Part 2

2464 Kata
PART 2 PART-2 “Kak Malik lama! Bikin kesel!” Salma menghentakkan kedua kakinya kesal. “Iyaya, Unyil maap deh.” Malik pun menaiki motornya dan tak lupa membantu si kembar naik motor juga. “Namaku Salma kak bukan unyil, Salma tinggi kok.” “Pendek kayak boneka unyil!” “Gak! Kakak itu yang ketinggian!” “Sabar!” Silma dari belakang Malik, menepuk bahu adiknya untuk bersabar. Malik mulai menjalankan motornya lagi namun saat melewati gadis itu entah mengapa perasaan iba pun muncul. Ia menghentikan motornya lagi lalu berjalan mundur sambil menuntun motornya dan berhenti tepat di depan gadis itu berdiri. Gadis itu mengkerutkan dahinya bingung melihat cowok tadi yang sekarang berdiri di depannya. “Ayo bareng sama gue!” ajak Malik pada gadis itu “Ogah--” “Gue bukan pak ogah ya, cepet naik kalau gak mau dihukum sama guru! "Malik baru saja sadar kalau gadis ini satu sekolah dengannya, terlihat dari rok yang dipakai dan kaos kaki yang namanya sama dengan nama sekolahannya. Gadis itu menatap dua bocah SD yang wajahnya sama-sama mirip secara bergantian. Ia tersentak kaget saat cowok itu merangkul pundaknya dan menuntunnya berjalan menuju motor matic di depannya. “Jaga adik gue juga ya.” Malik dengan seenak jidatnya menarik tangan gadis itu untuk berpegangan jaketnya. Gadis itu nampak diam saja karena menatap bocah kecil di depannya juga. Lucu-batin gadis itu menatap si kembar Tak lama akhirnya mereka telah sampai di depan gerbang SD Balowerti. Malik menyuruh adik-adiknya segera turun dari motor. “Kakak tadi seru puol lho, naik motor cepet banget!” Salma memberi dua jempol pada kakaknya. Ya tadi Malik menambah kecepatan motornya agar segera sampai di sekolah adiknya. “Kamu seru, aku yang pusing.” Silma memegangi kepalanya. “Silma pusing? Yahh maafin kakak ya.” Malik merasa bersalah lalu memeluk Silma dan mengusap puncuk rambut adiknya itu lembut. Salma membawakan helm milik Silma juga, mereka memang selalu membawa helm ke sekolahan kalau diantarkan oleh Malik. “Nih, kakak punya minyak kayu putih.” Gadis yang masih duduk di belakang Malik itu memberikan minyak kayu putih untuk Silma. “Terima kasih kakak!” Salma langsung menerima minyak itu karena kakaknya masih linglung. “Salma, kakaknya dijaga ya?” Malik tersenyum melihat Salma merangkul Silma berjalan masuk menuju sekolah. “Slow ae bos!” sahut Salma sembari mengacungkan jempolnya mantap. Sekarang Malik melanjutkan perjalanan menuju sekolahnya. “Nanti berhenti dulu, jangan sampai masuk sekolah!” Gadis itu beberapa kali memperingati Malik namun Malik hanya membalas dengan deheman saja. Beberapa menit kemudian, Malik menghentikan motornya di pinggir jalan sebab gadis itu minta turun di sini. “Makasih,” kata gadis itu terlambat. Malik sudah pergi begitu saja di hadapannya. ... Malik berjalan santai sambil tangannya menenteng tasnya. Para siswi di SMA Madya ini begitu terpesona dengan ketampanan Malik dan ada juga yang memekik kegirangan kala mendapat notice dari Malik. Malik mengedipkan mata kanannya sambil tersenyum lebar itu adalah pesonanya. “Kumat nih!” Malik jatuh tersungkur ke depan kala kakinya ditendang dari belakang secara kuat. Malik mengaduh kemudian membalikkan badannya menatap dua orang yang menatapnya aneh. Dua orang itu ialah temannya. “Abah sama Cempe nih suka banget lihat gue tersiksa.” Malik menghembuskan napasnya kasar melihat dua temannya itu malah berjalan begitu saja melewatinya. Malik menyusul dua temannya itu seraya merangkul mereka. “Abah merengut mulu sama anaknya.” Malik tertawa pelan menolehkan wajahnya ke samping kiri. Sebenarnya namanya itu Zidan namun Malik memang suka memanggil temannya itu Abah karena penyuka musik dangdut dan entahlah mengapa bisa menyebutkan julukan kepada temannya. “Habis gimana gue gak kesel sama lo, lo buat ayam punya bapak gue kabur!” Zidan menoyor muka Malik yang seperti minta dijotos itu.. “Hehe, maafin gue!” Malik menepuk pundak Zidan dua kali. “Oh Cem, gue nyontek ulangan nanti ya.” Malik menaik turunkan alisnya menatap teman satunya yang memiliki otak pintar. Kenapa dipanggil Cempe? Sebenarnya dia memiliki nama asli yaitu Vardo. Namun karena cempe itu artinya anak kambing dalam bahasa jawa. Vardo memiliki anak kambing banyak makanya banyak murid memanggilnya Cempe bahkan guru bahasa jawa pun memanggilnya seperti itu. Tak lupa ayah Vardo juga mendapat sebutan dari tetangganya yaitu Pak wedhus (kambing). Vardo hanya mengiyakan ucapan Malik saja. Sekarang mereka berada di dalam kelas dan seperti biasa para siswi di dalam kelas mereka menyambut kedatangan Malik dengan ucapan selamat pagi. Hanya beberapa menit saja, guru mata pelajaran hari ini masuk ke dalam kelas. Btw, Malik sekarang kelas 11 SMA dan lelaki pemilik bibir tebal itu masuk ke dalam kelas 11 IPA 3. Istirahat akhirnya tiba, Malik tentu senang dan mengajak dua temannya itu menuju kantin. “Beneran kan lo traktir? Awas aja kayak kejadian kemarin.” Ancam Zidan pada Malik. “Kalau kemarin memang gue lupa bawa duit, dompet gue ada di celana satunya. Ini sebagai bentuk agar tidak jadi anak durhaka kepada abahku tersayang.” Malik melahap keripik singkong, tangannya membawa bungkus jajan sesekali menyeruput es rasa kopi s**u pesenanya. Dua temannya itu memilih makan karena belum sarapan tapi tidak dengan Malik yang tiap harinya sudah sarapan dari rumah, tentunya Irene yang masak serta membawa bekal dari rumah. Meski mamanya itu selalu sibuk tak membuat mamanya mengabaikannya, itu yang membuat Malik sangat menyayangi Irene beserta dua adiknya. “Sayang sayang pala lo double!” Zidan menjewer telinga Malik membuat Malik meringis. “Kepala gue satu lah masak double kayak anu aja.” Malik terkekeh pelan meski mendapat hadiah lemparan jajan dari teman-temannya. Malik mengangkat salah satu kakinya santai, seperti tengah nongkrong di warung. Malik menatap sekeliling kantin sesekali memanggil para siswi dengan sebutan 'cantik'. Zidan, Vardo hanya menghela napasnya pelan melihat sikap Malik meski bocah itu tak pernah pacaran tapi tetap saja suka menggoda para siswi di sekolah ini. Para siswi tentu merasa baper dan ada juga yang menembak Malik namun Malik bilang jika dirinya tak ingin berpacaran dulu sebelum nilai matematikanya bagus dan papanya bangga padanya. Saat asyik menggoda para siswi yang mencoba meminta nomer ponselnya, tiba-tiba sebuah senyuman lebar terbit dibibirnya kala matanya terpaku menatap sosok gadis yang tengah memakai seragam karate di sana. Sosok gadis yang tadi sempat bertemu dengannya tengah duduk diam di bawah pohon depan aula. “Maaf ya mas ganteng ini mau ketemu sama orang penting.” Malik tersenyum kecil ketika para siswi itu nampak kecewa padanya. “Mau kemana lo?” tanya Zidan kepo pada Malik yang tiba-tiba saja beranjak berdiri dari duduknya. “Oh ya gue mau tanya sama kalian.” Malik menepuk jidatnya pelan kemudian kembali duduk di tempatnya tadi. “Tanya apa?” tanya Vardo. “Kenal cewek itu gak? Tuh yang pake baju karate warna hitam.” Malik menunjuk gadis di sana. “Oh gue kenal.” Vardo mengenali gadis itu karena pernah melihat di sebuah pertunjukkan. “Dia siapa?” tanya Malik penasaran. “Itu namanya Cantika. Anak karate dia, tapi rumornya mau mundur dari eskul itu,”ujar Vardo. “Emang terkenal? Gue baru tau dia malah,” kata Malik bingung. “Dia itu terkenal kali, oh ya gue lupa kalau Malik gak pernah ikut upacara.” Zidan si abah itu menghela napasnya pelan. “Urusannya sama upacara apa coba?” tanya Malik makin bingung. “Dia itu namanya selalu dipanggil saat upacara, dia sering dapet juara dan banggain sekolah juga. Padahal wajah dia sering terpajang