"Kalau kamu yakin, kenapa tidak menangkapnya saja?"
"Belum ada bukti yang kuat. Aku tidak bisa sembarangan menangkapnya."
"Lalu?"
"Aku sedang memantaunya."
"Bagaimana penyamaranmu sebagai intel?"
"Sejauh ini aman. Tidak ketahuan."
"Baiklah. Ku harap kamu berhati-hati.."
****
Sofia terdiam begitu mendengar adzan dzuhur berkumandang. Sudah menjadi kesehariannya mendengar suara adzan tersebut semenjak di Indonesia. Tak hanya itu, ia jadi bisa bangun pagi tanpa alarm di ponselnya ketika lagi-lagi adzan subuh berkumandang.
"Daniel, kenapa kamu mualaf?"
Seketika ia juga teringat Daniel. Sudah beberapa hari berlalu, ia tidak lagi menjumpai Daniel. Ia juga tidak menghubungi pria itu. Rasanya ia seperti sendiri dan hampa. Tidak ada siapapun lagi di sampingnya.
Ia memang menyukai Daniel. Ia memang menyayangi Daniel. Namun hanya sebatas teman baik sejak lama. Daniel terlalu banyak membantunya. Daniel juga terlalu baik padanya. Disaat semua anak mendapatkan kasih sayang orang tua, justru ia tidak pernah mendapatkannya.
Dan Sofia mendapatkan semua itu dari Daniel walaupun hanya sedikit. Namun ia bersyukur, masih ada pria di muka bumi ini yang perduli padanya tanpa mengharap apapun.
Perlahan, pria itu sudah menjauh dari hidupnya. Ponselnya berdering. Tiba-tiba Daniel menghubunginya?
Kenapa kebetulan sekali?
"Halo?"
"Kau masih hidup?"
"Jika tidak untuk apa aku menerima panggilanmu!"
Sofia merasa kesal. Namun ia tidak bisa berbohong kalau sebenarnya ia merindukan hal hal spele seperti ini.
Suara Daniel tertawa di seberang panggilan terdengar. Suara yang begitu menenangkan sekaligus menjengkelkan di saat bersamaan karena pria itu sekarang tampak seperti orang asing.
"Oke maaf. Aku berkata seperti itu karena kau tidak ada kabar. Tidak biasanya kau begini."
"Aku hanya tidak ingin mengganggu semua urusanmu. Itu saja. Lagian aku juga sibuk!"
"Kenapa kau terdengar seperti orang kesal? Kau cemburu kalau aku lebih dekat wanita itu daripada dirimu?"
Wanita itu? Ah tentu saja yang Daniel maksud adalah Nafisah. Pikir Sofia
"Untuk apa? Kau mengejekku karena sekarang terlihat menyedihkan dan sendiri tanpa siapapun?"
"Tidak. Apakah sekarang kau merasa seperti itu?"
Sofia terdiam. Kalau boleh jujur, ya, itu benar. Ia merasa hampa dan sendirian di negara orang lain. Tapi gengsi Sofia terlalu tinggi sehingga ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Ada apa kau menghubungiku?"
"Bahkan kau belum menjawab pertanyaanku."
"Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."
"Oke, aku hanya ingin menyampaikan berita penting."
"Oh ya? Apa?"
"Aku mengundurkan diri sebagai pimpinan redaksi penerbit."
"Kau sedang tidak mabuk kan?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak lagi meminum alkohol."
"Ah ya, aku baru ingat. Orang muslim memang tidak di perbolehkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang non halal."
"Tunggu, apa maksudmu? Kau-"
"Aku tahu sudah mualaf, Adelard.."
****
Daniel terdiam setelah mematikan ponselnya. Ia sudah memberi kabar pada gadis kecil itu kalau ia akan mengundurkan diri menjadi pimred. Semua ia lakukan agar Nafisah merasa tenang dan tidak terusik karena dirinya hanya untuk meraih cita-cita. Ancaman Nafisah waktu itu yang katanya akan melenyapkan diri jika ia menyentuhnya, berhasil membuatnya tak berkutik.
"Lebih baik aku mengalah tidak menyentuhnya daripada aku kehilangannya. Ancaman dia bisa saja terjadi. Tidak mudah, mencoba memulai suatu hubungan yang baru ketika sebelumnya dia terjatuh begitu dalam karena pria lain."
"Ck, setampan apa sih, Mantan suaminya itu sampai-sampai dia begitu percaya dan berakhir dengan luka?" ucap Daniel dengan nada meremehkan. Seolah-olah ia adalah pria yang tepat buat Nafisah. Padahal belum tentu.
"Tapi, soal tadi, darimana Ciara tahu aku sudah Mualaf?"
Sofia juga bertanya kenapa ia mengundurkan diri. Tentu saja ia mencari alasan lain tanpa membawa nama Nafisah.
