut terhadap dirinya, meski begitu ia juga tak tahan saat melihat ekspresi terluka Jennie saat melihat perhatian Taehyung kepadanya.
"Siapa kau?" tanya Taehyung tak suka begitu melihat seorang pria rambut pirang dan bertubuh tinggi sedang membawa sekeranjang buah segar. Melihat buah itu, Taehyung bisa menebak mencari siapa tamu itu kemari.
Sementara disisi lain, Jackson tampak begitu terkejut melihat pria yang berdiri dihadapannya, meski dia tak pernah bertemu secara langsung, namun dia yakin jika orang yang ada dihadapannya kini adalah orang itu—sosok yang selalu dinantikan Jungkook.
"Selamat pagi, saya kemari untuk bertemu dengan Jungkook, kami sudah berjanji akan ber—"
"Maaf, disini tidak ada yang bernama Jeon Jungkook." Potongnya cepat tanpa tahu akan ucapan bodohnya yang justru semakin membuat yakin Jackson jika sosok ini adalah orang 'itu'.
"Jackson! Kau sudah datang rupanya, sebaiknya kita segera pergi, aku takut terlambat." Ucap sebuah suara yang tiba-tiba saja berasal dari belakang Taehyung.
"Mau kemana kau?" tanya Taehyung tak suka saat Jungkook menyerobot keluar dari pintu apartemen yang sudah susah-susah ia halangi.
"Aku rasa itu bukan urusanmu." Jawab Jungkook tak acuh tanpa melihat Taehyung.
Grab—
Sebuah tarikan kuat di lengannya membuat langkah Jungkook terhenti, Jackson memandang tak suka sikap kasar pria di depannya itu pada Jungkook. "Hal itu menjadi urusanku jika berhubungan denganmu." Ucap Taehyung penuh penekanan seraya menatap tajam pria yang digandeng Jungkook.
Jungkook menghentakan tangannya kasar hingga membuat cengkeraman Taehyung terlepas. "Seharusnya yang kau urusi itu anak dan istrimu, bukan orang lain sepertiku." Jungkook segera menarik kasar Jackson yang sejak tadi terdiam melihat pertengkarannya dengan Taehyung. Meninggalkan Taehyung dengan rahang mengeras serta tanggan terkepal akan kepergiannya.
Sampai di parkiran, Jungkook segera melepaskan tangannya, dia segera masuk ke mobil Jackson tanpa permisi pada pemiliknya, Jackson pun mengikutinya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil tampak keduanya diselimuti keheningan, tak ada yang mau bersuara hingga lelaki yang lebih tinggi memulainya.
"Apa maksudmu kita akan terlambat Jungkook? Ku kira kita hanya check up ke rumah sakit?" ucapnya sedikit bingung, karena pada dasarnya Jackson berniat menjemput Jungkook untuk pergi ke rumah sakit bersama.
Jackson adalah dokter yang menangani penyakitnya, jadi kapanpun dan dimanapun Jackson akan selalu siap untuk memeriksanya tanpa takut akan terlambat atau kehabisan nomor antrian. Baginya Jungkook lebih penting dari semua pasiennya.
"Bisakah kita ke taman sebentar." Jackson mengangap itu bukan sebuah pertanyaan melainkan perintah. Bahkan si empunya sama sekali tak menatapnya sejak tadi, dalam diam Jackson mulai menyalakan mobilnya dan mengendarainya menuju ke taman seperti yang diinginkan oleh pemuda yang ada disampingnya.
Sementara di dalam apartemen, Taehyung yang ditinggalkan Jungkook tiba-tiba saja mengamuk tanpa kendali. Seperginya Jungkook bersama pria bernama Jackson tadi, Taehyung langsung saja membanting pintu dan keluar dari apartemennya tanpa berpamitan, bahkan Taehyung tak peduli akan Taecsu yang terkejut hingga menangis karena aksinya.
Jennie hanya bisa menatap penuh amarah atas situasi yang dilihatnya pagi ini. Kenapa Taehyung begitu marah saat Jungkook pergi dengan lelaki lain, apa itu berarti Taehyung masih mencintainya? Lalu dia selama ini hanya dianggap apa?
Jennie tahu jika Taehyung terpaksa menikahinya karena kasihan akan kehamilannya diluar nikah. Ia memang sempat depresi dan berniat bunuh diri bersama sang janin pada saat itu, namun Taehyung menahannya, Taehyung menghalangi aksi bodohnya dan berjanji untuk membantu masalahnya. Meski membantu disini berarti menikahinya.
Jennie juga tahu jika Taehyung tidak mencintainya sama sekali pada waktu itu. Namun dia yakin, seiring berjalannya waktu, Taehyung pasti bisa membuka hati untuk dirinya, terlebih lagi Taehyung begitu menyayangi Taecsu layaknya anaknya sendiri. Tapi kehadiran Jungkook semakin membuatnya ragu, ia takut jika Taehyung masih mencintai Jungkook dan berniat untuk memilihnya.
'Tidak, aku tidak boleh membiarkan itu terjadi.' Tanpa sadar Jennie menggelengkan kepalanya, menampik kemungkinan kejadian yang mungkin akan merengut kebahagian yang sudah ia coba pertahankan sampai saat ini.
Sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Jennie lupa akan tangisan bayinya, dengan cepat dia mencoba menenangkan Taecsu, mengambil dot yang ada di meja makan sebelum matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dibawah kursi yang tadi diduduki Jungkook.
Jennie memungut kertas tersebut yang rupanya adalah sebuah amplop dari sebuah rumah sakit di Seoul, dengan sedikit kesulihan karena ada Taecsu dalam gendongannya, Jennie membuka amplop tersebut dan membaca isinya.
Kedua bola mata miliknya melebar saat mengetahui isi surat tersebut. Entah ini sebuah petunjuk dari Dewi bulan atau bukan, namun isi surat itu sedikit membuat Jennie tenang. Jennie tersenyum penuh kemenangan, ia tak menyangka Jungkook menyembunyikan sesuatu dari Taehyung.
Kanker darah stadium 3.
Jennie sangat berterima kasih pada Dewi bulan yang membimbingnya untuk mengetahui kenyataan tentang penyakit Jungkook. Mungkin ini adalah sebuah jalan yang ditunjukan oleh Dewi Bulan jika memang Taehyung ditakdirkan untuk bersamanya dan bukan pada pemuda pengganggu itu.
.
.
— —
.
Waktu sudah hampir menunjukan pukul delapan malam, dan Jungkook masih keukeuh untuk tak pulang. Dia bahkan bolos bekerja, membuat Taehyung yang kini menjadi atasannya uring-uringan seharian karena tak menjumpai Jungkook di kantornya.
Dan disinilah Jungkook, bersama Jackson yang selalu setia menemaninya. Ia tak pernah meminta Jackson untuk menemaninya, namun dokternya itu menelfon dan bersikeras ingin menyusulnya.
"Kau tidak bekerja?" Jackson mencoba memulai pembicaraan setelah hampir lima belas menit mereka terdiam.
Jungkook masih terdiam, dan Jackson tak berniat untuk mengulangi pertanyaannya, ia tahu Jungkook mendengar ucapannya. Ia hanya ingin mencairkan suasana, dan menunggu Jungkook bersuara untuk menyakinkan kehadirannya disini.
"Apa yang kau lakukan jika Jinyoung menikah dengan wanita dan memiliki anak bersamanya?" Itu adalah sebuah kalimat pertama yang keluar dari bibir si pemuda Jeon, sebenarnya Jackson tak mengerti kenapa tiba-tiba Jungkook menyinggung nama kekasihnya.
Sekian lama mengenal Jungkook membuatnya mengerti jika sebenarnya bukan itu maksud dari pertanyaan pemuda bermata hitam itu, meskipun belum tahu pasti maksud Jungkook, Jackson berusaha menjawab sebisanya. "Tentu aku akan melepaskannya,"
'Lagi pula aku tak pernah mencintainya. ' Lanjunya dalam hati.
Jinyoung memang kekasihnya, namun Jakcson tak pernah menganggap jika Jinyoung adalah pasangannya. Orang yang dicintainya hanyalah Jungkook. Jackaon sudah berkali-kali memutuskannya, namun ia tak pernah mau, maka jangan salahkan Jackson jika memprioritaskan Jungkook dari pada dirinya.
"Bagaimana jika dia masih mencintaimu." Entah kenapa ucapan Jungkook seakan menyindirnya.
"Maka aku akan tetap melepasnya, tak mungkin aku mempertahankannya, apalagi anaknya butuh dia sebagai sosok ayah."
"Apa kau tak bertanya alasan kenapa dia menikah dengan orang lain dan bukan dengan dirimu?" Jungkook merasa belum puas dengan jawaban Jackson, ia merasa masih ada yang kurang. Jika memang ia harus melepaskan Taehyung, maka dia harus memastikan jika Taehyung sudah tak mencintainya lagi.
Jackson tersenyum mengejek. Mana mungkin Jackson akan bertanya demikian. Justru dia akan merasa sangat bersyukur jika Jinyoung benar-benar menikah dengan orang lain, sehingga satu dari sekian banyak pengganggu hidupnya berkurang. "Untuk apa? Jika dia masih mencintaiku, tentunya dia berusaha menjelaskan semuanya tanpa aku memintanya terlebih dahulu."
Jungkook merasa tertohok dengan ucapan Jackson. Dia merasa ucapan Jackson ada benarnya, selama ini dirinyalah yang berusaha mencari tahu alasan kenapa Taehyung mengingkari janjinya, menikahi wanita hingga mempunyai anak dari hasil pernikahannya, namun pemuda Kim itu tak pernah sekalipun menjawab pertanyaannya, dia akan terdiam atau mencoba mengalihkan pembicaraan.
Apa itu berarti cinta Taehyung tak sebesar dulu? Atau Taehyung mungkin sudah tak mencintainya lagi?
Dering ponsel Jackson menyentak lamunan Jungkook. Jackson tersenyum sekilas dan me-reject panggilan tersebut, namun ponselnya kembali bergetar setelah beberapa detik dan dengan kesal Jackson mengangkatnya. "Aku sedang bekerja, jangan menggangguku!" bentaknya dan mematikan ponselnya.
Jungkook tak tahu siapa orang yang menelpon Jackson, namun dari raut wajah Jackson, Jungkook tahu jika ia merasa terganggu dengan panggilan tersebut.
"Siapa?"
"Bukan orang penting." Balas Jackson cepat menjawab pertanyaan Jungkook. Sebenarnya dia sedikit kesal karena dari tadi Jinyoung selalu mengganggunya, mengirim pesan teks hingga menelponnya tak jelas hanya untuk bertanya 'kau ada dimana?' atau 'kau sedang apa?' dan sebagainya. Benar-benar membuat Jackson muak dengan tingkah sok-perhatiannya itu.
Saat Jungkook kembali ingin menanyakan sesuatu, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu keluar dari hidungnya. Dengan buru-buru Jungkook beranjak dari tempat duduknya setelah berpamitan pada Jackson untuk ke toilet sebentar.
"Aku ke toilet dulu."
Sepeninggal Jungkook, Jackson kembali mengaktifkan ponselnya dan mengirim pesan teks pada Jinyoung.
Jangan telepon atau mengirim pesan teks lagi, aku sedang sibuk saat ini. Jika tidak, aku akan benar-benar membencimu.
Sudah hampir sepuluh menit Jungkook ke toilet. Jackson berniat menyusulnya untuk memastikan jika Jungkook baik-baik saja, namun tiba-tiba ponsel Jungkook berbunyi. Tanpa permisi Jackson yang penasaran mengambil ponsel putih itu yang tergeletak di meja, membaca nama yang tertera di layar tersebut. Tangannya mencengkeram erat saat membaca nama Taehyung tertera disana, tanpa pikir panjang Jackson pun mengangkatnya.
"Halo, Jungkook? Kau ada dimana sekarang? Ini sudah malam kenapa kau belum pulang." Cercanya dari line seberang.
"Maaf, Kim-ssi." Sahut Jackson tenang.
"Siapa kau, dimana Jungkook? Kenapa dia tak mengangkat ponselnya?" tanya Taehyung dari seberang dengan suara meninggi begitu menyadari jika bukan Jungkook yang mengangkat panggilannya kini.
"Aku Jackson, kami sedang makan malam bersama, Jungkook sedang ke toilet sebentar jika ada yang ingin disam—"
"Apa hubunganmu dengan Jungkook? Dan dimana kalian sekarang, aku akan kesana untuk menjemput Jungkook." Suara Taehyung tiba-tiba berubah menjadi dingin, ada nada tak suka saat mendengar jika orang yang dikhawatirkannya ternyata sedang bersenang-senang dengan orang lain.
"Saya teman dekatnya dan—" Bohon Jackson. "—Anda tidak perlu repot Kim-ssi, biar saya nanti yang mengantar Jungkook pulang." Ucap Jackson sebelum mematikan panggilan Taehyung saat menyadari Jungkook sudah keluar dari toilet.
"Kau tak apa?" tanya Jackson khawatir saat melihat wajah Jungkook yang tampak begitu pucat.
"Aku tak apa." Jawab Jungkook datar.
Jackson tahu Jungkook sedang berbohong sekarang, perpedoman pada ilmu kedokterannya, Jackson memaksa untuk mengantar Jungkook pulang agar dia bisa berisitirahat. Awalnya Jungkook tidak mau, namun akhirnya ia menurut juga meski dengan ancaman akan membawa Jungkook ke rumah sakit jika tidak mau beristirahat di rumah.
.
.
.
— —
.