juga di mading sekolah.” Vardo menyeruput pop ice rasa durian setelah menjelaskan pada Malik. “Jadi gue ketinggalan banyak dong?” Malik merasa pensaran pada cewek itu. “Dia suka menyediri kah?” lanjut Malik. “Kayaknya, gue gak pernah lihat dia sama teman-temannya.” Zidan membuka ponselnya dan membalas sms dari ibunya. “Lo naksir?” tebak Vardo pada Malik “Lo naksir beneran? Jangan deh, gak cocok buat lo kalau cuman buat main-main. Lo nanti bisa dicincang-cincang sama dia.” Zidan bergidik ngeri membayangkan Malik dicincang-cincang oleh Cantika “Siapa juga yang naksir, cuman penasaran doang kok.” Malik mengedikkan bahunya tak acuh. “Penasaran juga lama-lama naksir lho sama dia.” Vardo terkekeh pelan menebak sikap temannya itu. “Lo tau sendiri kan gue gak mau pacaran dulu. Tuh cewek hampir gue tabrak tadi.” Malik mendengus ketika dirinya dituding akan main-main dengan cewek tersebut. “Apa? Tapi badan lo gak kenapa-napa kan?” tanya Zidan terkejut. “Lo kena amukan gak?” sekarang ganti Vardo yang sama-sama kepo. “Enggaklah, gue biasa aja. Malah gue yang nolongin dia, kalau gak ada gue kan dia telat masuk sekolah.” Malik mengabaikan ekspresi dua temannya itu. “Jadi lo tadi boncengan sama dia? Punggung lo masih utuh kan?” Vardo langsung menatap punggung Malik ternyata masih utuh lalu kembali ke tempat duduknya semula. “Lo kira gue sunder bolong? Kalian ini kenapa takut sama tuh cewek?” “Habisnya dia pernah bikin adik kelas patah tulang.” “Tendangan tuh cewek kuat bener deh.” Kok gue jadi penasaran gini ya-batin Malik seraya tersenyum miring. ... Malik bersiul-siul sambil memainkan kunci motornya, berjalan santai menuju parkiran motor. Setelah menemui motornya lalu menaikinya dan mengendarai motor itu dengan pelan karena masih berada di area sekolah. Matanya menyipit saat melihat sosok gadis yang bikin dirinya penasaran itu tengah berjalan pelan menuju gerbang sekolah. “Hey cewek cantik.” Malik masih mengendarai motornya dan menjajarkan langkah kaki gadis itu. “Lo lagi.” Gadis bernama Cantika itu melengos pergi begitu saja saat melihat dirinya. “Jual mahal banget deh.” Malik terkekeh pelan, ia bukan cowok tipe menyerah begitu saja. Rasa penasaran membuatnya ingin mengenal gadis itu apalagi kata dua teman kucrilnya tadi jago berantem. Malik mengikuti arah pergi gadis itu yang ternyata Cantika menaiki bus sekolah. Ia masih mengikuti bus itu sampai ke tempat dimana membuatnya terkejut. Malik menghentikan motornya di belakang mobil dan dari sini ia bisa melihat kemana Cantika pergi Cantika masuk ke dalam rumah biasa dan berukuran kecil letaknya juga dekat jalan raya sini. Saking kecilnya rumah itu Malik tak pernah tau jika itu rumah padahal sering lewat jalanan di sini. “Oh kayaknya ini rumah si cantik.” Malik paham sekarang akhirnya memutuskan untuk pulang saja. ... Malik tak langsung pulang melainkan ke rumah buleknya dulu sebab kata buleknya ,Silma dipulangkan tadi saat sekolah karena mengeluh kepalanya pusing. Kali ini Malik sudah sampai ke rumah Zena dan pastinya siap memasang telinganya nanti. Malik berjalan masuk ke dalam rumah saat pintu itu dibukakan oleh mbok Narti. Ia mendengar suara si kembar berada di ruang keluarga dan seperti biasanya dirinya langsung menuju ke sana. “Silma, Salma.” Panggil Malik saat memasuki ruang keluarga melihat si kembar bermain di sana tapi itu hanya Salma yang bermain sedangkan Silma tengah berbaring di atas sofa. “Kakak Malik ke sini?” suara centil Salma itu membuat Malik langsung bergegas menghampiri mereka. “Unyil sama Tuyul belum mandi?” tanyaMalik pada si kembar. “Silma bukan tuyul!” teriak Silma gak terima yang langsung duduk dibantu Malik. “Yang suka ambil uang kakak siapa kalau gitu?’ Malik melirik Silma dengan bibir dimanyunkan. 