Sebuah langkah terburu mengiringi langkah kaki yang terbalut jeans biru dengan sepatu boot coklat yang melekat pada kaki jenjang itu, deru nafas yang memburu serta senyum tipis tergurat jelas di wajah pemuda tampan itu. Cuaca yang begitu dingin seolah tak menghalanginya sama sekali untuk berjalan diluar dengan hanya dibalut sweater putih yang tipis. Langkahnya yang kian cepat terdengar tak sabaran, ia dengan sedikit berlari menuju ke suatu tempat yang akan mengakhiri mimpi buruknya selama bertahun-tahun belakangan ini.
Hari ini, ia tak akan salah menghitung hari-lagi. Dia pulang, dia-seseorang yang selalu dinantinya akhirnya kembali.
'Aku sangat merindukanmu-Hyunge...'
Jungkook terus berlari kecil menuju ke taman dimana seseorang berjanji akan bertemu dengan dirinya disana. Ia tak sadar jika sejak tadi sepasang kaki mengikuti langkahnya ke taman itu, pikirannya terlalu fokus menyambut seseorang yang sudah membuatnya seperti orang bodoh karena berlari dengan baju tipis di cuaca sedingin ini.
Jungkook tak peduli, ia hanya harus cepat tiba disana, menyambut orang yang begitu ia cintai dan melampiaskan rasa rindunya.
Senyum tipis masih tersemat di bibir yang tampak mulai membiru karena cuaca dingin, tangannya ia tumpukan pada kedua lutut, nafasnya terengah, matanya sibuk mengitari taman, mencoba mencari sosok berambut coklat yang sudah lama dinantikannya, namun saat tak melihat satu manusiapun yang ada di taman itu, senyuman itupun menghilang.
'Bodoh' rutuknya pada diri sendiri, ia tersenyum masam melihat betapa bodoh dirinya.
Mana ada orang yang akan keluar di cuaca sedingin ini, besok adalah Natal, tentunya setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk membeli kado, bahan makanan dan menghias pohon Natal bersama serta menghabiskan malam Natal dengan orang yang disayangi, namun tampaknya Jungkook harus menelan kembali pahitnya malam Natal tahun ini. Dia akan sibuk memasak, menghias pohon Natal dan menyantap makanan di apartemennya-sendiri.
"Sudah lima tahun, huh?" Seseorang berdiri di belakang Jungkook, menyampirkan jaket tebal dibahunya. Ia tak mau pemuda manis itu terserang sakit dimalam Natal yang seharusnya dihabiskan dengan canda tawa bersama orang-orang yang disayangi.
Menyebut orang yang disayangi, ia menjadi tertohok sendiri akan pemikirannya itu. Ia lupa jika orang yang disayangi pemuda yang berdiri dihadapannya kini tidak berada disini.
"Cuaca dingin, aku akan mengantarmu pulang." Sebuah tangan yang begitu hangat menarik pergelangan tangannya dengan sangat lembut, menyuruhnya untuk berbalik dan mengikuti langkah kaki si pemuda yang sejak tadi masih berdiri dibelakangnya.
Jungkook bergeming, ia tak menolak tangan Jackson yang menggenggamnya, tapi juga tak mencoba menuruti ucapan lelaki itu. Jackson mengerti, pemuda manis itu pasti kembali kecewa, menelan setiap kesakitan yang sudah ia tahan selama lima tahun ini.
"Dia tidak akan datang Jungkook, tidak pernah datang. Mungkin dia sudah lupa atas janjinya padamu, mungkin dia telah menemukan orang lain yang ia cin-" ucapan Jackson terputus begitu saja begitu melihat Jungkook berbalik menghadapnya.
Kedua mata itu seakan memaku tubuhnya hingga sulit bergerak, suaranya tercekat dan paru-parunya terasa sesak begitu melihat mata hitam sekelam malam itu mengeluarkan kristal bening tak bewarna.
Dia menangis, selama bertahun-tahun dia mengikuti langkah kaki pemuda berkulit porselen itu baru kali ini dia melihat air matanya. Wajah itu tetap tenang, bibir tipis yang membiru itupun tertutup, hanya matanyalah yang jujur. Hanya kedua obsidiannya yang tidak bisa membohongi betapa rapuhnya sosok yang ada dihadapannya kini.
Jackson tak tahu harus mengucapkan kata apa untuk menghentikan air mata itu keluar. Hanya satu tetes namun mampu meruntuhkan dinding kasat mata yang sudah dibangun oleh si pemuda manis terhadapnya.
Mungkinkah-Jackson tidak mau melanjutnya pemikirannya, tangannya terulur menghapus air mata itu dan tanpa sadar kedua tangannya tergerak untuk memeluk tubuh ringkih itu. Tak ada penolakan ataupun balasan, hal itu membuat Jackson semakin takut dan tanpa sengaja ia semakin mempererat pelukannya.
Hal yang paling menakutkan adalah saat melihat orang yang kau sayangi menangis tanpa suara dan kau tak tahu harus melakukan apa untuk menenangkannya.
Jungkook termenung duduk di bangku taman seraya memperhatikan anak-anak kecil yang sibuk bermain ayunan disana. Entah sudah keberapa ratus hari dia selalu berdiam diri di taman ini. Ia tak mampu menghitungnya, lebih tepatnya tak mau. Karena begitu mengetahuinya sudah berapa lama dia menunggu, rasa sakit itu seakan kembali dan semakin membuatnya takut.
Dia selalu ke taman inipun hanya bermodal janji. Dia percaya, lelaki itu akan menepati janjinya. Meski selama ini perasaan takut akan ditinggalkan seakan menghantui hidupnya, namun sekali lagi dia hanya bisa bersabar. Menunggu dan terus menunggu, hanya itu yang bisa dia lakukan hingga lelaki itu datang, meski tak bisa dipungkiri jika nanti ia akan mendapatkan jawaban yang menyakitkan.
Bibir tipis itu sedikit terangkat saat melihat seorang anak terjatuh dan dihampiri oleh lelaki dewasa-berambut coklat gelap berkulit sedikit tan, anak itu begitu kecil saat digendong oleh lelaki berbadan tegap bak seorang model itu.
Bibir Jungkook semakin tertarik keatas saat lelaki itu mencoba melesakan rambut spikenya ke dagu si anak hingga membuatnya kegelian dan tertawa lepas. Entah kenapa dia merasa senang melihatnya.
Lelaki yang sejak tadi memunggunginya itupun berbalik saat seorang wanita memanggilnya, ia meletakan anak kecil tadi dan menghampiri seseorang yang sedang menggendong seorang bayi.
Dia bukan ayah anak itu rupanya-pikirnya, namun saat lelaki berkulit
tan itu semakin mendekat, Jungkook semakin jelas melihat parasnya hingga membuat jantungnya seakan berhenti berdetak detik itu juga.
DEG-
"Taeh-Taehyung..." Tanpa sadar dia menggumamkan nama seseorang yang begitu dirindukannya, refleks iapun berdiri, kedua kakinya hendak berlari menghampiri pemuda tampan itu dan memeluknya erat, melampiaskan rasa rindunya yang hampir membuatnya gila.
Namun semua itu hanya angan-angannya saja, karena pemuda tampan itu justru memeluk wanita bersurai hitam dan mengecup bayi yang ada dalam gendongannya.
Jungkook seperti merasakan tubuhnya seperti jelly, kedua kakinya seakan tak bisa menahan bobot tubuhnya hingga membuatnya hampir terjatuh. Sorot mata bahagia itupun seakan sirna dan tergantikan oleh tatapan sendu yang menyakitkan. Ia ingin mengingkari jika apa yang dilihatnya tadi salah, mungkin itu hanya ilusi, lelaki itu bukanlah Taehyungnya, lelaki itu bukan-
"Kemana saja kau Taehyung? Hyunta sejak tadi merengek meminta balon diujung jalan sana dan kau malah menghilang." Suara wanita itu pun hampir membuat jantungnya berhenti berdetak untuk kesekian kali.
Dia tak salah dengar bukan? Wanita itu memanggilnya Taehyu...ng.
"Maaf, Sayang.." dan suara baritone laki-laki berambut coklat gelap itu seakan mempertegas semuanya.
Suara itu, ia tak akan salah mengenalinya meski sudah lama dia tak mendengarnya lagi. Entah kapan terakhir kali dia mendengar suara baritone itu, tiba-tiba saja memory nya memutar kembali sebuah scene dimana dia terakhir kali melihat pemuda tampan itu.
