"Bapak suka sama aku?"
"Belum. Doakan saja semoga nggak."
Sialan!
Terus kalau belum, dan nggak mau suka sama Rana, ngapain minta peluk?!
Ini nih, bakat buaya detected.
Kali ini Rana nggak akan terperangkap, tak akan tinggal diam, sungguh akan Rana semprot tiap kata modus yang Pak Alam berikan pakai ajian nyinyir lada. Rana juga akan mempertinggi dinding pertahanan supaya nggak bisa beliau sentuh semaunya. Enak saja!
Kemarin dia memang nggak berbuat apa-apa karena linglung duluan. Kalau sekarang Rana sudah sadar, sepertinya ada sesuatu di balik sesuatu. Tatapan yang Alam bagi saja sudah semesum itu, bahkan sering kulum-kulum bibir sendiri jika sedang lihat bibir Rana.
Ih, ngeri!
Kalau dibayangkan lagi, memang ngeri. Terus kenapa Rana malah diam saja tadi?! Waktu di dapur dan begitu saja tubuhnya direngkuh.
Lama.
Sampai-sampai sosok Langit yang sedang mengucek mata turun dari tangga, duduk di kursi makan sambil bilang, "Pacarannya bisa ditunda dulu, nggak? Langit laper, Pi."
Yang tersentak cuma Rana.
Langsung mendorong Pak Alam detik itu juga.
Sedangkan Alam? Dia malah tertawa begitu renyahnya seraya berkata, "Maaf, ya. Kak Rana kedinginan tadi."
Ndasmu!
"Loh, kenapa, Ran?"
Tanpa sadar Rana menggebrak meja kerjanya. Dia pun menoleh, mengerjap, lalu minta maaf.
"Ya ampun, saya kira kamu kerasukan," kata teman kantor Rana di tempat magangnya.
Ehm.
Melirik jam, pukul tiga sore. Lihat! Bahkan kejadian di pagi buta bisa membuat Rana kepikiran sampai petang mau datang.
Ah, iya lah! Jelas.
Yang Pak Alam dekap pagi tadi itu tubuh Rana, tubuh yang belum pernah dia biarkan direngkuh pria mana pun selain papanya. Dengan demikian, Rana nggak bisa melupakan tentang rasa dari sebuah pelukan.
Itu hal baru. Di usia 22 tahunnya Rana dipeluk oleh seseorang, dan orang itu adalah lelaki, tepatnya ... duda anak tiga.
Uh. Yang benar saja?!
***
"Pi."
Yang sedang menatap lurus ke depan, di layar 32 inchi-nya, Alam menoleh kepada sang putra yang bilang, "Langit kedinginan."
"Oh ya? Sebentar, Papi kecilin dulu AC-nya."
"Masih dingin."
"Haruskah Papi belikan pemanas ruangan? Ah, tapi Ibu Kota kan sudah panas, Sayang. Kok bisa Langit kedinginan? Demam, ya? Sini Papi cek."
Cemas. Alam pun dekati putra bungsunya. Sementara Guntur dan Awan tidak di sana, mereka pergi main tadi sepulang dari sekolahnya. Lain dengan Langit yang akhir-akhir ini tidak mau keluar kalau bukan ada hal penting selayak sekolah. Langit pun jarang main dan berbaur dengan teman-teman. Sangat jarang, semenjak usianya makin tahun semakin bertambah. Yang tak Alam ambil pusingkan, terserah Langit saja maunya gimana. Dan sekarang keduanya sedang duduk di ruang TV, nonton serial berita terkini (kesukaan Langit), tapi Langit tiba-tiba mengeluh kedinginan.
"Suhunya normal kok," gumam Alam sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Langit.
Sedangkan Langit, dia mendumal. "Papi bohong."
"Bener kok, dahinya nggak panas." Alam masih mengecek suhu tubuh bungsunya. Yang mana sekarang wajah mungil Langit di segala sisinya sudah Alam sentuh, miring kanan, miring kiri. "Normal ini, sama kayak Papi."
Ish.
Sebal.
Langit singkirkan tangan sang Papi.
Membuat Alam terheran-heran sendiri.
"Waktu pagi--"
"Oh!" Alam menyela. Seolah paham, dia meraih putranya seraya berkata, "Bilang dong kalau pengin Papi peluk kayak Kak Rana."
Direngkuhnya tubuh Langit hingga tenggelam seluruhnya di dekapan Alam. Langit memicing, mendongak menatap Papi yang menunduk dan berikan kecup di kening.
"Kenapa?"
"Kak Rana nggak sekalian Papi kecup juga?"
"Boleh, nih?"
Yang Langit cibir. Meski demikian, tangan-tangan mungilnya pun melingkar, balas memeluk papi. Langit menggumam, "Harusnya dari awal Papi bilang, Kak Rana itu pacar, bukan teman. Kalau gitu kan Langit bisa bersikap lebih baik pas dia ajarin matematika perkalian lima dasar."
Alam terkekeh. "Ya kan memang cuma teman."
"Tapi mesra?"
"Eiy!" Alam sentil jidat Langit, pelan.
Pelukan mereka diuraikan.
"Coba kasih tau Langit, nggak akan bilang sama Kak Rana kok. Papi suka ya, sama dia?"
Ya ampun.
Bocah SD tahu apa?!
Alam tertawa di tempatnya.
Seakan lupa pada sosok Langit yang hasil olah otaknya tak seumur dengan usia anak-anak sebaya.
"Kalau suka, bilang aja. Nanti Langit sama Abang-Abang bantu jadi mak comblang."
Duh ...
"Nggak kok." Kayak yang nggak ada cewek lain aja.
Dan, ya ... begitulah. Isi hati Alam Semesta.
Dia mengusap pucuk kepala sang putra. "Jadi, masih kedinginan?"
Bertepatan dengan dering ponsel Alam di meja.
***
Sore itu Rana membuat kopi di dapur kantornya. Mumet. Rasanya pengin meninggal saja, terus terlahir kembali sebagai seorang Dewi, atau reinkarnasi pada zaman kerajaan di mana Rana adalah ratunya, minimal jadi anak bangsawan kesayangan yang esok hari terbangun di ranjang Duke kenamaan.
"Ya elah, Ran. Dicariin dari tadi, eh orangnya ada di sini."
"Ada apa, Mbak?"
Teman kerja Rana, bedanya Rana masih magang.
Liana, itu namanya. "Dipanggil Pak Hardian."
"Waduh ... ada apa, ya?" Perasaan, Rana nggak buat masalah hari ini. Yang dia tinggalkan kopinya. Dipinta Mbak Li.
"Buat gue aja, ya. Lo gampang bikin lagi entar, oke?!"
"Iya, Mbak. Ambil aja udah. Ambil!"
Liana tertawa di tempatnya, meraih kopi dan tinggalkan dapur di sepeninggalan Ranasya.
Well, dalam langkahnya Rana bertanya-tanya. Ada hal apa sehingga pemilik tempat ini mencarinya?
"Kerjaan kamu sudah selesai, Ran?"
Baru saja Rana daratkan bokongnya di kursi depan Pak Hardian. "Sudah, Pak. Tapi mau fotokopi berkas dulu sementara nunggu jam pulang, biar besok tinggal sisanya dilanjutkan."
"Oh ya udah, sok dilanjut. Alam lagi otewe ke sini, penting katanya. Jadi, cepat bereskan biar Alam bisa bawa kamu pulang, ya." Soalnya Alam itu sahabat yang tidak sopan, bagi Hardian. Bisa-bisanya datang seenak jidat ke kantor dan numpang leha-leha di sana. Dia pikir, kantornya ini tempat peristirahatan apa?!
Sayangnya, nggak bisa Hardian tendang. Dia selalu menerima kehadiran Alam dengan lapang. Yeah, mau gimana lagi ...
Untung saja Rana cuma anak magang.
Dan untungnya lagi, Rana yang jadi pusat obsesinya Alam sekarang.
Iya, itu ... untung, kan?
***
"Ada apa ya, Pak?"
"Oh, nggak."
Rana paksakan tersenyum. "Kalau nggak ada apa-apa, sebaiknya jangan kayak gini. Jam operasional kantor Pak Hardian itu dari pukul delapan pagi sampai jam empat sore. Yang lain bisa salah paham kalau lihat anak magang pulang duluan."
"Ya, terima kasih sudah mengingatkan."
Ish!
Jambak manusia itu boleh tidak, sih?!
Tapi lagi nyetir.
Yang hanya bisa Rana tatap dengan sebal.
"Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?"
"Hotel."
Menengang. Rana ucapkan, "Di depan sana ada halte, tolong turunin aku di sana aja, Pak. Terima kasih."
"Kamu pikir saya jemput kamu buat lakuin itu?"
Apa tuh?
Lakuin itu dalam arti 'something di hotel' atau 'turun di halte'?
Sementara di jok belakang, yang Rana lihat, Langit anteng bermain Android sambil menyumpal telinga dengan head phone-nya.
Ini orang tua satu ngadi-ngadi sekali bahas hotel di depan anaknya. Masih kids pula. Rana menatap tajam wajah Pak Alam dari samping gerangan. Yang tak ada ekspresi berarti.
"Coba kasih tau aku, kenapa kita harus ke sana?"
Alam melirik di sela kegiatan mengemudinya. Rana bersedekap.
"Mamanya Langit kangen."
What?!
"Minta ketemu."
Oh, dan lalu ... Rana harus ikut buat jadi obat nyamuk di tengah para mantan yang merindu, begitu?!
***