1 2 3 “Huaaa kak Malik pergi! Kak Malik nakal! Jahat!” jerit Silma kemudian menangis. Malik langsung menggendong Silma yang menangis itu karenanya. “Iya ya Silma itu cantik bukan tuyul.” Malik memeluk Silma di dalam gendongannya. “Salma juga cantik kok!” teriak Salma tak terima. “Iya ya kalian semua cwantik buanget deh.” Malik menganggukkan kepalanya beberapa kali berusaha menyakini mereka berdua. Untung bukan si unyil yang nangis kan berabe-batin Malik. Malik duduk sambil memangku Silma yang sudah tak menangis lagi. “Sudah jangan nangis, maafin kakak tadi ya. Kakak janji deh gak kebut lagi.” Malik mengusap air mata Silma, Silma masih sesenggukkan. “Pusing.” Rengek Silma sambil memegangi kepalanya. “Belum mandi nih?” tanya Malik pada si kembar. Salma ikut duduk di sampingnya setelah puas bermain. “Belum.” Si kembar kompak menggelengkan kepalanya cepat. “Pantes bau banget.” Malik menjepit pangkal hidungnya seraya menyipitkan kedua matanya. “Kakak!” Salma memukul lengan Malik. “Oh ya Silma inget.” Silma turun dari pangkuannya lalu dirinya mengambil tas sekolahnya yang masih tergeletak di atas meja. Malik dan Salma menatap Silma bingung. Silma mengeluarkan minyak kayu putih milik sosok gadis tadi dan ia langsung memberikannya pada Malik. Malik menerima minyak itu dengan kening berkerut. “Kenapa Silma kasih ke kakak?” tanya Malik bingung pada Silma “Ya dikembalikan lhah kak, ini kan dipinjamin.” Silma kembali duduk di atas paha Malik. Malik berpikir sebentar lalu sebuah ide cemerlang pun seketika muncul di otaknya. “Oke lah!” “Hissh Salma! Enak banget nyender!” Malik memegangi kepala Salma yang sedari tadi menyandar di lengannya. “kakak!” Merasa kaget, Salma memukul lengannya lagi. Malik tertawa pelan, senang sekali menggoda si kembar ini. “Kakak mau pulang, tak kasih uang mau?” tawar Malik pada si kembar. “Mau dong!” jawab si kembar kompak sambil mengadahkan tangannya di depannya. “Nih!” Malik memberikan uang seribuan dua pada si kembar. “Kok seribu?” tanya Silma sambil bibirnya cemberut. “Anak kecil gak boleh bawa uang banyak.” Malik mengacak rambut Silma gemas. “Buat beli apa ini kak? Buat beli jajan gak cukup,” balas Salma pada Malik. “Ck! Buat beli permen lah, lumayan seribu dapet enam atau beli permen karet dapet empat.” Malik mengangkat tubuh Silma lalu Silma diletakkan di samping Salma. “Kakak gak lihat, di meja itu ada permen banyak.” Silma menunjuk dua toples berisi permen karet dan permen mintz. Malik menoleh menatap meja itu lalu menggaruk tekuknya pelan. Ia kembali menatap si kembar yang malah memberikan tatapan polos padanya. Malik berdehem sebentar lalu mengeluarkan suaranya lagi. “Ya buat. Ah itu kan kalian pasti nabung jadi masukin ke celengan kalian saja.” Malik tersenyum lebar menatap si kembar tapi senyumannya kembali pudar setelah mendengar ucapan Salma. “Celengan kita masih penuh belum dibeliin sama ayah. Kita gak punya dompet juga kak, lalu disimpen dimana uangnya?” tanya Salma pada Malik. “Entahlah itu urusan kalian.” Malik menghela napasnya pelan dan sudah kehabisan kata-kata. “Kakak gak asyik isshh kalau kasih uang cuman seribu doang, dari dulu juga.” Decak Silma kesal. “Tunggu kakak kerja nanti, bakal kakak kasih mobil buat kalian tapi gak janji sih. Ya sudah kakak pulang dulu ya!” pamit Malik pada si kembar. Si kembar mengabaikannya dan memilih menonton televisi. “Bocah cilik sudah mengerti uang aja.” Malik berjalan keluar dari ruangan ini. “Malik?” sapa suara lembut dari seseorang yang tak familiar baginya. Malik menoleh ke samping dan melihat buleknya tengah melipat bersedekap d**a. " Aduhh maaf bulek tadi gak sengaja ngebut. "Malik mengira jika kali ini lolos sebab mbok Narti tadi sempat bilang kalau buleknya tengah pergi ke restoran tapi ternyata buleknya sudah pulang ke rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN