Mata.
"Kamu sadar, nggak? Dari tatapan kamu dan yang terpancar di mata kamu ini, ada aura sensuall yang begitu pekat."
Yang Alam usap pinggiran wajah Rana dengan pelan, sepelan ucap yang baru saja dia katakan. Sementara Rana ... diam mematung, mencerna atas apa yang tengah terjadi malam ini.
Tunggu!
Rana masih ngeblank.
Helai rambut itu Alam sisipkan di belakang telinga penghuni baru rumahnya, anak gadis orang yang merupakan tipe idealnya.
"Alis kamu, pernah lihat baik-baik alis dan sorotan mata ini?" Kian pelan, Alam berbisik. Entah kapan jarak pun sudah ditipiskan. Alam menatap Rana dari dekat, sangat dekat.
Tanpa tahu bahwa jantung Rana mulai berdetak tak tahu aturan, ritmenya berantakan. Tubuh Rana seolah dipaku pada tiap sendinya, kaku.
Alam mengurung pergerakan itu.
"Wah ... kayaknya kamu nggak tahu potensi apa yang ada di diri kamu. Rana, mau saya kasih tahu?"
Seolah paham segalanya. Alam menggoda rasa penasaran di diri Rana.
Dibilang tak nyaman pun ... Rana ingin mendengar kelanjutan ucapannya, sehingga kini tak ada yang bisa dia lakukan untuk menepis segala bentuk kelakuan Pak Alam. Yang detik itu Pak Alam meraih tangannya sambil bilang, "Lihat."
Rana menunduk, alihkan tatap. Semula memandang Alam, kini dia menatap lengan yang gerangan tunjukkan. Ya, tangan Rana. Yang saat itu juga diusapnya lembut oleh jari telunjuk Alam Semesta.
Rana terkesiap.
"Pak--" Agaknya dia merinding. "Maaf." Langsung Rana tarik lengannya untuk dia peluk agar tak lagi sembarangan disentuh gerangan.
Uh.
Alam tidak keberatan. Tak mengambil pusing gerak penolakan Rana dari setiap sentuhnya. Yang penting ... "Rambut-rambut halus di tubuh kamu, tangan contohnya, itu alami kan?"
"Bapak pikir?"
"Seperti alis kamu. Alis itu punya struktur dan kelebatan yang ... kamu nggak akan paham."
Sungguh!
Dari tadi bahkan Rana tidak mengerti apa yang Alam bicarakan.
Bisakah beliau membicarakan hal yang bisa otak Rana cerna saja? Ayolah ...
"Aku nggak paham."
Alam terkekeh dibuatnya. Yang dia sandarkan punggungnya di sofa, menoleh menatap Rana, Alam basahi bibirnya.
"Saya bisa ngejelasin, detail, tapi takut kamu kaget dengernya."
"Tentang yang tadi Bapak omongin?"
"Ya, semuanya. Tentang kamu, tentang apa yang ada di diri kamu dan nggak kamu sadari. Saya pikir, kamu harus tahu."
"Seolah Bapak jauh lebih tau dari aku!"
"Kenyataannya memang begitu kok."
Oh, tidak!
Hanya Rana yang tahu apa tentang dirinya.
Tatapan Rana pun meruncing. Siaga satu. Sedangkan Pak Alam tetap kalem di jalannya. Bertanya-tanya, sebenarnya ini orang tuh mau apa? Seperti apa? Dan mengapa?
"Tentang Bapak yang pengin kenal aku lebih dalam, itu artinya Bapak belum tahu banyak tentang aku. Tapi perhatikan kata-kata Bapak barusan. Nggak sinkron. Sebenernya, apa tujuan Bapak?"
Alam menggumam lama.
Eum ...
Apa, ya?
"Bapak mau goda aku?"
Oh, kelihatannya seperti itu, ya?
Alam pun mengedikkan kedua bahunya. Dengan enteng dia bicara, "Ibarat kamu adalah buku, saya gemas ingin membedah kamu. Membahas tentang kamu, kepada kamu, biar kamu tahu sebanyak apa pesona dari aura sensuall yang kamu punya. Sayang kalau tidak dikembangkan. Dan untuk mengembangkannya, tentu saja ... pemiliknya harus paham, kan?"
Rana butuh otak Langit saat ini, andai organ dalam manusia bisa ditukar - pinjamkan.
Alam pun bangkit, melirik jam dinding. "Sudah malam, sebaiknya kita tidur saja. Jangan lupa pikirkan, lalu putuskan kapan siapnya kamu untuk saya bedah seperti buku, dan dengarkan baik-baik hal itu. Saya tunggu."
Memperingati.
Alam bahkan mengetuk pelan kening Rana dua kali dengan jari sambil bilang, "Harus mau, ya, nggak boleh nggak. Itu perintah 'empat puluh juta'."
Kalian dengar itu?
Utang Rana selalu dibawa-bawa.
Oh, ya ampun!
Salah nggak sih, Rana datang ke sini? Tinggal di rumah ini? Dengan lelaki yang seperti Alam, yang sulit Rana pahami.
***
Linglung. Rana benar-benar memikirkan secara mendalam apa yang diucap Pak Alam. Tentang aura sensuall yang Rana miliki, pun Rana baru tahu soal itu.
Ini hal baru.
Alis, mata, dan bibir.
Rana ingin tahu.
Tapi ... kalau itu Alam, kayaknya Rana harus mikir ribuan kali untuk bilang 'mau'. Atau dia harus membuat kesepakatan don't touch dulu supaya nggak sembarangan sentuh kayak semalam.
Ah, pusing!
Dalam tidur pun seolah ada yang bergentayangan. Lalu pagi itu, Rana mulai membiasakan diri bangun lebih awal seperti apa kata majikan.
Yeah, daripada tenaga kerja pendidik di sini, Rana lebih mirip pelayan, kan? Pelayannya anak-anak.
Dia pun beranjak ke dapur di setelah mematikan alarmnya. Cuci muka sebentar. Yang mana saat itu, di dapur, Rana masih keduluan.
"Oh, sudah bangun?"
Nah, kan.
Rana sambungkan langkah yang sempat terputus. Mendekati sosok Alam yang sedang mencuci sayuran.
Ehm.
"Mau masak apa?" tanya Rana. Mari kesampingkan dulu tentang semalam.
Toh, Pak Alam pun demikian. Bahkan seperti yang tak pernah terjadi apa-apa di pukul 21:00 mereka.
"Capcai. Anak-anak suka."
Rana berdiri di samping gerangan. "Terus apa yang bisa aku bantu?"
Alam pun menyerahkan sayur hasil cucinya kepada Rana, yang perempuan itu terima. Kata Alam, "Iris itu, ya. Saya mau buat nasi gorengnya, atau kamu saja yang bikin nasi goreng?"
"Bapak aja." Barangkali keasinan kan nanti Rana yang disalahkan. Mohon maap nih, agaknya Rana kurang bersahabat dengan dapur.
"Ya sudah."
Di mana pagi itu mereka masak bersama. Alam pakai celemeknya, yang Rana perhatikan dalam diam. Berdecak kagum kala tatap Rana jatuh di punggung Pak Alam, terlihat begitu kokoh sampai-sampai Rana membayangkan andai dia nemplok di sana kayaknya boleh juga. Um ... terus bahunya, Pak Alam punya bahu selebar bahu pejantan yang benar-benar yahud.
"Oh ya--"
Terkesiap.
Rana langsung menunduk kala Pak Alam berbalik, meski tatapnya tadi tertangkap basah sedang jadi pemerhati.
"Kamu suka nasi goreng telur?"
Jantung oh jantung. Rana deg-degan. "Ng-nggak, Pak."
"Kalau telurnya dipisah, suka?"
Padahal obrolan biasa.
Ya ampun.
Rana kian gugup saja. "Suka."
Sebab dari ekor matanya, Rana bisa mencuri-curi pandang pada sebidang apa dadaa milik Pak Alam. Uh ... pasti nyaman. Bahkan celemek pun nempel di sana fungsinya seperti bukan untuk melindungi diri dari cipratan minyak, melainkan berfungsi untuk menggoda iman Rana yang tipis kalau dihadapkan dengan cowok tampan.
"Ngomong-ngomong, mau sampai kapan kamu meluk baskom sayuran saya?"
"Ah, iya!" Lagi-lagi Rana terkesiap. Menatap Pak Alam dengan paniknya sambil bilang, "Ini aku mau ambil pisau. Ehm, di mana pisaunya? Oh, itu. Maaf, nggak kelihatan."
Bisa kalian bayangkan?
Jantung Rana nggak bisa tenang.
Padahal di tempatnya, Alam berdiri tak lakukan banyak pergerakan. Kalem.
Rana doang yang gelisah, salah tingkah.
Dimulai dari baby corn yang Rana potong-potong. Posisinya, Rana menghadap meja dapur. Sementara Alam kembali berkecimpung dengan kompor, yang sudah dia iriskan bawang pun beberapa cabai untuk nasi gorengnya.
Tak lagi bersisian.
"Rana, ambil baksonya di kulkas, ya. Saya lupa. Tolong cuci dulu, nanti diiris juga. Buat capcainya."
"Oh, oke."
Segera Rana laksana.
Yang mana aroma nasi goreng itu pun tercium menggugah selera.
Sejenak saja, Alam menoleh melihat Rana. Yang mana detik itu dia matikan kompornya, selesai, dan Alam mendekati satu-satunya betina di rumah dia.
Oh ...
"Bukan gitu motongnya."
Tersentak. Rana terkesiap, lagi. Namun, ini jelas lebih parah.
"Sini, saya kasih tau."
Sebab suara-suara itu tepat berbisik di dekat telinga Rana, hingga rasanya dia sedang digelitiki oleh deru napas akibat tutur kata Pak Alam di belakangnya.
Tentu.
Terlalu dekat.
Rana sampai mematung, saat tubuh bagian belakang itu merasakan sebuah desak yang kian mengukung. Seakan semua sendi di tubuh Rana hilang fungsi, dia diam saja kala dua tangan Pak Alam menyentuh tangan-tangannya. Yang satu pada tangan Rana di gagang pisau, satunya di tangan Rana yang pegang bakso.
"Kayak gini ... bisa?"
Rana menciut.
Aduh.
Bisikan Pak Alam nggak ada etika, sampai-sampai telinga Rana merasa dalam bahaya. Deru dapasnya seolah disengaja dibuang di sana, panas menerpa daun kuping milik Ranasya.
Hingga saat Rana menguasai diri, dia berbalik, melepas genggam tangan Pak Alam di dua tangannya yang akan Rana tampar lelaki itu sebagai bentuk protes pun peringatan darinya, tapi ... kenapa? Saat benar berhadapan, jangankan nampar, menatap mata itu saja dia tak sanggup.
Oh ...
"Rana."
Akhirnya Rana mendongak, detik di mana Alam bilang, "Boleh saya peluk?"
***