Hari itu Rana memenuhi janji temu dengan Pak Alam sepulang dari kerjanya. Lokasi yang diberikan pun dekat dengan kantornya.
Rana duduk tepat di hadapan Pak Alam yang sudah di sana. Lelaki itu duduk saja masih kelihatan berkelasnya, cara dia menyesap kafein dari cangkir pun nampak elegan, manly, memancarkan aura orang kaya yang pekat sekali. Bahkan aroma uang terasa menyerebak di tempat yang ada Pak Alamnya. Uh, itu aroma orang berduit menurut Rana. Dan dia jadi merasa kerdil. Apalah dia yang sebatas kerikil.
"Mau pesan apa?"
Eh, Rana nggak ada uang. Dia datang ke sini juga mau nego soal utang. Ehm.
"Ng-nggak usah, Pak. Saya sudah makan dan minum tadi." Alibi. Rana menggaruk pipi, walau memang tidak gatal di sana.
"Sudah ada uangnya?"
Rana meringis, belum menjawab, dan Pak Alam mendahuluinya dengan, "Nggak sampai seratus juta, cukup empat puluh juta saja."
Ya, empat puluh juta. Mendengar kabar itu, Rana harus lega atau menangis? Dikata turun biaya juga Rana masih merasa tercekik.
"Setidaknya cicilan kamu tidak akan sampai seumur hidup." Begitu kata Pak Alam Yang Terhormat. "Tapi saya mau cicilan itu ada mulai sekarang."
"Pak, begini--"
Dipangkas. "Uang yang kemarin sudah habis?"
Kok Bapak tahu? Giliran Rana yang membasahi bibirnya. Gugup. "I-itu ..."
"Gimana mau lunas?" Tatapan Pak Alam menajam sekarang.
Rana berkaca-kaca. "Salah Bapak sendiri yang nggak ambil uang cicilan aku. Ya ... aku kan ... aku ... mau ke toilet sebentar, boleh?"
Pengalihan obrolan. Rana butuh tempat privat demi merangkai kata-kata, di saat yang tidak tepat.
"Mau kabur?"
Rana mencicit, beralasan. "Mau pipis."
Pak Alam melonggarkan dasinya sambil bilang, "Silakan."
Detik itu juga Rana beranjak dengan penuh kehati-hatian. Tanpa tahu bahwa, dari atas ke bawah seorang Rana sedang dipandangi. Hingga Rana datang lagi pun, dia merasa begitu ditatap penuh arti, tapi Rana tidak mau menerjemahkan arti di balik tatapan Pak Alam.
"Nggak ada jalan lain." Pak Alam menggumam pelan. Lelaki yang Rana taksir usianya sekitar tiga puluh tujuh tahunan itu pun meraih cangkir kopinya, menandaskan.
Rana diam belum mau buka mulut. Lama demikian hingga Rana refleks mencicit, "Pak ..."
Raut wajah Rana bersungguh-sungguh memohon. Tetapi dari tadi bibir Pak Alam tak ada pergerakan, matanya juga hanya menatap Rana dengan tenang, beda dengan Rana yang kalut hingga frustrasi. Ini soal empat puluh juta, hidup Rana, dan kalimat meresahkan yang Pak Alam sebut tadi meski hanya sekali.
"Pak--"
"Oke."
Eh?
Apanya yang oke? Tadi Rana bicara banyak sekali. Ah, atau bahkan Rana tidak mengucapkan sesuatu yang bermakna sama sekali. Dan Pak Alam bilang oke untuk ucapan Rana yang mana?
"Tadi ... oke untuk kalimat aku yang mana, Pak?" Rana pertanyakan. Saat itu juga Rana dapat jawaban, yakni, "Bekerja untuk saya, tidak perlu seumur hidup. Cukup dengan sepenuh hati, bisa? Karena ini menyangkut Kesayangan saya."
Satu. Kerja apa?
Rana mengerjap.
"Bisa nggak bisa harus bisa, sih," gumam Alam.
Dua. Kapan waktunya? Sedangkan Rana adalah karyawan magang yang juga seorang mahasiswa tingkat akhir di kampusnya.
“Kamu diam, saya anggap deal.”
Rana terkesiap. "Baiklah.... Asal nggak masuk penjara atau bayar empat puluh juta dalam waktu singkat, ya senggaknya nanti sambil nyicil, begitu lunas saya akan undur diri. Deal?"
Rana pun negosiasi. Pak Alam mengangguk. Mengeluarkan KTP Rana, lalu difoto sebelum berikutnya dikembalikan.
"Oh iya, tapi saya kerja apa dulu nih, Pak?"
"Mendidik anak-anak saya."
"Gimana?"
"Nanti saya jelaskan di pertemuan berikutnya."
Ah, tapi Rana butuh kepastian. "Maksud Bapak, saya jadi guru les anak-anak Bapak begitu?"
Rana pun melihat kepala Pak Alam naik turun secara lambat. Yang Rana ikuti tanda setuju. Kayaknya dia mampu, mengingat riwayat pendidikannya yang oke.
"Ya sudah, itu saja. Besok kamu siap-siap. Pulang ngantor, saya jemput."
Lho?
"Jemput?"
Pak Alam membenahkan dasinya, menatap Rana dengan tatapan penuh makna seperti biasa.
"Iya, besok kita ke rumah orang tua kamu."
Kok bawa-bawa orang tua?! "Untuk apa ya, Pak?"
Izin mau menjadikan putrinya sebagai babu, kah? Eh, maksudnya sebagai guru les anak-anak beliau. Yang akhirnya Rana simpulkan: Kesayangan yang dimaksud Pak Alam adalah ibu dari anak-anak gerangan.
"Ada lah."
"Serius nanya, Pak. Buat apa?"
"Lamaran."
Kok lamaran? Di sini Rana yang mau bekerja, kan? Perlu lamaran? Rana bingung. Kalau pun iya, bukannya Rana yang harus melamar?
Dan Rana tersedak liurnya begitu mendengar kelengkapan jawaban dari Pak Alam Yang Terhormat. Katanya, "Saya akan melamar kamu."
"Hah?"
Heh, hoh!
Kali ini Pak Alam menatap datar perempuan di depannya. Semakin membuat Rana linglung dengan kalimat-kalimat berikutnya.
"Saya tiga puluh delapan tahun."
Jadi bukan tiga puluh tujuh?!
Tapi, memangnya Rana nanya? Kan nggak!
"Sudah menikah."
Suami orang, maksudnya?! Batin Rana nggak mau diam.
"Dan kami bercerai lima tahun lalu."
Oh! Duda cerai, gitu?
Tunggu dulu!
Bentar!
Ini otak Rana beserta saraf-sarafnya mendadak menjelimet seperti benang kusut. Mata pun setia membola, bibir terbuka sedikit, agaknya dia setercengang itu.
"Me ... lamar?" Tanpa sadar Rana memastikan pendengarannya. "Melamar saya?"
Ya.
"Ranasya Zhagat Raya, menikahlah dengan saya."
"What?"
Masih hiperbolis ekspresinya. Rana amat sangat tercengang. Jadi, harap dimaklumi.
Ini ... cerita macam apa?!
Jangan-jangan titisan Istri Satu Juta Dolar karya Lolly, seperti kisah yang pernah Rana baca di dunia Kuda Poni!
Tolong, bawa Rana kepada kerang ajaibnya Spongebob untuk bertanya, "Bapak bercanda?"
"Tidak."
Bukan kerang ajaib yang menjawab, tetapi Pak Alamnya langsung. Lelaki itu melirik arloji.
Oh, iya! Pak Alam kan sudah punya kesayangan. Cuma kok--
"Tapi bohong."
Ow shiiit!
Mulut Rana terbuka lebar. Dengan raut datarnya Pak Alam bicara demikian: Tapi bohong ...?
Hell!
Sialan. Agaknya respons Rana tercengang itu wajar, kan?
"Ya sudah, itu saja. Besok saya jemput."
"Pak!"
Sudah hengkang.
Rana membenturkan keningnya ke meja. Mendadak bodoh di sana. Serius nanya, ini cerita macam apa?!
***
Namanya Alam Semesta, putra tunggal dari pasangan Rinjani Pratiwi dan Bromo Wijaya. Mereka sudah berpisah lama akibat Tuhan memerintah malaikat pencabut nyawa untuk mengambil salah satunya. Lain hal dengan rumah tangga Alam yang berpisah karena sudah tak sanggup pertahankan hubungan. Dia pun bercerai dengan istri--ralat--yang sudah jadi mantan, sejak lima tahun lalu (kurang lebih). Wanita yang memberikan tiga orang putra sebagai teman hidup Alam 38 menuju usia ketiga puluh sembilannya. Yakni:
Awan Putra Semesta sering bertanya, "Apa kabar, Pi? Masih jomblo?"
Itu adalah sambutan yang sama untuk Alam di saat kaki menginjak marmer rumahnya.
"Seperti biasa." Jawaban ayah tiga anak itu selalu sama. Ya, memang begitu. Seperti biasa.
Guntur Dwi Semesta juga selalu bertanya, "Kira-kira, kapan di rumah kita ada betina?"
Alam mengulurkan tangan kepada putra-putranya yang selalu mencium tangan dia. Dan tak pernah tinggal, pertanyaan terkait: Mami untuk Papi.
Alam tersenyum saja.
Hingga Langit Tri Semesta pun mengatakan di tiap kali Alam hendak bepergian. Katanya, "Jangan lupa, pulangnya bawakan pesanan Langit."
Dan kalian tahu apa itu?
Ya, tentu saja.
"Langit mau Mami yang berbudi pekerti, lahir di tanah ibu pertiwi, dengan high quality, dan kasihnya sehangat matahari menyinari bumi."
Singkatnya, mereka kompak membuat satu permintaan yang berbunyi: "Carikan kami Mami yang berkualitas tinggi."
"Dan tolong jangan ngulur-ngulur waktu lagi. Langit tau Papi ganteng, tapi kalo Papi keburu keriput, apa kata para kandidat Mami kami nanti?"
Uh, yeah ...
Alam senyumi saja.
Datang dan perginya Alam dari rumah itu disuguhkan dengan kalimat bermakna tunggal. Mereka minta diberikan mami, ibu sambung setelah perceraian Alam dengan mama mereka.
Ah, dulu panggilan anak-anak kepadanya bukan papi, tapi papa. Iya, mama-papa. Hanya saja, setelah menduda, mereka kompak mengubah nama panggilan. Nggak tahu apa faedahnya, Alam ikuti saja maunya anak-anak.
Lalu saat ini, sepulang kerja, Alam duduk manis di sofa ruang keluarga. Tepat di sebelah Langit.
"Pi, ayolah ... Langit nggak bisa diginiin!"
"Diginiin gimana?" Masih setia dengan raut datarnya. Memandang si Bungsu yang uring-uringan di sana.
"Langit terlanjur pamer sama temen, udah sombong duluan bilang kalau Langit juga otewe punya Mami. Bayangin! Mau disimpan di mana muka Langit kalo nyatanya Papi masih jomblo kayak gini?!"
Suara tersedak pun mengudara. Yang batuk bukan papi mereka. Melainkan Guntur, kakak kedua Langit. Sementara bocah sembilan tahun itu nampak tidak peduli pada batuk kakaknya.
"Papi~" Langit merengek. Ayolah, dia cuma mau punya mami. Itu saja. Kenapa sulit papi kabulkan? "Katanya Papi ganteng."
"Terus sekarang Langit ragu?" Masih kalem. Alam menikmati salad buahnya di meja. Kalau malam, dia suka ngemil itu.
"Nggak sih, kalo nggak ganteng, nggak mungkin anaknya kayak Langit." Sepercaya diri itu memang, Langit Tri Semesta. Bocah sembilan tahun yang terbilang istimewa bagi Alam.
Lama Langit merengek yang Alam abaikan. Selalu soal mami. Anak-anak rungsing sekali. Padahal, yang jadi dudanya saja kalem maksimal. Sekalipun anak kompak mengompori dengan:
"Mama udah punya pasangan, masa Papi belum?"
Agak-agak kurang asem.
Langit pikir papinya masih jomblo, ya memang jomblo, dan mungkin gagal move on. Dan Langit paham di luar kepala apa itu arti dari jomblo berikut gagal move on-nya. Well, bukan hanya Langit yang istimewa, tetapi satu keluarga yakni terdiri dari Alam berikut tiga krucilnya mereka istimewa dalam hal menanggapi peretakkan rumah tangga.
Oh, itu tidak instan. Ada proses menuju ke sana. Yang nanti akan Alam ceritakan.
Harusnya ada adegan kunyahan buah di dalam mulut itu menyembur, terkejut, ketika anak berusia sembilan tahunnya bicara demikian. Tapi, Alam tidak. Ini sudah biasa. Dia makan dengan tenang hingga perjalanan salad buah menuju lambungnya pun selamat sentosa tanpa ada kecelakaan sembur menyembur apalagi tersedak. Cukup di Guntur saja yang lebay.
"Sebenernya apa alasan Papi betah ngejomblo? Bang Guntur aja udah punya pasangan." Langit sedang uring-uringan.
Membuat Guntur melotot dan Awan bertindak. Dia dekati papinya, membawa ponsel, lalu tunjukkan foto perempuan.
"Cantik." Komentar Alam.
Langit segera beringsut, mendekat, hingga duduk di pangkuan sang Papi. Awan mengangguk mantap di detik Guntur ikut merapat. "Oke. Udah Awan kirim kontaknya di w******p, Papi tinggal say hallo aja."
"Bukannya itu Ibu Lala guru IPA kita ya, Bang?"
"Yoi," jawab Awan atas pertanyaan Guntur di sebelahnya. Alam sih diam saja. Istilah sundanya mah ... keun wae lah kumaha barudak, asal anteng.
"Sebenarnya yang kemarin Guntur tunjukkin juga cantik." Ah, tapi Alam mulai iseng.
"Bu Ros?"
"Yang anterin Langit ke rumah waktu Papi lembur juga cantik."
"Itu Mbak Ayu, kakaknya temen main Langit."
"Iya, cantik."
"Papi bilang cantik ke semua perempuan," sahut Awan. Putra sulung dari seorang Alam Semesta. Dia SMP kelas tiga.
"Karena memang mereka cantik, kan?"
"Papi suka?"
"Terus Papi mau yang mana? Asal jangan Mbak Ayu, itu kan masih sekolah."
"Satu aja," imbuh Awan setelah kalimat tanya Guntur dan Langit.
Alam mengusap kepala si Bungsu. "Nggak minat, Sayang."
Hari itu, malam tepatnya, keluarga kecil Alam berkumpul di ruang keluarga. Awan sodorkan ipad-nya di hadapan sang Papi. Menampilkan foto profil guru SMP-nya di layar, siapa tahu Papi beneran minat. Lumayan, siapa tahu 'lagi' di kelas nanti bisa nego nilai sama Bu Lala. Namun, sayangnya, sudah dijawab ... tidak.
"Papi nggak bosen ya, jadi duda?"
"Langit aja bosen nggak punya Mami."
"Kalau malam nggak ada yang ngelus."
Ketiga putranya serempak membuang napas berat. Seolah beban suami tanpa istri dan membesarkan tiga orang putra itu ada pada mereka. Alam yang jadi tokoh utama saja tetap tenang di posisinya. Mengunyah dengan santai sambil melihat wajah lesu anak-anaknya. Serius, kegalauan terberat dari tiga orang anak itu bukan soal riwayat broken home yang mereka sandang, tapi soal status Papi yang didahului oleh Mami.
"Pi, coba dilihat-lihat lagi. Ini Ibu Lala loh, banyak temen Awan yang suka sama dia."
"Mungkin karena cantik?" Alam melegut minumannya.
"Iya. Dan Papi nggak suka? Nggak berubah pikiran? Bu Lala loh, ini." Guntur ikutan promosi seakan yang namanya Lala, salah satu guru di sekolah mereka, adalah makhluk Tuhan yang paling menawan dan sangat tidak boleh dilewatkan, apalagi cuma dilirik sekali pandang.
"Langit suka?" Alam memprioritaskan anak bungsunya untuk urusan kandidat mami mereka.
Bocah itu mengangguk. Daripada di rumah ini nggak ada betina, sepi. Nggak ada yang suka ngomel dan masak pagi-pagi di dapur. Jujur, Langit bosan lihat papi yang terlalu mandiri.
"Kalo Papi kurang srek sama Ibu Lala, coba sama Ibu Nur." Siapa lagi kalau bukan Awan?
Guntur jadi semakin ikutan comel terkait perjodohan ini, tak mau kalah dengan Awan yang kian di depan. "Kalo Papi nolak, jangan salahin Guntur yang jadi curiga."
Alam menaikkan satu alisnya. "Curiga gimana?"
Mereka tidak mengira bahwa papinya berteleportasi jadi homo, kan? Nggak loh, ya. Alam masih suka betina, terlepas dari kehangatan ranjang yang sudah lama tak teraba.
"Papi belum move on dari Mama, kan? Kalo bener, bilang. Nanti Guntur bantu sampai kalian rujuk apa pun caranya."
Oh, Alam Semesta. Si duda anak tiga, yang dinilai meresahkan oleh anak-anaknya hingga mereka mengerahkan segala cara agar papi membawakan betina ke hadapan mereka.
Lantas, ke mana Alam harus mencari mami yang potensial untuk tiga krucilnya ini? Agar mereka percaya bahwa Alam sudah tak lagi serasa dengan mama mereka.
Ayolah, Alam ini duren sawit mateng. Duda keren sarang duit mapan ganteng. Modal awal untuk mendapatkan wanita, tetapi sampai detik ini ... menurut anak-anaknya, papi mereka masih jomlo saja!
"Pi."
"Hm?"
"Papi masih suka betina, kan?"
***