Bab 5 ~ Detak Jantung

1004 Kata
Seorang perempuan cantik berjalan dengan anggun untuk berkumpul di keramaian, semua mata pun tertuju padanya, benar-benar anggun dan menarik, perempuan itu mengenakan gaun berwarna putih dengan bagian pahanya terbuka, lalu mengenakan set berlian yang benar-benar menyilaukan mata. Perempuan itu menghampiri Erlando yang kini tengah tertegun menatapnya. “Hai,” sapa Jennyfer, membuat Erlando tak percaya ketika bisa bertemu kekasihnya itu di sini. “Wah. Sungguh mengagumkan sang designer kita di sela kesibukannya akhirnya hadir di sini dan memenuhi undangan saya,” kata Tuan Dermawan, yang kini menyalami Jennyfer. Pengusaha lainnya menyalami Jennyfer, membuat Erlando mundur beberapa langkah dan menyalami tamu lainnya. “Dia siapa, Pak?” tanya Cahaya. “Dia kekasih Tuan. Perempuan itu juga adalah designer terkenal dan sekarang sedang mengembangkan bisnisnya di Spanyol, dan India,” jawab Damian menjelaskan. "Kekasih Tuan? Lalu kenapa dia menyewa saya sebagai tunangannya? Kenapa bukan perempuan cantik itu?" "Penjelasannya panjang, Cahaya. Jalankan saja tugasmu. Dia bukan orang yang sembarangan." Seketika Cahaya merasa kecil, apalah daya dirinya tak sehebat itu, dan perempuan itu juga terlihat sangat menarik dan menawan, apalagi ia di kenal dikalangan bangsawan. "Permisi, Tuan-tuan, ada yang mau saya bicarakan dengan Mr.Maxevil," kata Jennyfer, lalu menarik Erlando menjauh dari keramaian. “Apa kabarmu?” tanya Jennyfer. Erlando menoleh dan melihat Jennyfer kini mengukir senyum paling indah dari semua orang. “Aku merindukanmu,” bisik Jennyfer. “Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Erlando. “Apa tidak ada pertanyaan lain?” “Aku terkejut saja melihatmu ada di pesta ini.” “Sayang, Tuan Dermawan mengundangku ke pesta ini, awalnya aku tidak ingin hadir, namun mendengar bahwa kau juga ada di deretan undangan, aku pun terbang langsung dari Spanyol dan kemari,” jawab Jennyfer, mengangkat segelas wine dan menyodorkan kehadapan Erlando untuk bersulang. “Apa kau tak merindukanku?” tanya Jennyfer. Erlando menghela napas, dan merangkul pinggang Jennyfer. Perempuan itu mengembangkan senyum karena merasa Erlando diam-diam memang merindukannya, tak mungkin ia bersikap semesra ini. Meski Erlando tak pernah cemburu melihatnya dengan dengan lelaki manapun. “Aku akan secepatnya kembali ke Indonesia.” Jennyfer mendonggakkan wajah dan menatap wajah Erlando yang kini tidak menunjukkan ekpresi. “Sayang, apa kau tak suka aku kembali ke Indonesia?” tanya Jennyfer. “Aku senang,” jawab Erlando. “Aku akan menginap di hotel Zinet bersamamu,” bisik Jennyfer. Entah mengapa Erlando jadi biasa saja. Erlando mengangguk. “Kita bisa ‘kan menikmati malam bersama? Kau akan pulang besok dan aku ingin melakukan sesuatu denganmu agar kita tak sampai saling melupakan,” kata Jennyfer. Erlando hanya mengangguk. Sedangkan matanya sejak tadi menatap Cahaya yang kini mengobrol dengan beberapa laki-laki. Cahaya akan menginap di satu kamar sendirian, sedangkan Damian pun sendiri di kamar lain, kamar yang mereka sewa adalah kamar standar, sedangkan Damian menyewa kamar suite room untuk atasannya dan juga Jennyfer. "Mr, senang bertemu dengan Anda," kata salah satu koleganya. Jandria namanya, seorang pengusaha muda yang tengah mengembangkan bisnis barunya. "Tuan Jandria, apa kabar?" tanya Erlando, melepaskan rangkulannya di pinggang Jennyfer, membuat Jennyfer menautkan alis. "Saya baik sekali, Mr. Oh iya perkenalkan ini istri saya," kata Jandria menunjuk wanita disampingnya. Erlando lalu menyalami istri koleganya itu. "Apa ini istri Anda?" tanya Jaindra. "Oh bukan, dia adalah