Jungkook membuka pintu apartemennya dengan perlahan. Sudah hampir jam dua belas malam dan Jungkook baru saja pulang. Dengan langkah terhuyung, ia mencoba untuk meraba saklar lampu apartemennya. Ia tahu Taehyung dan yang lainnya pasti sudah tidur, dia berniat ingin membuat coklat panas di dapur untuk mengurangi pusing yang mendera kepalanya sedari tadi. Saat tangannya mencoba meraba dinding untuk mencapai saklar lampu, tiba-tiba saja ruangan menjadi terang. Jungkook mengira Taehyung yang menyalakannya, namun dugaannya salah.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanyanya bingung. Sejak pertama kali bertemu dengan wanita itu, hubungan Jungkook dengannya selalu terasa canggung.
"Taehyung sejak tadi menunggumu pulang. Baru saja aku membujuknya untuk tidur di kamar." Ucapnya tanpa menggubris pertanyaan Jungkook.
Jungkook yang memang merasa pernyataan Jennie tak penting, bermaksud melanjutkan niatnya menuju dapur untuk membuat coklat panas.
"Jungkook—"
Jungkook menghentikan langkahnya dengan terpaksa saat Jennie memanggilnya. "Hmm?"
"Bolehkah aku minta tolong padamu?" ucapnya sangat lirih. Jungkook berbalik, ia menautkan kedua alisnya tak mengerti akan ucapan Jennie. "Bisakah kau melepaskan Taehyung?" lanjut wanita itu tak kalah lirih.
Mata Jungkook melebar mendengarnya. Melepas Taehyung? Bahkan Taehyung-lah yang tak bisa melepaskan dirinya. "Kalau itu maksudmu, kau meminta tolong pada orang yang salah." Ucapnya seraya berbalik dan mengambil cangkir di rak dapur. Jennie yang tak menyerahpun, mengikuti langkah kaki si pemuda Jeon.
"Aku sudah tahu penyakitmu, Jungkook."
Tangan Jungkook terhenti seketika saat mendengar pernyataan Jennie. Ia meletakan sendok yang ia gunakan untuk mengaduk coklat panasnya dan berbalik memandang wanita bersurai madu itu.
Melihat Jungkook yang diam menatapnya, Jennie memberanikan diri untuk melanjutkan ucapannya. "Stadium 3, aku tahu apa artinya itu Jungkook. Aku hanya ingin kau melepaskan Taehyung, bukan untukku melainkan untukmu. Taehyung, selama ini dia mencintaiku, namun hadirnya dirimu membuat rasa cintanya terbagi, aku hanya takut jika suatu saat nanti Taehyung akan lebih memilihmu, aku takut dia akan menelantarkan Taecsu. Ak-aku tidak bisa membesarkan Taecsu sendiri, ak-aku hiks—tak bisa membiarkan Taecsu tumbuh tanpa seorang ayah." Jennie terisak lirih, air matanya mengalir semakin deras saat tak mendengar respon apapun dari pemuda di hadapannya.
"Kau mungkin tak pernah terpikirkan kenapa aku mau tinggal disini, itu semua karena aku ingin Taehyung bahagia, bertemu orang yang selama ini sangat dirindukannya. Tapi semakin lama perasaan itu berubah menjadi sebuah rasa takut akan kehilangan. Aku tahu kau pun pasti masih mencintai Taehyung, begitu pula sebaliknya, tapi apa kau ingin membuat Taehyung terus khawatir tentangmu? Merepotkannya akan penyakit yang kau derita? Dia sudah cukup tertekan akan pekerjaan dan hatinya, dia mungkin sangat menderita karena tak bisa memilih salah satu diantara kita." Lanjutnya berurai air mata.
"Kau masih muda dan lajang Jungkook, sementara aku? Aku hanyalah seorang wanita yang sudah mempunyai anak. Aku yakin masih banyak orang diluar sana yang bisa mencintaimu melebihi Taehyung, untuk itu—hiks, ku mohon pertimbangkanlah permintaanku ini."
Jungkook tak sadar bagaimana ia bisa berdiri tepat dihadapan Jennie dan merengkuh tubuh wanita itu. Meski dia terkenal dengan sosoknya yang dingin, namun sebenarnya Jungkook sangat tak kuat melihat tangisan seorang wanita. Mendengar ucapan Jennie membuat ia sadar sekaligus merasakan sakit disaat bersamaan. Ia sudah membuat orang sebaik Jennie menderita karena keegoisannya.
Seharusnya dia pergi dari sini sejak dulu, mencari orang lain yang bisa mencintainya seperti dia mencintai Taehyung, meski itu akan sulit karena baginya Taehyung adalah satu-satunya dan tak tergantikan di hatinya.
Jungkook mencoba mengusap punggung Jennie untuk menenangkannya, tanpa tahu dibalik punggungnya, Jennie tersenyum penuh kemenangan atas acting nya.
.
.
Tbc