"Maaf, tapi aku harus pergi. Aku janji setelah aku lulus nanti aku akan melamarmu, Ayah sedang sakit dan aku harus mengurus cabang perusahaan yang ada disana sekaligus melanjutkan pendidikan. Mungkin akan lama tapi aku janji akan segera kembali. Kumohon tunggulah aku ya, Kookie."
Jungkook menunduk, ia tak mampu menahan Taehyung untuk tetap tinggal. Ia tak boleh egois meski Ia enggan melepaskan Taehyung belajar di Negeri orang asing dan membiarkan dirinya sendirian disini. Hanya Taehyung yang dia punya saat ini, melepas kepergian Taehyung sama saja seperti kembali ke kehidupan lamanya yang sunyi.
"Hei -" Taehyung mengangkat dagu Jungkook, ketika matanya bersinggungan dengan iris coklat miliknya, Taehyung tersenyum lembut dan mendekatkan bibirnya. Memberikan ciuman perpisahan sebelum kepergiannya. "Aku janji hanya tiga tahun. Setelah lulus aku akan kembali dan melamarmu. Kau bisa pegang kata-kataku."
Taehyung tersenyum lembut dan dibalas senyum tipis oleh Jungkook. Jungkook tak menjawab, hanya sebuah anggukan singkat namun sudah berhasil membuat Taehyung tenang selama menempu pendidikan disana.
Merasa diperhatikan, pemilik rambut coklat gelap itu pun menoleh, kedua mata coklatnya terkejut menjumpai seseorang yang begitu ia rindukan selama ini, hampir saja kakinya tanpa sadar melangkah mendekati sosok itu yang kini hanya berdiri beberapa meter darinya, namun ia urungkan begitu matanya menangkap raut wajah sosok itu.
Taehyung pernah menjumpai tatapan itu, tatapan saat dunia merengut dua orang yang begitu disayangi sosok itu, membiarkan sosok itu bertahan seorang diri sebelum ia datang dan membawa sedikit warna bagi lelaki itu.
Namun lebih dari itu semua, apa yang tengah dia lakukan kini. Sorot mata yang selalu ia hindari kini seakan telah kembali. Padahal dia dulu sudah berjanji pada dirinya sendiri jika ia tak akan membuat sosok itu terluka, tapi dia justru termakan ucapannya sendiri. Sorot mata penuh luka itu sudah cukup membuat Taehyung tahu jika kini dirinya bertransformasi menjadi lelaki b******k yang mengingkari janjinya.
Jennie-wanita bersurai hitam itu mengikuti arah pandangan suaminya. Melihat seseorang yang duduk mematung disana membuat Jennie berasumsi jika dirinya tengah bertemu dengan salah satu teman suaminya, mengingat sekarang dia tengah berada di Seoul-Negara asal suaminya tinggal. Jenniepun melangkahkan kakinya mendekati sosok yang sejak tadi menjadi objek sang suami-berniat untuk menyapanya.
"Hai, apa kau teman Taehyung? Perkenalkan, aku Kim Jennie istrinya."
Jungkook tak sadar sejak kapan wanita itu berada hanya beberapa langkah dari bangku yang di dudukinya begitu pula lelaki tampan itu. Pikirannya terlalu fokus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi hingga membuatnya tenggelam pada dunianya sendiri.
Waktu seakan terhenti untuk sekian detik, namun Jungkook sadar jika waktu terus berjalan saat melihat daun-daun pohon Maple terbang terbawa hembusan angin yang cukup kencang. Jungkook bahkan baru sadar jika kini adalah musim gugur dan seseorang yang dinanti-nantinya kini sudah berdiri dihadapannya.
Seharusnya dia senang, tapi fakta mengejutkan yang baru saja ia dengar seakan merengut paksa penantian panjangnya demi meraih kebahagiaan.
Jungkook masih terdiam, tak berniat membalas sapaan wanita bersurai sama seperti dirinya, angin semakin kencang berhembus membuat dedauan yang jatuh ikut terbawa sapuannya, mengotori rambut serta bangku yang di dudukinya.
Jika bisa, Jungkook ingin ikut terbawa hembusan angin itu, ia tak peduli akan berakhir dimana. Hidupnya sama saja seperti daun yang gugur itu, terbawa angin yang menerbangkannya tanpa tujuan akhir.
"Jungkook..." Suara itu memanggil namanya dengan sangat lirih namun sanggup membuat jantungnya berdesir saat mendengarnya, bolehkah dia berharap jika apa yang dilihatnya kini hanya lelucon belaka? Sebuah kejutan yang sudah direncanakan sebagai perayaan atas kembalinya dia atau surprice party untuk melamarnya.
Jennie terdiam begitu mendengar nama itu terlontar dari bibir suaminya. Jungkook. Dia hafal betul nama itu, nama yang selalu dipanggil sang suami setiap malam dikala tidur, nama yang bahkan sudah terukir di d**a suaminya.
Jennie pernah bertanya tentang tato Taehyung saat tak sengaja melihatnya, namun lelaki itu tak menjawab. Kini Jennie tahu siapa sang pemilik nama itu dan sekaligus arti nama itu bagi suaminya.
'Apa kau akan kembali padanya, Taehyung?'
Jungkook menatap pemandangan dihadapannya dengan wajah datar, namun jauh di dalam sana hatinya terluka begitu dalam. Sosok wanita yang memperkenalkan namanya sebagai Kim Jennie sekaligus ist-Jungkook bahkan tak sanggup mengucapkan kata nista itu dalam hatinya-tengah mempersiapkan makan malam di dalam apartemennya-ralat, sekarang apartemen ini bukanlah miliknya.
Bodoh! Bahkan sejak dulu ini bukan apartemen miliknya. Ini adalah sebuah bangunan dimana ia menghabiskan waktu bersama kekasihnya.
"Makan malam sudah siap, Ayo Jungkook-ah kita makan bersama." Ajaknya penuh semangat.
Langkah kaki Jungkook terasa begitu berat menghampiri meja makan. Dengan canggung dia duduk dihadapan Jennie sementara Taehyung duduk di ujung meja-yang biasanya diduduki kepala keluarga.
"Silahkan nikmati makanannya, aku sudah menidurkan Hyunta sehingga kita bebas mengobrol panjang lebar. Iya kan, Taehyung?"
Taehyung tak menyahuti ucapan istrinya, dia hanya sibuk memperhatikan Jungkook yang kini tengah memandang makanannya tak nafsu.
Jungkook sendiripun tak berniat mengeluarkan suaranya. Sejak kepulangannya dari taman tadi ia terus bungkam. Dalam otaknya dia ingin mengucapkan u*****n, sumpah serapah dan makian pada si pemuda b******k disampingnya, namun ia tak bisa. Lebih tepatnya ia tak sanggup untuk melakukannya.
Jennie memang wanita yang baik menurut Jungkook. Dia cantik, pintar memasak, ramah serta ceria. Berbeda sekali dengan dirinya yang pendiam, dingin dan kaku. Mungkin hal itulah yang membuat Taehyung terpikat padanya, melupakan dirinya dan mengingkari janji yang pernah dia buat.
Jungkook seperti memakan kata-katanya sendiri. Dia selalu menyangkal ucapan temannya, tapi tenyata Jackson benar, Taehyung, dia bahkan mengkhianatinya.
"Aku cukup sering mendengar kau, Jungkook-ah. Taehyung menceritakan banyak hal tentangmu. Aku senang bisa bertemu langsung denganmu. Jujur, hampir sebulan tinggal disini semua tampak asing, Taehyung tak pernah memperkenalkan temannya kepadaku dan aku berun-" Ucapan Jennie terputus saat mendengar tangis anak kecil yang cukup keras."-maaf aku harus menenangkan Hyunta dulu, silahkan lanjutkan makannya." Ucapnya ramah sebelum meninggalkan dua pemuda yang masih setia dengan keheningannya.
Jungkook tersenyum getir mendengar ucapan Jennie. Sudah sebulan Taehyung kembali dan dia bahkan tak mengabarinya sama sekali? Sementara dirinya menunggu di taman seperti orang bodoh hampir setiap hari.
Tak tahan dengan keheningan yang ada, Jungkook berinisiatif untuk membuka suara, lagi pula ada yang perlu ditanyakan olehnya. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan ingin meledak, ia tak bisa hanya diam dan sibuk dengan pikiran sendiri tanpa ada jawaban yang pasti. Setidaknya ia harus tahu kenapa Taehyung mengingkari janjinya.
"Sudah berapa lama?" Taehyung mendongak dan melihat ke dalam obsidian milik Jungkook. Ia tahu apa maksud pemuda manis itu. Tinggal bersama dirinya bertahun-tahun seakan membuatnya hafal setiap kata serta ekspresi pemuda itu.
"Satu tahun." Jawabnya lirih. Ia tak tahu harus menjelaskan dari mana. Semua terasa begitu tiba-tiba. Ia takut Jungkook tak akan menerimanya dan berbalik membencinya.
"Apakah ini berarti kita sudah berakhir?" Taehyung mengepalkan tanganya begitu kuat. Kata terakhir yang terlontar dari bibir Jungkook membuat tubuhnya seperti terbakar. Ia ingin marah, emosi ingin menguasinya. Ia sangat membenci kata itu, sejak dulu kata itu yang selalu ditakutinya terucap dari bibir Jungkook, kata yang menghantui setiap malam dalam tidurnya dan meneror hidupnya.
Tak mendapat jawaban dari pemuda disebelahnya, Jungkook memutuskan untuk beranjak dari kursi, meninggalkan makanan yang belum sesendokpun tersentuh bibirnya.
"Aku akan mengemasi barangku." Kalimat itu pun membuat tubuh Taehyung bangkit tanpa terkontrol. Ia memeluk Jungkook erat dari belakang, menenggelamkan kepalanya di pundak ringkih si pemuda Jeon.
"Ku mohon tetaplah tinggal. Aku-aku tak sanggup menjalani ini sendirian." Suara baritone itu bergetar.
Hal itu semakin membuat hati Jungkook bertambah gamang. Apa itu berarti Taehyung masih mencintainya?
Tapi seperti yang orang bilang. Setiap orang hanya mempunyai satu hati, tak memungkinkan untuk berbagi. Untuk itu Jungkook akan menyerah jika memang Taehyung tak bahagia bersamanya. Ia akan membiarkan Taehyung memilih, melupakan penantiannya yang tak berarti dan mencoba hidup sendiri-untuk sekali lagi.
"Maaf tapi aku tak bisa." Ucap Jungkook tegas seraya mencoba menahan air matanya. Ia hanya tak ingin terlihat lemah. Ia seorang lelaki, menangis dihadapan lelaki sama saja menunjukan kelemahannya sendiri, terlebih itu adalah orang yang sangat ia cintai.
"Aku mohon. Ak-aku tak bisa hidup tanpamu." Jungkook tertawa mengejek dalam hati. Ia mengasihani dirinya sendiri yang mulai luluh pada ucapan yang dilontarkan pemuda tampan.
'Kau bahkan sudah bisa hidup lebih dari lima tahun tanpaku.' Batinnya miris.
Hatinya ingin mempercayai ucapan Taehyung namun pikirannya seakan menolaknya mentah-mentah. Kenyataan seolah menohoknya begitu dalam, sebuah bukti yang tak terelakan jika Taehyung melupakannya, mengingkari janjinya, menikahi orang lain dan bahkan mendapatkan seorang anak dari hasil pernikahannya.
Bukankah itu adalah bukti yang cukup kuat untuk membuatnya menyerah?
"Kumohon tetaplah disisiku. Ak-aku ingin kita seperti dulu lagi." Pelukan Taehyung semakin erat hingga membuat Jungkook kesulitan bernafas.
Namun mungkin bukan pelukan Taehyung yang membuatnya sesak. Kata-kata pemuda tampan itulah yang membuatnya sulit untuk mendapatkan udara bebas. Bukankah dia begitu egois? Dia ingin dirinya tinggal sementara dia sudah dimiliki oleh orang lain.
"Kau tahu aku tak bisa melakukan itu, Taehyung!" Jungkook berbalik setelah menghempaskan kedua tangan Taehyung yang sejak tadi memeluknya. "Kau adalah orang yang paling egois yang pernah ku kenal." Lanjutnya dengan penuh penekanan.
"Kau salah paham Jungkook, aku tidak berniat menduakanmu atau mengingkari janjiku, ak-aku hanya-"
"Hanya apa? Hanya menikahi seorang wanita dan mendapatkan anak darinya? Itu alasan murahan, Kim." Potong Jungkook dengan suara sedikit keras. Ia tak pernah bertindak out of character seperti ini, namun dia sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Ia hanya terlalu kecewa dengan semua kenyataan yang telah terjadi.
"Kau salah paham Kook, aku hanya-"
"Kalau begitu jelaskan! Beritahu aku jika anak kecil itu bukanlah anakmu dan kau melakukan ini hanya karena terpaksa. Mungkin jika kau mengatakan itu aku bisa mempertimbangkan untuk tetap berada disisimu." Jungkook hanya tak mau berbagi, jika memang Taehyung masih mencintainya, maka dia harus memilih.
Taehyung melangkah mendekati Jungkook, tangannya terangkat untuk menyentuh pipi porselen itu sebelum pandangannya menangkap bayangan seseorang yang kini bersembunyi dibalik dinding untuk mendengarkan ucapannya.
Melihat reaksi Taehyung yang justru terdiam mau tak mau membuat emosi Jungkook kembali naik. Sikap Taehyung yang bungkam seolah menunjukan jawaban yang begitu pasti akan pertanyaannya.
"Baiklah, aku sudah tahu jawabanmu." Dengan begitu Jungkook pergi menuju ke kamarnya dengan tergesa, berniat mengemasi barang-barangnya dan menyerahkan apartemen ini kepada pemilik yang seharusnya.
"Jungkook tunggu!" teriak Taehyung mengejar Jungkook ke kamarnya. Ia tak mungkin membiarkan Jungkook keluar dari apartemen ini. Ini adalah apartemen mereka berdua, apartemen yang sengaja ia beli untuk Jungkook nya, lagi pula ini sudah malam.
Taehyung tahu Jungkook sudah tak punya siapa-siapa selain dirinya, membiarkan Jungkook keluar sama saja dia menelantarkan Jungkooknya di jalanan.
"Ugh-" Jungkook mengerang saat hendak mencapai pintu kamarnya, tiba-tiba saja pusing menyerangnya. Kepalanya begitu berat seakan tertimpa beribu-ribu ton batu. Tangannya berusaha memegang kusen pintu untuk dijadikan sandaran tubuhnya. Jungkook mengumpat dalam hati saat mengetahui jika penyakitnya kambuh disaat yang tidak tepat seperti ini.
"Jungkook, kau tak apa?" Taehyung yang mengejarnya segera menahan tubuh Jungkook yang limbung. Raut khawatir begitu kentara di wajahnya, dengan cepat Taehyung menggendong tubuh itu untuk dibaringkan di kasurnya.
Jungkook tak bisa menolak saat dengan tiba-tiba Taehyung mengangkat tubuhnya, bahkan untuk bersuarapun Jungkook tak mampu, kegelapan seolah menelannya hidup-hidup hingga ia tak tahu lagi apa yang terjadi sebelum Taehyung memanggil namanya dengan begitu panik.
Sudah hampir dua jam Taehyung duduk disamping ranjang Jungkook, mengabaikan Jennie yang merengek memintanya untuk menemaninya tidur. Bagaimana bisa dia tidur dengan nyenyak saat sang pemilik hati tiba-tiba tumbang seperti ini. Bahkan Taehyung sempat panik hingga membentak istrinya saat melihat darah keluar dari hidung mancung Jungkook, beruntung dokter yang dipanggilnya tadi bilang jika Jungkook tidak apa-apa dan hanya kelelahan, sementara untuk hasil lebih jelasnya dokter itu akan mengabari Taehyung beberapa hari lagi setelah mendapat kepastian.
Namun itu tak lantas membuat perasaan khawatirnya menghilang, Taehyung belum bisa tenang sebelum melihat kedua iris hitam malam Indah itu terbuka, dia belum bisa lega jika Jungkook belum bangun dari pingsannya.
Disisi lain, Jennie hanya bisa menangis memeluk bayinya di ranjang. Ia tak menyangka baru sehari bertemu dengan Jungkook, si pemuda Jeon itu sudah berhasil membuat luka yang selama ini terkubur kembali terbuka. Tidak, Jennie tak bisa melepaskan Taehyung sampai kapanpun juga, Jennie yakin Taehyung tak mungkin meninggalkannya.
Ya, Taehyung mencintainya. Jungkook hanya masa lalu suaminya, sekarang dia dan anaknyalah masa depan Taehyung.
.
.
Tbc
05-03-2021