kolega saya juga," jawab Erlando, membuat Jennyfer menautkan alisnya karena merasa Erlando menyembunyikannya. Erlando hanya tidak ingin mengundang ekspresi berlebihan dari orang-orang yang sudah mengenal Cahaya sebagai tunangannya. Andai saja Jennyfer datang lebih cepat, sudah pasti Erlando memperkenalkan Jennyfer. "Kalau begitu kami permisi, Mr," ucap Jaindra. "Silahkan nikmati pesta Anda, Tuan," ucap Erlando. Jaindra dan istrinya lalu meninggalkan Erlando dan Jennyfer. "Kenapa kamu mengatakan bahwa aku kolegamu? Why?" tanya Jennyfer. "Sayang, ada hal yang tidak bisa aku katakan pada mereka." "Maksudnya?" Erlando lalu menjelaskan pada Jennyfer tentang alasan mengapa ia tidak mengatakan kepada koleganya tentang dirinya. Jennyfer pun memahaminya. *** Malam telah menunjukkan pukul 10, Cahaya keluar dari kamar, dan berjalan-jalan di sekitar hotel, ia keluar dan duduk di lobby hotel dengan penampilan yang biasa, ia mengenakan sweater karena cuaca sangat dingin. Cahaya menghela napas panjang, Kaila pasti sudah bertanya-tanya dimana dirinya, Cahaya memilih tak memberitahu Kaila tentang pekerjaan yang kini sedang ia lakukan. Cahaya lalu memainkan ponselnya dan melihat sosial media miliknya. Hanya ada beberapa followers meski Cahaya memotret dirinya dengan baik dan berpikir itu menarik. Cahaya merasa kepalanya akan pecah memikirkan Kanaya dan neneknya yang di Banjarmasin melawan kerasnya hidup. Cahaya di sini berusaha melakukan apa pun untuk mendapatkan uang agar kehidupan keluarganya lebih baik, dan pengobatan Kanaya bisa terpenuhi. Jika Erlando memberikannya uang, ia pasti akan langsung menyuruh adik dan neneknya ke Jakarta. Semoga saja jumlah upah dari Erlando bisa cukup untuk membayar tiket, menyewa kost dan biaya hidup lainnya. Suara deheman membuat Cahaya menoleh dan melihat Erlando tengah menggelengkan kepala melihatnya. “Tuan." Cahaya beranjak dari duduknya dan membungkukkan kepala menghormati atasannya. “Tumben, sopan," kata Erlando lalu duduk dihadapan Cahaya. “Saya hanya berusaha melakukannya," ucap Cahaya. “Santai saja, bersikap seperti biasa itu dirimu." Cahaya menautkan alis merasa heran. “Kenapa kamu belum tidur?" tanya Erlando. “Aku belum mengantuk, dan pengen ngemil," jawab Cahaya. “Lalu cemilanmu mana?" tanya Erlando. Cahaya menggaruk tengkuknya. Erlando menjentikkan jari pada salah satu waiters. "Iya, Mr?" "Bawakan cemilan sehat dan dua cangkir kopi," perintah Erlando. "Baik, Mr," ucap waiters itu lalu meninggalkan Cahaya dan Erlando. “Terima kasih, Tuan," ucap Cahaya. "Dan ... saya minta maaf karena melemparkan kain kotor ke muka Anda waktu itu." Cahaya menundukkan kepala, ia benar-benar malu, sikapnya pada Erlando tidak bisa di maafkan, ia sudah keterlaluan, seharusnya ia tidak boleh melakukan itu meski pada siapa pun, mungkin waktu itu ia sedang banyak pikiran. Apalagi pikiran tentang Kanaya selalu saja membuatnya pusing. "Aku memang tidak terima," kata Erlando. "Apa?" "Awalnya aku mau balas dendam." "Lalu?" "Tapi, kau berutang padaku," kata Erlando. "Tuan, saya membutuhkan uang, jangan pecat saya," kata Cahaya. "Ya ya. Akan aku pikirkan," kata Erlando, cuek. Sesaat kemudian waiters datang membawakan nampan dan dua piring cemilan dan di sajikan didepan Erlando dan Cahaya. Cahaya merasa aneh, jantungnya seperti akan melompat saja ketika melihat pria tampan bak malaikat sedang duduk dihadapannya, seraya melihat ponselnya beberapa kali. Cahaya membutuhkan uang, ia harus membuat Erlando jatuh hati padanya agar semuanya bisa mudah ia dapatkan, meski sebenarnya susah, Erlando sudah memiliki kekasih. . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN