Mobil berhenti tepat di pekarangan rumah Ranasya. Warnanya biru mencolok, mengundang tatap tiap mata bahkan para tetangga yang bersemayam di dalam rumahnya, beberapa ada yang keluar begitu sosok Rana turun dari sana.
Ah, tidak.
Bukan Rana yang jadi pusat perhatian.
Melainkan Alam Semesta, jas mahal membalut tubuh atletisnya. Tinggi dan gagah di penglihatan nampak seperti model parfum orang dewasa.
Wah ... bahkan Rana baru menyadarinya. Usia tiga puluh delapan tahun milik Pak Alam seolah hanya kamuflase belaka. Tak nampak seperti pria beranak tiga. Oh, tolong!
Rana berdecak kagum di langkahnya, yang mana dia berjalan mengekori Pak Alam yang ... tunggu!
Ini mereka mau berkunjung ke kediaman orang tua Rana, tapi kenapa Pak Alam yang memimpin jalannya?
"Assalamualaikum."
Terlambat.
Salam itu sudah dikumandang.
Rana hanya berdiri pasrah di sebelahnya, sesekali melirik Pak Alam yang betul tinggi menjulang. Rana mah apa atuh! Minum susuu tiap hari saja tak bantu membuat tubuhnya tinggi ke atas, tetap saja tingginya hanya sebatas dadaa lelaki di sebelahnya ini.
"Waalaikumsalam. Siapa ... loh, Rana?" Ibu keluar dan langsung melihat putrinya. "Pintunya kebuka kok nggak langsung disuruh masuk aja temannya?"
Untuk Rana.
Jujur, Rana saja masih bingung kenapa dia 'bingung'?
Ah, nggak tahu.
"Silakan, Dek. Silakan masuk!"
Dek?
What the hell, Moms? Ini kuping Rana nggak salah dengar, kan? Ibunya panggil Pak Alam dengan sebutan "Dek", belum tahu saja berapa jumlah usianya. Ya, kan! Wajah dan perawakan Pak Alam menipu jagat raya!
"Silakan duduk."
"Ah, iya ... terima kasih."
Dan Rana tanpa disuruh dia ngeluyur menuju dapur, menuang teh hangat untuk sesuguhan kepada tamunya. Membiarkan ibu yang menemani Pak Alam di sana. Entah deh, Rana keburu pusing duluan mau mengira-ngira obrolan apa yang akan mereka cipta.
"Ini, Pak. Diminum tehnya."
"Ya, terima kasih. Tapi saya lebih suka kopi."
"Oh?" Rana mengerjap. "Baik."
"Yang rendah gula, ya. Gulanya sedikit saja."
Di depan ibu bahkan Mr. Alam YTH berani tawar menawar begitu, oh yang benar saja?! Rana pun bangkit kembali membawa cangkir tehnya, mungkin lain waktu kalau Pak Alam bertamu lagi Rana harus tanyakan dulu minumnya apa? Seolah duduknya beliau saat ini bukan di rumah orang, tapi di warung pinggiran.
Syaland!
Alam pun tersenyum sopan kepada sosok ibu Rana yang masih ... oh, wow? Mungkin beliau sama syoknya dengan Rana.
"Silakan, Pak. Kopi rendah gulanya."
Kembali Rana letakkan itu di meja. Sekarang cangkir ibu dan miliknya ditemani gelas kopi punya gerangan.
Lagi, Alam tersenyum. "Ya, terima kasih. Saya minum kopinya."
"Oh iya, silakan, silakan." Ibu pun menatap Rana. "Coba belikan kue di warung sebelah untuk teman ngopi Dek Alam."
"Bu, beliau tiga puluh delapan tahun loh." Pelan, meski demikian dua orang di sana tetap mendengar.
Alam letakkan kopinya, sedangkan ibu ... "Oh, ya? Nggak kelihatan. Seperti masih awal tiga puluhan."
Artinya!
"Bukan teman Rana, toh?"
"Saya bosnya."
Astagfirullah!
"Ya ampun, maaf. Aduh, Rana kok diem aja. Ayo belikan kue!"
Ya, ya, ya. Padahal Rana baru mau duduk di sana.
"Nggak apa-apa, Bu--"
"Nggak apa-apa juga, Pak Bos. Maaf, ya. Seadanya."
"Terima kasih."
Ibu kikuk di tempatnya. Tak lama, Rana pun duduk di antara mereka. Dia harus tahu apa yang akan Pak Alam bahas kepada ibunya, kan?
Meski sesungguhnya pinggang pegal minta direbahkan. Perjalanan yang cukup memakan waktu meski hanya beberapa jam saja, tetap inginnya begitu tiba di rumah Rana pengin langsung nempel di kasur.
"Nggak usah pakai toples ya, Pak. Begini saja. Mangga, ditampi kuenya."
Apa, tuh?
Alam nggak paham makna dibalik kalimat terakhir milik Ranasya.
Yang mana sosoknya di tegur langsung oleh ibu, "Yang sopan kamu, Ran, sama atasan."
Rana senyum tiga jari.
"Nggak masalah, Bu. Ada tidaknya toples tidak membuat cita rasa di kue ini berkurang."
Ahahaha!
Garingnya tawa Rana.
Dan hanya dia yang tertawa. Ehm.
"Jadi, ada hal apa Pak Bos kemari?"
"Ah ya, panggil Dek saja seperti tadi. Pak Bos terlalu kaku."
Rana mengerling di tiap kesempatan. Sementara ibu?
"Memangnya tak apa? Tadinya Ibu kira teman Rana, pertama kali bawa lelaki ke rumah ini. Maaf ya, sempat mengira ada suatu hal istimewa juga. Makanya, Ibu panggil 'Dek' pun kiranya bukan tiga puluh delapan apalagi atasannya."
Ya kan, lagian Bos mana coba yang mau jauh-jauh datang ke rumah babunya? Eh! Iya, kan? Kata lain dari pegawainya.
Rana legut teh hangat buatannya sambil mendengarkan khidmat antara ibu dan Pak Alam Semesta.
"Begini, Bu. Kedatangan saya ke sini mau memberitahu kalau sejak hari ini Rana mulai bekerja di tempat saya."
"Ah, iya ..."
Ibu juga baru dengar ada bos yang datang secara pribadi ke kediaman orang tua karyawannya di hari pertama beliau merekrut pegawai tersebut.
"Dan saya mau memberitahukan sekaligus izin, walau tanpa izin pun, Rana tetap akan tinggal di rumah saya selama masa kerjanya."
Loh?
"Gimana?"
Nah, ini nih ... ini.
Rana melirik ibu dan Pak Alam secara bergantian.
"Iya, Bu. Jadi, Rana tinggal di rumah saya. Memang Rana kerjanya hanya mendidik anak-anak saya saja--"
"Sudah punya anak, toh."
"Ah, iya. Ada tiga."
"MasyaAllah ..."
Alam senyum.
"Terus istrinya gimana kalau Rana tinggal di rumah Nak Alam? Apa nggak keberatan?" Ibu nih yang keberatan. Bisa kena skandal tinggal di rumah suami orang kan putrinya. Aduh--
"Kami sudah bercerai."
Oh?
Ibu terkesiap. "Maaf."
Merasa tak enak.
Sedangkan Alam terkekeh santai. "Sudah lama kok, Bu. Tidak apa-apa. Dan saya membutuhkan Rana untuk bantu mengajar tiga bujang saya di rumah."
"Memang anaknya usia berapa, Nak?"
"Yang dua sudah SMP, satunya sembilan tahun masih SD."
Mengangguk.
Biarkan Rana jadi taii di sana, dilalatin, diangin-angin.
"Apa harus tinggal di rumah?" Ibu meringis. "Bukannya apa-apa loh, Nak. Tapi kan ..."
Ya, begitulah.
Alam paham.
"Waktu belajar anak-anak saya biasanya malam, Bu. Otomatis Rana mengajar pun saat itu. Rasanya akan lebih baik kalau Rana selama masa kerjanya tinggal di rumah saya dulu."
"Begitu, ya..."
Alam senyum lagi.
"Tapi di rumahnya benar nggak sendiri terus jadi berdua saja dengan Rana, kan?"
"Iya, tenang saja. Di rumah ada empat orang termasuk saya, lima kalau sama Rana. Pun, ART sering datang untuk berbenah rumah kami. Ibu tidak perlu khawatir, saya pun tidak akan macam-macam sama anak gadis ibu."
Iya sih.
Rana juga sepaham sama omongan Pak Alam yang itu.
Tapi why ... nggak bilang saja kepada ibu bahwa Rana terpaksa kerja di rumahnya oleh sebab hutang 40 juta?
Ah, nggak deh!
Jangan sampai tahu.
Bisa-bisa Rana dibuat bacem selayak tempe di atas kompornya.
Haduh.
"Rana, memangnya nggak ada pekerjaan lain, ya?"
Ibu tentu khawatir kan putrinya.
Iya, lah!
Tentu.
Duda loh ini, duda.
Kebanyakan yang statusnya 'duda' itu ... ganas, kan? Ibu mana tega.
Yang mana Rana tersenyum di sana. Oke, baik! Ini saatnya. "Ibu tenang aja, Pak Alam aman kok. Buktinya sekarang datang ke sini, buka-bukaan sama Ibu. Jadi, jangan khawatir. Soalnya Rana memang harus kerja di sana, Bu."
"Ada apa memangnya?" Ibu alihkan menatap Alam. "Anu ... Nak Alam, Rana kan masih mahasiswa. Apa tidak sebaiknya cari tenaga pendidik lain saja yang sudah bersertifikat dan layak untuk mengajar anak-anak?"
Nggak masuk akal soalnya.
Nggak masuk akal.
Biar dikata lahir di kampung, sekolah hanya tamatan SMP, tapi paham kalau kedatangan 'Bos' Rana dan soal pekerjaan putrinya dirasa tak logis maksimal.
Ah ...
"Rana punya utang sama Pak Alam."
"Ran--!"
"Empat puluh juta, Bu."
Bahkan kalimat Alam tak diindahkan.
Astagfirullah.
Pada akhirnya Rana bocorkan. Dan ibu terperangah. Teramat butuh penjelasan. Ya Allah ...
"Jadi, Rana harus kerja di sana selama Rana belum bisa lunasi utangnya. Waktu itu Rana sempat rusakin ..."
Semuanya.
Rana paparkan segala hal yang telah terjadi hingga dia harus terikat ikatan formal selayak bos dan pekerjanya bersama sosok Alam Semesta.
Begitulah kisahnya.
Awal mula di mana 'sebelum' seorang Ranasya Zhagat Raya berdiri di sana, di depan sebuah rumah mewah kepunyaan Alam Semesta.
Hari itu ...
"Selamat datang. Anggap saja rumah sendiri dan tolong akur dengan tiga kesayangan saya ini."
Adalah waktu di mana Rana disuguhi tiga tatapan yang sulit didefinisi dari ketiga putra Alam Semesta.
Oh, my Lord!
Demi empat puluh jutanya.
"Ha-halo ... ketemu lagi ya, kita?"
***