"Ammah!” teriak Disty, memeluk Indari erat, andai saja Disty tahu bahwa Indari bukan Ibu kandungnya, bagaimana nantinya Disty akan bertahan? Bahwa semua yang terjadi di depan matanya adalah kebohongan dan sandiwara belaka yang sudah tertata rapi, kebohongan yang disimpan baik-baik selama ia lahir kedunia.
"Ammah, kata Bu Risma, Disty pintar dan ikutin Mama," seru Disty.
"Iya, Sayang, ganti bajumu dan kita makan siang sama-sama." Indari membelai rambut putrinya, putri dari sahabatnya.
"Disty pintar itu bukan dari Ammah, tapi dari Appah." Suara Sammy terdengar, Indonesianya mulai lancar, karena selama ini agar bisa komunikasi yang lancar dengan Vivian, Sammy belajar banyak bahasa Indonesia.
Indari dan Disty menoleh menatap pria dewasa yang tampan kini tengah menuruni tangga. Hentakkan kakinya terdengar sangar dan otoriter.
"Tapi kata Bu Risma, Ammah pintar, dan Disty ikutin Ammah loh." Adisty tidak mau kalah, dan selalu menganggap dirinya benar. "Bu Risma gak mungkin boong, Pah."
"Ah masa?" Sammy menoleh menatap tajam ke arah Indari, istri yang selama ini tidak pernah di cintainya dan masih mengharapkan Vivian kembali.
"Dan ... kata Om Juna, Disty cantik mirip Ammah juga," lanjut Adisty, membuat Indari tersenyum menatap putri kecilnya.
"Om Juna? Siapa Om Juna?" tanya Sammy menatap tajam setajam pisau ke arah Indari yang kini menundukkan kepala.
"Om Juna itu teman Ammah, Om Juna bekerja di cafe dekat sekolah Disty," jawab Adisty, membuat Indari memberi kode kepada gadis kecil itu agar tidak sampai melanjutkan, karena papanya akan marah jika itu berlanjut, buka marah karena cemburu, tapi marah karena memberi contoh yang tidak baik untuk Adisty—putrinya.
"Ganti bajumu, Nak, lalu turun untuk makan siang,” kata Indari, membuat Disty menganggukkan kepala.
"Iya, Mah." Disty berlari menuju tangga.
Sepeninggalan Disty, Indari kembali menata makanan di atas meja, dan menyodorkan kopi di hadapan suaminya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan intimidasi, kapan tatapan itu berubah menjadi cinta? Kenapa semuanya terlalu menyakitkan meski berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang.
Indari tahu maksud tatapan suaminya, namun berusaha tak bertanya. Indari melangkahkan kaki jenjangnya menuju meja dapur, mengambil cemilan yang ia buat, dan di letakkan di meja makan.
"Jika kamu mau selingkuh, jangan di depan Disty," sindir Sammy, membuat mata Indari membulat. Tega sekali suaminya berbicara seperti itu padanya. Apa tak ada sedikitpun rasa perhatian pada istrinya?
"Istigfar, Mas, aku bukan wanita seperti itu," protes Indari, menatap wajah santai Sammy. Seseorang yang menjadi mualaf demi Vivian itu, belum menjalankan perintah agama dengan baik.
"Lalu kamu wanita yang seperti apa? Jangan terus berdiri didepanku dengan wajah sok suci, aku nggak segan-segan menyuruhmu pergi," kata Sammy, mendongak menatap istrinya yang kini menundukkan kepala. Menyuruh pergi? Bukankah yang harusnya memiliki hak melakukan itu adalah Indari? Karena ia pemilik rumah ini.
"Aku adalah wanita bersuami, dan aku nggak akan melakukan hal yang di larang oleh agama. Juna adalah teman kecilku, dia baik dan selama ini kami hanya teman." Indari menjawab, berusaha menahan sesak di dadanya ketika suaminya itu berbicara hal yang tidak bisa di hindari Indari adalah ketika dadanya menyesakkan setiap kali pria yang sudah menikahinya tiga tahun silam berbicara.
"Dimataku … kamu sama saja dengan wanita di luar sana, yang hanya menginginkan status dan uang. Jika kamu ingin uang katakan padaku, kamu membutuhkan berapa, agar aku kasih. Itu semua buat kamu yang mau meninggalkanku." Sammy mengancam. Sejak dulu, Indari memang ingin meninggalkan semua ini, namun Disty selalu membuat langkahnya terhenti. Sebenci itu kah Sammy pada istrinya? Dan ... mengapa terdengar sombong namun bukan miliknya.
Indari menelan ludah, berusaha tetap tersenyum meski sesakit apa pun perkataan suaminya.
"Insya Allah, aku berbeda," jawab Indari. “Aku nggak seperti wanita yang kamu bilang.”
"Berbeda apanya? Berbeda karena kamu adalah manusia yang paling suci? Jangan munafik! Aku tahu apa yang kau butuhkan dan menikah denganku,” sergah Sammy.
“Aku nggak munafik, Mas, kamu yang harusnya menolak ketika kamu tahu bahwa aku yang akan menikah dengan kamu, tapi waktu itu kamu malah biasa saja,” protes Indari, ia sering jenuh dengan sikap suaminya yang tak pernah membuatnya bahagia.
“Wah. Kamu nggak munafik? Dan, kamu tanya kenapa aku nggak protes pas aku akan menikahimu? Aku melakukan itu karena keluargaku yang datang dari jauh, kamu jangan berpikir bahwa aku menikah dengan kamu karena memang aku mau.”
Indari terdiam, dan masih melanjutkan aktifitasnya, mengurus makanan di atas meja. Sudah menjadi kebiasaan baginya ketika suaminya itu mengatakan hal yang tidak benar tentangnya, meski berusaha mendapatkan perhatian dari suaminya, namun tetap saja Indari selalu terluka.
"Dimataku kamu tetap Ibu dan istri pengganti, jadi tidak perlu terlalu berusaha mengambil hatiku, bahkan jika kamu memohon, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan Vivian dihatiku." Sammy melanjutkan, membuat d**a Indari sakit, merasakan sesak yang tidak pernah kunjung berhenti setiap hari. Seperti ini kah menjadi istri yang taat menurut agama? Bahkan, jika memohon untuk di anggap istri oleh pria yang sudah sah menjadi suaminya itu percuma, namun apa salahnya?
"Aku memang berharap bisa mendapatkan posisi di hatimu, dan aku juga terus berharap kamu bisa menganggapku seperti Vivian, namun aku tidak akan pernah memaksakan kehendakmu untuk menerimaku. Aku sadar diri, Mas." Indari menitikkan air mata. Mengapa kehadirannya di sini selalu di sindir.
"Bahkan kamu buka baju pun, tidak akan berbeda," lanjut Sammy, membuat Indari makin sesak.
"Ammah! Appah!" Disty berlari menuju ruang makan, membuat Indari menyeka air matanya, dan berusaha tersenyum di depan gadis kecil yang menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan dalam pernikahan ini.
"Sini duduk, Sayang." Sammy menggendong putrinya dan mendudukkannya di kursi makan.
"Hem ... yummy, enak banget aromanya, jika Ammah yang masak, pasti enak, jika Disty ke sekolah, yang di pikiran Disty hanya masakan Ammah saja, apa yang Ammah masak. Dan apa yang akan menjadi hidangan makan siang dan malam," puji Disty, membuat Indari membelai rambut gadis kecilnya itu. Disty bersikap jauh dari usianya, pemahaman dan kepekaannya terhadap sesuatu selalu berbeda. Hal itu lah yang membuat Indari dan Sammy bersikap layaknya suami istri yang bahagia di depan semua orang.
"Mah, Pah, apa Disty bisa bertanya?"
"Apa, Sayang?" tanya Sammy. “Tanyakan saja apa yang ingin kamu tanyakan.”
"Bercerai itu apa?"
"Bercerai?" Sejenak Indari menoleh menatap suaminya yang tengah bingung bagaimana menjawab pertanyaan putrinya.
"Disty dengar kata itu darimana?"
"Dari Andin," jawab Disty.
"Andin? Kenapa Andin bisa mengatakan itu?"
"Papa sama Mama Andin cerai, Pah, Andin tiap hari nangis dan sering cerita sama Disty." Betapa polosnya Disty menanyakan hal yang sensitif seperti kata cerai, sedangkan pemikiran untuk bercerai dan rencana itu sudah dipersiapkan Sammy.
"Sayang, meski Ammah dan Appah jelaskan, kamu nggak akan pernah paham." Sammy mengelus rambut putri kecilnya.
Anak sekecil Disty harus merasakan kehilangan ibunya, ketika baru saja lahir. Ibunya meninggalkannya, dan kini entah kemana wanita itu, wanita yang sudah meninggalkan tanggung jawabnya kepada Sammy untuk merawat Disty. Meski Sammy mencintai Vivian, namun Sammy tak pernah berniat untuk memaafkan Vivian ketika perempuan itu kembali.
Bagai di jatuhi beton, kepala Indari terasa sakit, dan tak mampu mendongakkan wajah menatap Disty, meski hari ini Disty tidak tahu bahwa wanita yang ia sebut Ammah itu bukan Ibu kandungnya, cepat atau lambat Disty pasti akan tahu, mental dan kesiapan Indari terus saja ia tata, menjaga jika saja putri suaminya itu tahu tentangnya.
"Disty harap Ammah sama Appah nggak perna bercerai kayak orangtua Andin." Disty menatap kedua orangtuanya secara bergantian. "Disty gak mau sampai Ammah dan Appah cerai juga."
“Insha Allah nggak akan terjadi, Nak,” kata Indari, membuat Sammy mendongak dan menatap perempuan yang kini duduk disamping Disty.
"Memangnya Disty tahu cerai itu apa?" tanya Sammy.
"Kata Andin ... papa mamanya sering berantem, jadi itu pasti cerai."