Prahara 2

1115 Kata
Indari melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke cafe, wanita cantik itu mengedarkan pandangan dan melihat wanita yang seumuran dengannya tengah duduk di kursi pojok kanan, seraya melambaikan tangannya. Kedai kopi ini adalah miliknya, dulunya Indari adalah seorang barista, namun karena ayahnya orang kaya, ia membuka cafe ini, setelah sukses di cafe ini, Indari membuka dua cafe lainnya di cabang yang berbeda. Sammy tak pernah tahu kesuksesan yang di raih istrinya, bahkan selama ini Sammy selalu berpikir bahwa Indari hanya menyukai uang ayahnya yang telah tiada. Indari memang harus lebih sabar menghadapi suaminya, menghadapi sikap yang tak pernah membahagiakannya, ini pilihan yang ia ambil, jadi semua resiko dan segala yang terjadi sudah menjadi tanggung jawabnya. "Maaf, aku telat," kata Indari, seraya duduk di hadapan sahabatnya. “Nggak apa-apa, aku baru sampai kok.” Ega—sang sahabat menjawab. “Hem. Kamu udah pesen?” tanya Indari. "Sudah. Kabarmu gimana?" "Aku baik. Bahkan lebih baik dari sebelumnya," jawab Indari, dengan senyum sumringah. Bebannya saat ini biarkan ia simpan rapat-rapat. Tak perlu ada yang tahu, siapa pun, bagaimana hati dan jiwanya saat ini. "Orang lain mungkin bisa kamu bohongi, tapi aku nggak akan pernah kemakan dengan kebahagiaan yang kamu tunjukkin, aku udah bilang, kan, masalah sekecil apa pun, aku pasti mengetahuinya, meski kamu udah bersikap sebaik mungkin." Perkataan Ega seakan menyihir Indari. Bahkan Ega bisa menebak jika saat ini dirinya memang tidak bahagia. "Bukan kah aku harus bersikap seperti ini, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aku baik-baik saja? Bahkan jika semua orang menertawakanku, aku tetap akan berusaha terlihat baik-baik saja. Itu lah yang harus aku lakukan.” "Please, Indari, pikirkan kembali pernikahanmu." Ega memberi jeda. "Bahkan jika kamu tertawa terbahak-bahak itu tidak akan membuatmu terlihat baik-baik saja. Kamu jangan membuat semua ini rumit, kamu hanya harus melangkah mundur dan meninggalkan semuanya. Alih-alih terlihat bahagia didepan semua orang, mendingan tinggalkan semuanya sebelum Sammy membuatmu makin sakit,” celetuk Ega, membuat Indari tersenyum mendengarkan. Bukankah sudah terlambat jika ia meninggalkan semuanya sekarang? "Kamu tahu alasanku bertahan," kata Indari. “Jadi buat apa membahas itu lagi? "Aku tahu. Meski kamu berusaha sekuat apa pun, Sammy tidak akan pernah melupakan Vivian, kamu hanya menjadi bayangan di antara mereka." Ega menambahkan, membuat sesak didada Indari kembali melukainya. Luka itu terus saja menganga dan sampai melebar, semoga saja Indari tidak sampai jenuh dan menyerah. "Menjadi bayangan saja sudah membuatku bahagia, bahkan lebih bahagia, entah mengapa rasanya sangat berat ketika aku harus melangkah meninggalkan suami dan putriku. Ketika aku berani dan bertekad, ada saja kekhawatiran dalam hatiku." Indari menunduk, tanpa sadar air matanya berlinang begitu saja. “Andai kau menikah dengan Radika, semua ini nggak akan kamu rasain, kamu akan bahagia,” lirih Ega. “Meski Radika kembali, aku akan tetap mempertahankan suami dan putriku.” "Lalu apa kamu siap ketika Disty tahu hal yang sebenarnya? Dia akan sangat membencimu, bahkan cinta yang kamu miliki untuk Disty akan hilang seketika, jika dia tahu bahwa selama ini kamu dan Sammy menyembunyikan kebenarannya, Disty itu akan dewasa juga nantinya,” kata Ega. "Aku siap dan akan selalu siap menerima kebenciaan Disty. Bukankah itu resiko yang harus aku terima?" "Aku nggak tahu hati apa yang kamu miliki, bahkan aku nggak bisa membayangkan bagaimana aku menjadi dirimu. Aku tahu kamu baik, bahkan terlalu baik untuk ukuran Sammy, dia itu lelaki yang nggak memiliki kerjaan, dan kamu berikan dia kehidupan yang baik, bahkan memberikannya kepercayaan mengurus perusahaan papamu.” "Nggak akan ada yang pernah mau menjadi sepertiku apalagi berada diposisiku, jadi biarkan aku berusaha semampuku, ketika aku menyerah itu artinya batas kemampuanku hanya sampai di situ saja." Indari menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaannya, dan bola matanya dari Ega sahabatnya. “Dan … aku nggak mau membahas harta yang dimiliki suamiku, Ga, perusahaan juga maju karena usahanya.” "Batas kemampuanmu memangnya harus menunggu berapa tahun lagi? Ini sudah tiga tahun, namun pernikahanmu nggak pernah ada kemajuan, rasanya sebagai sahabat aku nggak mampu melihatmu seperti ini." Ega memberi jeda beberapa detik. Lalu, melanjutkan, "Biarkan aku bertanya." Indari mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya, ia menunggu apa yang akan di katakan Ega. "Apa kamu mencintai Sammy?" Pertanyaan yang sensitif, entah bagaimana Indari akan menjawabnya, ia pun tidak tahu apa arti dari pertahanan dan kebaikannya kepada Sammy, apakah itu cinta, atau hanya sekedar tanggung jawab? "Aku mencintainya." "Sungguh?" Indari mengangguk, meski matanya di penuhi akan keraguan. "Jangan menyia-nyiakan hidup dan perasaanmu kepada laki-laki yang tidak akan pernah memberikan hatinya untukmu." Ega melanjutkan. “Insha Allah semua sudah ada jalannya,” jawab Indari. “Jalan yang kamu tempuh itu salah, bahkan sangat salah, aku terkadang ingin menangis saja.” “Ga, jangan donk,” kata Indari. “Ri, aku tuh sedih melihatmu seperti ini, kamu itu nggak ada kurangnya loh. Kamu kaya raya, kamu cantik, kamu manis, kamu memiliki segalanya, bahkan banyak lelaki yang akan antrian didepanmu saat ini.” “Kamu ngomongnya gitu banget, aku udah bersuami jadi jangan pernah menyebutkan lelaki lain.” “Ya udah. Aku udah nggak sanggup kalau ngomong masalah perasaan ke kamu.” Suara ponsel Ega terdengar, membuat Ega merogoh tasnya. "Bentar, Ri," kata Ega, lalu menekan tombol hijau. ‘Halo?’ ‘......’ ‘Ya?’ ‘......’ ‘Baiklah. Aku akan segera ke sana.’ Ega mengakhiri telpon dan kembali menaruh ponselnya ke dalam tasnya. "Sepertinya kamu harus pergi," ujar Indari. "Hem. Pak Angga menelponku, dia membutuhkan file yang ada di laptopku," jawab Ega, seraya mengambil tasnya di kursi lainnya. "Aku harus pergi. Kamu di sini kan sampai sore?" "Iya. Aku di sini kok sampai sore." "Lalu Disty siapa yang menjemput?" "Aku akan menyuruh supir menjemputnya," jawab Indari. "Baiklah. Aku pergi dulu, aku akan kembali pulang kantor nanti," kata Ega, seraya mencipika-cipiki sahabatnya. Sepeninggalan Ega, Indari kembali ke kasir dimana Hikmah sang kasir tengah duduk. "Ibu mau duduk?" tanya Hikmah. "Nggak usah. Kamu duduk saja." Pintu cafe terbuka, menandakan seseorang baru saja masuk. "Selamat da—" Indari membulatkan mata, rasa sedih dan bahagia bercampur aduk, ketika melihat seorang pria tampan masuk ke cafe, dengan memakai celana kain, juga jas yang di dalamnya hanya kaos oblong. Indari menundukkan kepala, berusaha membuat matanya tidak melupakan statusnya. Ia harus ingat, meski tak di harapkan dan tak di cintai, namun statusnya adalah seorang istri. "Hai, Indari," sapa pria itu, membuat beberapa barista juga waiters terlihat menatap atasan mereka. Indari terpaksa mendongak, dan menghentikan segala aktifitasnya yang sengaja ia buat agar tak sampai terlihat dimata pria tampan itu, pria tampan itu bernama Radika Halim, pria yang memiliki tempat khusus di hatinya. Tatapan keduanya menghujam lembut, tak ada yang bisa Indari lakukan, rasa gugup menyergap seketika, membuat jantungnya berdetak kencang bagai alarm, sungguh tak bisa Indari hindari tatapan Radika. Wajah lelaki yang dulunya menghiasi kehidupannya, kesehariannya, bahkan lelaki yang selalu memberikannya kebahagiaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN