Konon, Papi ada keperluan mendesak di luar kota hingga hari ini Langit, Awan, dan Guntrur pulangnya dijemput Pak supir.
Awan tahu itu hanya alasan umumnya saja, mengingat perginya Papi saat pagi tadi tidak seorang diri melainkan bersama mahasiswa cantik yang Papi kenalkan sebagai 'teman'.
Yeah, tentunya Langit tidak percaya. Berdasarkan data hasil analisis dari jurnal kuantitatif yang dia baca dan mengangkat tema: "Persentase Keberhasilan Pertemanan Antara Pria dan Wanita Dewasa" adalah 99,999% ujungnya baper. 35% saling suka, lalu jadian. 64% cinta sepihak baik dari golongan Hawa maupun Adam. Dan 0,999% keberhasilan dari persentase pertemanan tersebut.
Sekecil itu.
Jadi, kesimpulannya yaitu: Kemungkinan Papi dan mahasiswa cantik tersebut akan tarik menarik, atau ... mentok di salah satunya saja perasaan netral itu berubah jadi cinta luar biasa.
0,999% merupakan angka kemustahilan menurut Langit setelah dia perhitungkan. Papi Langit itu tampan, perempuan mana saja bisa dengan mudahnya jatuh hati, tak pandang berapa total usia yang Papi miliki, pun berapa banyak anak yang telah Papi hasilkan bersama Mami 'terdahulu'. Mau duda ataupun tidak, papinya Langit ini valid mempesona. Apalagi sekarang sedang 'tersedia', kan?
C'mon!
Available papinya. Tidak sedang official dengan siapa-siapa.
Woyajelas! Tingkat perempuan bisa naksir ke Papi itu tinggi persentasenya. Sebab wajah dan keterampilan fisik adalah pelet bagi lawan jenisnya, didukung oleh dompet tebal Papi punya!
Beuh!
"Kelepek-kelepek lah tuh mahasiswa," kata Langit mengakhiri penjabarannya.
Awan manggut-manggut sepemikiran.
Sedang Guntur terdiam masih menganalisa sendiri di otak kecilnya.
Oh ya, tentang Langit, awal-awal Guntur dan Awan sempat mencemburui kemampuan bungsu mereka. Langit bukan sekadar cerdas, tapi dia jenius. Dua kakaknya seketika kalah pintar, andai Langit mau ... dia bisa saja saat ini duduk di bangku SMA. Sayangnya, Langit mau yang normal-normal saja.
"Oke ..." Gantian Guntur yang bicara. "Setuju sama Langit, tapi ada tambahan sedikit."
Guntur maju menggantikan posisi adik bungsunya di depan papan tulis kecil kamar Langit Tri Semesta. Ya, mereka berembuk di sana.
Perihal jodoh untuk Papi itu important bagi mereka. Dan menjadikan Papi sebagai titik bahasan mereka adalah kesehariannya. Tiada hari tanpa membicarakan Papi, rasanya kurang afdol dalam menjalani hidup.
Begitulah kira-kira.
Guntur buat peta konsep di papan tulis putih dengan spidol hitamnya.
"Nah, liat ini."
Potensi-potensi yang dimiliki 'Kakak' mahasiswa yang katanya teman dari Papi mereka.
"Cantik, muda, muda, dan muda."
"Kenapa mudanya tiga kali, Bang?" protes Langit.
"Loh, iya, harus! Karena ini potensi terkuat yang dia punya."
"Papi suka yang kinyis-kinyis, begitu?" Awan bersama mulut kekiniannya.
"Bisa jadi!" Guntur duduk kembali. "So, nggak cuma Papi yang besar kemungkinannya bisa bikin mahasiswa itu kelepek-kelepek. Tapi mahasiswa ini juga boleh jadi, bisa bikin Papi kita bertekuk lutut."
Kembali, Awan manggut-manggut.
Obrolan kali ini terasa berat.
"Oke lah, oke. Terus gimana menurut kalian kalo kita punya Mami semuda mahasiswa yang tadi?"
"Wah ..." Langit kenyot botol dotnya. Selalu sedia s**u kalau sedang rundingan begini.
"90 persen, menolak. Jadi, usahakan jangan sampai mereka terikat. Apa kata Mami kalo lihat mantannya gandeng Kakak yang tadi?"
"Bukannya bagus?"
"Iya, bagus ... kalo Papi setidaknya awal tiga puluhan aja."
"Ribet, ya? Padahal Langit cuma pengin ada betina di rumah ini. Ada juga yang rawat masa tuanya Papi. Nggak tega liatnya, Papi terlalu mandiri."
Awan terdiam.
Benar sih apa kata bungsunya. Tapi Guntur juga ada benarnya.
Mereka pun saling pandang.
Sungguh, perkara ini teramat serius dan penting untuk didiskusikan. Pertama, sejak kapan Papi punya teman perempuan? Kedua, sejak kapan Papi mereka mau repot ke sana kemari dengan perempuan? Ketiga, apakah penolakan Papi terhadap wanita yang anak-anaknya sodorkan itu ada kaitannya dengan perempuan ini?
Setahu Awan, Guntur, maupun Langit ... baru mahasiswa ini saja yang kedudukannya lebih jauh dibanding perempuan-perempuan lain.
Tentu, sebab mereka tak tahu apa hal di balik Papi dan wanita tadi.
Dan mereka patut memperhitungkan, haruskah mendukung atau menentang? Sebelum nanti yang berjudul 'teman' itu ada tambahan kata 'hidup' di setelahnya. Iya, 'teman hidup'.
Antara perasaan dan realistis kehidupan harus belance. Maka sebelum timpang sebelah, mereka selaku hasil kloningan Papi tercinta ingin andil.
Sebab Papi mereka pernah gagal, dan dari kegagalan itu Papi lama memilih menutup pintu hatinya. Membuat rumah mereka sepi tanpa ada betina, walau sekilas pandang nampaknya biasa saja, tak apa, pun ... bahkan sempurna.
Betul, ketiga Semesta itu bersatu ingin bangkitkan gairah papinya. Maksud: Rasa tertarik dalam diri Papi mereka untuk lawan jenisnya. Tapi juga khawatir bila ternyata, begitu dapat, rupanya hanya mau ambil manfaat.
Alhasil, mesti diseleksi dengan ketat. Dianalisis mulai dari kemungkinan terkecil, seakar-akarnya.
Seperti sore itu ...
Waktu di mana pintu utama rumah ini belum dibuka, menampilkan sosok Papi mereka, yang di sebelahnya berdiri seorang wanita.
"Ha-halo ... ketemu lagi ya, kita?"
Entah mau sampai kapan 'kesalahpahaman' mereka berjalan. Ingat, kan? Alam dan Rana hanya menjadi 'teman' karena utang. Adanya Rana pun tak lebih dari sekadar pemenuhan 'kewajiban: bayar utang'. Lantas Awan, Guntur, dan Langit memberi tatap yang sulit didefinisikan.
Tapi Alam paham, itu otak tiga krucilnya pasti sudah membuat benang merah ke sana kemari tentang seonggok daging berjenis kelamin 'perempuan'.
"Yuk, masuk."
***
Rumit memang.
Makanya Alam jelaskan.
Malam itu.
"Mulai sekarang sampai akhir masa kerjanya, Kak Rana akan tinggal sama kita. Gimana? Senang, kan? Papi bawakan betina."
"Oh, Rana namanya?"
"Ranasya Zhagat Raya lebih tepatnya."
"Kenalin, aku Awan. Anak pertama Papi Alam." Yang dia ulurkan tangannya.
Kenalan secara resmi pun dilaksana. Waktu di mobil hanya basa-basi saja. Terus tadi sore, datang-datang Papi langsung berikan satu kamar untuk temannya dan mempersilakan istirahat sebelum nanti makan malam bersama. Tak ada perkenalan. Dan momen itu baru dilakukan sekarang, setelah semua nasi beserta jajaran lauknya habis dimakan.
Ya, di ruang makan saat ini.
Papi bahkan langsung ke inti. Padahal kan 'kenalan' itu penting.
"Aku Guntur. Nomor dua."
"Oh ... oke. Salam kenal, Guntur. Dipanggilnya Gun, atau Tur?"
"Guntur. Tolong jangan dipisah-pisah. Guntur."
"Ah, iya ..." Rana menggaruk pelipisnya. Kikuk. Bisa-bisanya padahal cuma kenalan sama anak SMP. "Kalau yang ini? Langit, ya?" Yang paling Rana ingat.
Bocah SD itu pun mengangguk.
Itu saja.
Alam kembali ambil alih obrolannya.
"Jadi, Kak Rana ini yang akan mengurus segala keperluan kalian."
What?!
Rana menoleh spontan.
Pak Alam malah senyum sebagai responsnya.
"Bukannya aku-- akh!"
Dicubitnya paha dia.
Oh, tunggu!
Pahanya ...
Rana mendelik. Nggak sopan banget bagian itu asal cubit! Kalau melesat dan cubitannya jatuh di ... ah, sialan!
Pak Alam masih setia dengan senyumannya. Wajah tanpa dosa itu Rana pandangi tak percaya.
"Maka lakukan apa yang mau kalian lakukan sama Kakak ini, Papi mempersilakan. Kak Rana dua puluh empat jam tersedia untuk kalian."
Karena 40 juta itu tidak sedikit, kan?
Ah, tapi!
Ini lain dengan apa yang Pak Alam iming-imingkan. Sebatas jadi guru les anak-anaknya, eh? Bulshit!
Nyatanya ...
Ya, seperti itu.
Alam tersenyum untuk Rana yang tak bisa berkata-kata.
Ini baru bisa dibilang ... 'Selamat datang di dunia Alam Semesta!'
***