Bab 3 ~ Ajakan

1116 Kata
"Damian, bagaimana dengan acara pesta pengangkatan Tuan Dermawan?" tanya Erlando ketika melihat jadwalnya yang ada di tablet yang selalu Damian bawa. "Itu di jadwalkan malam, Tuan," ucap Damian. "Ya. Aku tahu," kata Erlando. "Maksudku persiapannya, bagaimana? Apa kau sudah menyuruh orang mengirim bunga?" "Sudah, Tuan, semuanya sudah beres," jawab Damian. "Anda hanya harus mempersiapkan satu hal." "Apa itu?" "Wanita. Anda harus bersama pasangan Anda malam ini," kata Damian, masih berdiri dihadapan Erlando. "Akan ada banyak tamu undangan, dan pesta ini semua tamu undangan harus menggandeng pasangan mereka. Nyonya Naina dan Tuan Burhan akan hadir di acara tersebut." "Bukankah itu hal yang gampang?" "Anda bisa melihat foto para wanita yang ada di tablet itu, Tuan, Anda bisa memilihnya, dan saya akan menghubungi mereka." Erlando terus menggeser foto-foto wanita yang sudah Damian siapkan untuknya, namun tak ada yang sreg dimatanya. "Hanya ini? Tak ada yang lain?" tanya Erlando. "Iya, Tuan, hanya ini, maaf, soalnya acara pengangkatan Tuan Dermawan sangat mendadak, jadinya saya hanya bisa menyiapkan itu semua." "Tak ada yang menarik di mataku," tolak Erlando. "Jadi?" "Ya kamu cari yang lain saja," jawab Erlando. "Tapi—" Suara ketukan pintu terdengar, secara bersamaan pintu terbuka dan memperlihatkan Cahaya masuk ke ruangan Erlando dengan mata membulat ketika melihat atasan yang sudah ia lempar kain kotor duduk di kursi CEO. Cahaya membawa nampan berisi 1 cangkir kopi ditangannya. Cahaya tak bergeming sama sekali, namun dengan cepat sadar ketika Damian berdeham. "Ini kopi Anda, Tuan," ucap Cahaya, lalu menaruh cangkir berisi kopi diatas meja dengan wajah menunduk berharap Erlando tak mengenalinya. Erlando menatap Cahaya dari ujung kaki hingga ujung rambutnya lalu terkekeh setelahnya. "Astrid mana? Kenapa dia yang membuatkan kopi?" tanya Erlando. "Astrid menggantikan saya rapat dengan departemen manajemen," jawab Damian. "Saya permisi dulu, Tuan," ucap Cahaya lalu berjalan meninggalkan Erlando yang masih menatap punggungnya. Damian melihat tatapan Erlando pada Cahaya dan itu terasa aneh. "Apa Anda mau jika dia yang menjadi pasangan Anda ke pesta Tuan Dermawan?" tanya Damian, membuat tatapan Erlando berpaling menatapnya. "Urus saja. Aku akan pergi dengannya," jawab Erlando. Aneh. Banyak wanita yang lebih cantik dari Cahaya, namun Erlando ingin Cahaya yang menemaninya. "Baik, Tuan, akan saya urus," ucap Damian, lalu melangkah meninggalkan Erlando yang masih duduk di kursi kebesarannya dan menyusul langkah kaki Cahaya. Damian keluar dari ruangan Erlando namun tak melihat Cahaya, Damian hendak melangkah menuju lift, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang dibalik pintu darurat. 'Nek, yang sabar ya mengurus Kanaya, Aya masih berusaha mencari pinjaman.' '.....' 'Jangan, Nek, Aya tidak akan membiarkan Nenek dan Kanaya tinggal dijalanan.' '.....' 'Iya, Nek, jika ada rezki Aya pasti akan membayar cicilan pada Kang Jamil.' '.....' 'Iya, Nek, yang sabar ya, Nek, Aya pasti akan cepat dapat uangnya.' '.....' 'Wa'alaikumssalam.' Cahaya menghela napas panjang, ia tak tahu lagi harus bagaimana, ia tak tahu harus mengatakan apa pada Rinda untuk mengajukan pinjaman, meski dipinjamkan, uangnya pasti tidak akan cukup untuk kemoterapi Kanaya dan membayar cicilan pada Kang Jamil sang rentenir. "Ya Allah, bagaimana ini? Berikan rezkimu, Ya Allah," ucap Cahaya dengan helaan napas. Cahaya hendak berjalan, namun pintu terbuka, membuat langkah kaki Cahaya terhenti. "Eh, Pak Damian," kata Cahaya menganggukkan kepala. "Kamu di sini?" "Iya, Pak," jawab Cahaya. "Siapa namamu?" tanya Damian. "Cahaya." "Baiklah, Cahaya, saya ada pekerjaan untuk kamu, jika kamu benar-benar membutuhkan uang," kata Damian. "Oh iya, maaf jika saya tadi tak sengaja mendengar kamu berbicara ditelpon." "Pekerjaan apa yang Anda maksud?" "Menjadi pasangan dari CEO kita." "Apa? Tapi tidak mungkin." "Pasangan Tuan hanya untuk malam ini, dan lokasinya bukan di sini tapi di Bandung. Bisa? Saya akan membayar jasamu." Cahaya mengingat apa yang ia lakukan pada CEO itu, ia melemparkan kain kotor di wajah tampannya dan yang tak lain tak bukan adalah CEO di perusahaan ini. Sungguh memalukan. "Bandung? Kok—" "Ya. Ini acara khusus, jadi memang tempat acaranya di Bandung." "Tapi—" "Kamu mau atau tidak?" Cahaya sempat mengira jika Damian lah CEO di perusahaan ini mengingat Damian yang sering keluar masuk ke dalam ruangan CEO tersebut. "Bagaimana, Cahaya? Saya akan membayar mahal jasamu itu," sambung Damian, membuat Cahaya ragu menjawabnya. Di satu sisi ia harus membohongi orang lain, namun di sisi lain ia membutuhkan uang. Bahkan prioritasnya hanya uang, bukan soal cinta. "Apakah itu harus, Pak?" "Tentu harus. Tapi, kamu punya hak untuk menolak, saya tidak akan memaksamu," kata Damian. "Semua orang memiliki hak untuk menolak." "Baiklah, Pak, saya mau," jawab Cahaya. "Tapi saya tidak yakin Tuan akan menyukai saya." "Beliau menyerahkan segalanya pada saya. Pulang kerja nanti, saya akan menyuruh Astrid untuk menemanimu ke salon, acara party jam 8 malam, jadi Astrid akan membawamu ke Bandung sore ini." Cahaya menganggukkan kepala. "Ya sudah. Berapa nomor ponselmu?" Cahaya lalu bertukar nomor ponsel dengan Damian. Setelah itu, Damian pergi meninggalkannya. Cahaya duduk di tangga dengan pikiran yang melayang, takutnya ia akan langsung dipecat setelah melakukan tugasnya, sedangkan Cahaya sangat membutuhkan uang. Cahaya sejenak berpikir dan menjentikkan jari sesaat. "Aku kuras saja Tuan CEO itu, bagaimana? Aku membutuhkan uang, dan aku memang hanya memikirkan tentang uang," gumam Cahaya, terkekeh sejenak. *** Sore menunjukkan pukul 5, Cahaya menunggu didepan kantor, kata Damian ... Astrid akan mengantarnya ke salon. Cahaya terus menunggu, sesekali memandang iri ke arah para karyawan yang mengenakan pakaian bagus dengan IDcard yang menggantung dileher mereka. Andai saja ia bekerja sebagai karyawan, ia tak akan merasa risih dan kecil seperti ini. "Hai," ucap Astrid dari dalam mobil. Cahaya menoleh dan tersenyum. "Kamu Cahaya, 'kan?" tanya Astrid, tetap berbicara dari mobil. "Iya, Bu," jawab Cahaya. "Ya sudah. Ayo naik," ajak Astrid. Sesaat kemudian, Cahaya masuk ke mobil mewah yang biasanya digunakan orang-orang penting, Cahaya menggeleng pelan, sudah sangat lama ia tak menaiki mobil pribadi seperti ini. Terakhir, ketika Anjas mengajaknya makan malam romantis di salah satu restoran di Banjarmasin, namun karena Anjas lebih mementingkan karir dan mimpinya, akhirnya mereka berakhir. Cahaya yang mengakhiri segalanya, karena tak ingin menjadi penghalang dari mimpi orang yang sangat di cintainya. "Eh, itu Cahaya kan ya? Kok dia naik mobil mewah?" tanya salah satu rekan kerja Cahaya yang bernama Leina. "Dia itu Mbak Astrid loh, sekretaris CEO," kata Sani. "APA?" Mata semuanya membulat, membuat Sani memberi kode kepada teman-temannya agar tak ribut. "Beneran dia sekretaris CEO?" tanya Leina lagi. "Iya. Ketika aku membersihkan beberapa tempat, dia itu selalu memperkenalkan dirinya pada staf bawah sebelum memulai rapat," jawab Sani. "Kok dia bisa naik ke mobil itu? Apa hubungan Cahaya dan Mbak Astrid itu?" Sejenak Wani berpikir. "Atau jangan-jangan ...." "Usssh. Jangan mengatakan hal yang nggak mungkin, ayo kita pulang," ajak Leina, lalu menarik kedua temannya. Sedangkan sejak tadi, Kaila mendengar perbincangan ketiga office girl itu dan dia juga melihat Cahaya masuk ke mobil dimana Astrid ada didalamnya. Bergaul dengan sekretaris CEO adalah hal yang luar biasa yang di anggap sangat penting di perusahaan ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN