Awalnya Langit, putra Alam nomor 3 alias si bungsu yang kemampuan otaknya di luar nalar, bangga punya Papi ganteng seakan nggak ada saingan. Sebab seluruh ayah dari teman-temannya berwajah biasa saja, bahkan di bawah standar tampan versi Langit. Namun, mengingat bahwa ayah dari teman-temannya itu punya istri, sementara Papi tidak, parahnya jomblo sambil ngeduda, Langit kecewa.
Kenapa Papi ganteng tapi nggak punya pasangan? Kenapa Papi tampan tapi hidup sendirian? Kasihan, terkadang Langit miris kalau lihat Papi sementara kakak kelas langit di SD bahkan ada yang sudah pergi berkencan.
Sejujurnya, Langit prihatin. Ketampanan Papi tidak ada harga dirinya lagi kalau jomblo ceritanya. Langit capek lihat Papi yang super mandiri sampai-sampai selain menjadi 'ayah' untuk Langit dan abang-abangnya, Papi juga rangkap ambil peran ibu, super capek. Kayak nggak ada pesonanya gitu.
Langit pikir, Papi nggak laku.
Valid.
Dia pun berunding dengan Bang Awan dan Bang Guntur.
"Gimana?"
"Jadi, maksudnya kita kerjasama cariin jodoh buat Papi?" tanya Guntur memastikan ide brilian adik bungsunya.
"Iya, Bang. Langit nggak bisa lihat Papi lebih ngenes dari ini."
"Setuju." Awan manggut-manggut. "Uang Papi banyak, tapi nggak pernah foya-foya."
"Yap, sama aja kayak wajah limited editionnya. Nggak manfaat karena gak punya pacar kayak temen-temen Langit di sekolah."
"Terus kita mau mulai dari mana?" Guntur kembali bersuara.
Mumpung Papi masih kerja. Yeah, walau kerjanya di rumah dan di lantai atas. Papi mereka sedang mengadakan siaran langsung ala-ala motivator di media sosial. Maka, malam itu anak-anak Papi kumpul di kamar Bang Awan membicarakan masalah krusial terkait Mami untuk Papi.
"Pertama-tama, kita pikirkan kriterianya." Langit mulai atur strategi. Jangan dikata usia 9 tahun membuatnya tak paham tentang ini.
Serius, Langit berbeda.
"Cantik?" ujar Guntur.
"Pasti sih, harus. Ah, tapi semua yang cantik udah Papi tolak." Awan usap-usap dagunya, berpikir.
"Apa Papi suka perempuan di bawah standar kencantikan kita?"
"Mungkin Papi suka yang imut?" Awan lagi-lagi ajukan argumentasinya.
"Semua adik kelas Langit imut, tapi nggak bisa karena belum cukup umur."
Guntur tertawa, pun Awan mengikuti suara tawanya. Lalu mereka kembali berembuk. Super serius sampai-sampai atmosfer sudah seperti para pemegang saham dalam ruang rapat di sebuah perusahaan.
Sampai kemudian Alam pun datang, membuka pintu kamar Awan, yang mana dia melihat ketiga putranya sedang terlelap bersama di atas ranjang.
Larut.
Alam lihat jam dinding menunjukkan pukul sebelas, nyaris tengah malam. Yang dia dekati. Lalu mengambil Langit untuk dia pindahkan ke kamarnya sendiri. Biarkan Guntur tidur bersama Awan, sudah Alam selimuti mereka. Kalau Langit, sebaiknya Alam amankan, sebab bungsunya ini kalau tidur sudah seperti jarum jam. Kasihan nanti abang - abangnya bisa encok di esok hari.
Well, sebelum benar-benar hengkang. Mata tajam Alam melihat sebuah buku terbuka di dekat anak-anaknya. Yang mana saat itu Alam membaca tulisan tangan yang berisi ...
'Projek 1: Mami Potensial untuk Papi'.
Ya ampun.
Ada-ada saja. Dan Alam membiarkannya.
***
Dulu ...
"Anak-anak jangan sampai tau. Mereka bisa membenci kamu kalau dengar ibunya ada main dengan pasangan baru."
"Dan kamu nggak cemburu?"
Alam hentikan gerakan tangannya, dia sedang membuat kopi hitam rendah gula. Mengaduk isi gelasnya. Saat ini. Dia mengingat kejadian yang lalu.
Ah, pagi hari ...
Tak terasa jarum hidup berjalan secepat ini. Alam sudah rapi dengan pakaian super bossy-nya. Kemeja lengan panjang dipadukan celana licin warna hitam.
Sementara anak-anak baru saja berdatangan mengisi ruang makan, yang mana letaknya dekat dapur tempat Alam menuang kopi paginya.
Lagi pengin isi lambung dengan kafein.
"Morning, Papi!" Langit menghampiri. Alam spontan membungkuk, yang mana saat itu pipinya dikecup si bungsu.
"Sarapan apa hari ini?" Awan bertanya sambil duduk di kursi, menguap. Matanya masih merem melek lengket belum ikhlas lepas dari tidurnya.
Lain hal dengan Guntur, lelaki itu sudah cuci muka dan sikat gigi, paling segar di antara saudaranya. Duduk manis menunggu sarapan buatan Papi.
"Kali ini kita sarapan di luar, yuk."
"Ide bagus. Awan lagi pengin cuti makan masakan Papi." Bergegas dia menuju kamar mandi.
"Langit juga, udah bosen makan sayuran terus. Hidup sehat dengan mode vegetarian memang baik, tapi kalori juga dibutuhkan. Kayaknya Papi lupa pelajaran biologi sewaktu sekolah dulu."
Ya, ya, ya, Alam tersenyum saja.
"Kita mau makan di mana, nih?"
"Siap-siap aja dulu, sekalian nanti Papi antarkan ke sekolah."
"YEAY!"
Langit paling senang kalau sudah begini. Anak-anak pun bubar jalan mempersiapkan diri.
Ah iya ...
Detik itu, Alam ronggoh ponselnya.
Waktu di mana dia bilang, "Sudah bangun?"
Ini masih jam lima.
Suara lenguhan khas bangun tidur terdengar dari seberang sana. Adalah saat kontak atas nama Ranasya Zhagat Raya mengangkat panggilannya.
"Bangun," katanya. Alam berdiri di depan meja dapur dengan tangan kanan memegang ponsel dan ditempelkan ke telinga, sementara tangan kirinya masuk pada kantong celana.
"Hm ..."
"Siap-siap, ya. Tiga puluh menitan lagi saya sampai di sana."
"Iya."
Yang mana di lain tempat, Rana masih terpejam. Terbawa arus bawah sadarnya. Tapi dia merespons tiap kata yang datang.
Ah, tidak.
Alam meralat. "Dua puluh menit. Sampai ketemu di tempat kamu. Saya tutup teleponnya."
"Siapa, Pi?"
Terkesiap, seharusnya. Tapi nyatanya Alam biasa saja. Dia masukkan kembali ponsel ke saku celana. Menatap kalem Guntur Dwi Semesta.
"Temen."
"Perempuan?" Langit tiba-tiba datang.
Alam mengangguk, dia pun menggiring anak-anak menuju mobilnya di setelah Awan muncul sambil bilang, "Alhamdulillah."
***
Di mobil, dalam perjalanan.
"Dia cantik?" tanya Awan. Duduknya di depan, sebelah kemudi.
"Biasa saja." Alam kalem seraya fokus menyetir.
"Oke. Berarti cantik." Langit ambil kesimpulan. "Karena biasanya Papi bakal jawab, 'cantik', semua perempuan itu cantik, kan? Tapi sekarang lain untuk pertama kalinya."
Membuat Alam terkekeh akibat asumsi ngaco putra bungsunya yang disetujui oleh dua Semesta lainnya: Awan dan Guntur, tentu saja.
Well, Langit minta duduk di belakang sama Bang Guntur. Tetap, dia mendengarkan.
"Papi suka?"
Alam makin terkekeh. Ingat pada catatan di buku anaknya semalam. "Papi tahu ada yang sedang kalian rencanakan."
"Fix, suka." Ini Guntur. Dia menambahkan argumennya. "Papi biasanya jawab iya atau nggak, jawaban pasti. Tapi sekarang, beda."
"Loh? Ada yang begitu?"
"Iya, Papi yang begitu." Langit seserver sama kakaknya.
Alam pun menggeleng. "Kalian ada-ada saja."
"Oke. Jadi sekarang kita mau makan di mana?" Awan sudah keroncongan, tapi kayaknya masih belum sampai di resto tujuan.
"Sebentar ya, kita ke rumah temen Papi dulu."
"Alhamdulillah." Setelah Awan, sekarang Guntur. Dia bersyukur.
Tentu, Langit juga. Dia bahkan berdoa. "Semoga teman Papi cukup potensial untuk jadi mami kita."
Astaga.
Haruskah Alam aminkan?
***