"Aku bosan jadi bos. Pengen jadi karyawan. Nanti aku akan bekerja.." Itu kata Daniel tadi.
Pintu terketuk pelan. Daniel segera membuka pintunya.
BUG!
Tinjuan secara tiba-tiba mengenai pipinya. Daniel sampai tersungkur ke lantai. Hanif berdiri didepan pintu sambil bersedekap.
"Kamu sudah gila?!" kesal Daniel sambil berdiri.
"Kamu yang gila. Ngapain kerja di tempatku dan menjadi kurir ekspedisi juga?"
"Apakah itu masalah buatmu? Siapa saja bisa bekerja disana!"
Hanif tersenyum miring. Terlihat kalau ia begitu meremehkan Daniel.
"Siapa saja? Termasuk penjahat sepertimu?"
Daniel tak bereaksi apapun. Sesaat, Hanif menatap Daniel. Pria itu tanpa menujukan ekspresi apapun di wajahnya.
"Tentu saja." jawab Daniel enteng. "Jadi, apakah sekarang kamu berubah profesi menjadi pengincar penjahat juga?" sindir Daniel balik.
Hanif tertawa. "Semua yang aku lakukan adalah untuk melindungi Adik sepupuku agar dia tidak terjatuh kedua kalinya dengan pria sepertimu!"
"Ah begitu.." Daniel memajukan langkahnya. Saling berhadapan dengan Hanif. "Sekuat apapun kamu melindunginya, kamu yakin kalau hati nya akan aman?"
"Apa maksudmu?!"
"Tidak ada yang bisa melindungi dirinya ketika dia mulai jatuh hati pada pria manapun. Kalau sudah urusan hati, kamu yakin bisa mencegahnya?"
"Ini hanya masalah waktu. Kamu lupa kalau roda akan selalu berputar dan tidak selamanya dibawah?"
Hanif tak berkutik. Daniel benar-benar pintar membuatnya terbungkam.
"Sama seperti Nafisah. Sekuat apapun dia melindungi hatinya, dia tidak akan bisa lagi menjaga hatinya ketika mulai jatuh cinta... "
Seolah-olah memberi tanda, dengan angkuh Daniel mengangkat tangannya ke samping wajahnya. Dengan nyata ia memperlihatkan lingkaran cincin di jari manisnya.
****
"Nafisah, maaf mengganggu. Naskah kamu sudah aku revisi, bisa di cek kembali?"
"Maaf Sofia, aku akan membatalkan kontrakku."
"Kamu bercanda?"
"Tidak. Aku serius."
"Memangnya kenapa?"
"Tiba-tiba aku berubah pikiran.."
Saat ini keduanya tengah bertemu. Tepatnya di kediaman Nafisah karena Sofia sadar wanita itu telah lama tidak meresponnya. Kontrak sudah berjalan namun Nafisah tidak terlihat menunjukkan tanda-tanda akan lanjut.
Tugasnya sebagai Editor, harus menekan dan mengingatkan penulisnya dengan cara baik melalui Email atau Ponsel agar bisa saling bekerjasama dalam menyelesaikan kewajiban masing-masing sesuai isi kontrak yang berlaku. Tapi sayang, Nafisah tidak menghiraukan keduan nya. Alhasil ia memilih pergi ke rumah Nafisah.
"Kamu yakin bukan alasan lain?" tanya Sofia curiga
"Bukan. Maaf kalau akhirnya aku terlihat plin plan."
"Kenapa situasinya sangat kebetulan?"
"Maksudnya?"
"Semalam pimred kami juga mengundurkan diri dengan alasan pindah kerja di tempat lain. Kamu juga tiba-tiba membatalkan kontrak. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi tolong pikirkan baik-baik, Nafisah. Karena tidak semua penulis bisa lolos terbit di penerbitan kami-"
"Nafisah! Katakan padaku, kamu benar-benar belum menikah dengan siapapun kan?! Kenapa Daniel memakai cincin-"
Tiba-tiba Hanif datang disaat yang tidak tepat. Bukannya masuk mengucapkan salam, justru ia grasak grusuk seperti di kejar setan dengan mengucapkan kata-kata konyolnya. Hanif terdiam mematung, begitu rumahnya sedang ada tamu.
Tepat disaat yang sama, Nafisah dan Sofia terdiam seribu bahasa. Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana reaksi mereka saat ini. Terutama Nafisah..
Dan Sofia sadar. Ia yakin telinganya sedang tidak bermasalah...
****
? Dari awal, Daniel suka ngasih tanda walaupun nggak ngomong secara langsung..
Makasih ya udah baca. Jgn lupa di vote ya, biar peringkat cerita ini insya Allah bagus ☺
Komentar juga boleh biar nambah semangat author up ?
With Love, Lia
Instagram ; lia_rezaa_vahlefii