Chapter 14

1468 Kata
HM Corporation, Pukul 16.30 sore. Franklin baru saja keluar dari ruang kerjanya setelah klien bernama Pak Haikal baru saja pulang satu jam yang lalu. Rasa lelah ketika proses transaksi persetujuan pembelian sebuah bangunan besar milik Pak Haikal senilai terliunan rupiah di kota Solo membuat Franklin bernapas lega. "Pak?" "Ya?" "Insya Allah besok kita berangkat ke Solo jam 09.00 pagi Pak." "Oke. Segera hubungi maskapai penerbangan dan pilot untuk mempersiapkan semuanya." "Baik Pak." Franklin melangkahkan kedua kakinya menuju lift dan memasukinya. Seperti biasa, Aldi menjadi sosok asisten setia yang berada di sampingnya ketika di lingkungan perusahaan. Kotak besi itu bergerak turun kelantai lobby. "Saya juga sudah hubungi Ibu Rayna Pak. Katanya dia akan ikut serta peresmian perusahaan Bapak sekaligus syukuran naik jabatan Bapak sebagai pemimpin." "Tolong sekalian hubungi Ray." "Maksud Bapak, Pak Ray Chevalier Ronald?" "Iya." "Apakah beliau dibutuhkan?" Ting! Pintu lift terbuka. Franklin keluar dengan langkah tegap. Suasana lobby terlihat ramai karena saat ini adalah jam pulang para karyawan meskipun beberapa diantaranya masih lembur bekerja. "Tidak. Tapi dia harus ikut." "Kalau boleh tahu kenapa ya, Pak?" "Rayna wanita yang cantik sekaligus bukan siapa-siapaku. Akan lebih baik bila Kakaknya ikut ketika aku mengajaknya keluar kota." "Bapak deg-degan ya kalau ketemu sama Ibu Rayna?" Tiba-tiba Franklin menghentikan langkahnya dan menatap Aldi. Sementara Aldi menghendikkan bahu tidak perduli dengan raut wajah santai. Ia sadar kalau atasannya itu pasti akan bereaksi seperti yang ia duga. "Apakah aku terlihat seperti itu?" "Em, mungkin Pak." "Masih mungkin kan? Kalau begitu jangan suka menyimpulkan sendiri." Franklin pergi dengan raut wajah santai seperti biasa sambil memasukkan salah satu tangannya didalam saku celana kainnya. Dari jarak beberapa meter, tanpa sengaja Franklin bertatapan dengan Vita. Ia sangat tahu kalau Vita baru saja di terima di perusahaan HM Corporation meskipun nanti akan di mutasi ke kota Solo. "Ya mungkin saja Bapak suka sama Ibu Rayna," sela Aldi lagi. "Aku hampir tidak pernah berpikir kearah sana. Kebanyakan malah para wanita yang akan menyukaiku." Aldi mengerutkan dahinya. Ia tak habis pikir. Jika memang hal itu benar, mengapa atasannya itu tetap berstatus single hingga sekarang? Apalagi sudah bertahun-tahun ia bekerja di perusahaan HM Corporation tidak pernah sekalipun pun ia mendengar sedikit banyaknya para wanita kagum dengan atasannya. Padahal Franklin itu tampan dan mapan. Franklin sudah berada di bassement menuju mobilnya. Aldi pun segera membukakan pintu bagian belakang untuk atasannya. Vita baru saja menatap kepergian Franklin. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa pria setampan atasannya itu ekspresinya selalu terlihat datar? "Kasian banget, sebenarnya dia itu tampan sih. Tapi ya gitu, datar banget. Liatnya saja males." ucap Vita dengan pelan dan segera berlalu menuju parkiran motornya. Kediaman Hamilton, Pukul 23.00 malam "Mom lihat deh snapgram Ava." "Ada apa?" "Nih, dia lagi di Dokter kandungan sama suaminya. Ya Allah, subur banget ya dia. Baru nikah sebulan, langsung hamil." "Itu tandanya Allah sudah mempercayakan Ava untuk hamil. Calon janin itu amanah dari Allah yang harus kita jaga Aifa. Sudah rezekinya." "Andai dia jadi sama Franklin, rasanya seneng banget deh Mom akhirnya Aifa punya calon keponakan lagi." "Hush! Jangan mengandai-andai, nggak boleh. Apapun yang terjadi sudah menjadi takdir dan tercatat di Lauhul Mahfudz." "Aifa cuma nggak habis pikir Mom, adek Aifa itu tampan, mapan, pengusaha sukses, tubuhnya tinggi atletis gara-gara rajin ngegym. Wanita mana yang nggak suka sama Franklin? Apalagi sebentar lagi dia naik jabatan sebagai Presdir. Di perusahaannya sendiri lagi." "Doakan saja yang terbaik buat adekmu, Aifa." "Mom," "Hm?" "Apakah Mommy tidak takut ketika Franklin tinggal di kota Solo?" "Kenapa kamu berpikir seperti itu?" "Aifa cuma khawatir sama Franklin Mom, dia itu pria yang baik. Jangan sampai dia kenapa-kenapa apalagi ketemu sama wanita yang nggak baik. Umurnya sudah 30 tahun. Apakah dia bisa menahan hawa nafsunya sendiri di usianya yang sudah matang untuk menikah?" "Mommy tidak tahu soal itu. Franklin tahu yang mana yang baik dan sesuatu yang tidak baik untuknya." "Bagaimana kalau dia jadi playboy? Bagaimana kalau dia jadi badboys?" Bagaimana kalau dia mempermainkan perasaan wanita? Bagaimana kalau.." "Jangan berpikir yang tidak-tidak Aifa. Kamu ini kebiasaan deh." "Bagaimana kalau nanti akan muncul little Made in Solo? Ih Mommmm... Aifa nggak mau Franklin jadi- Argh!" "Ih kenapa pipi Aifa dicubit?" "Stop berpikiran negatif. Oke? Franklin pria yang baik. Jodohnya insya Allah orang yang baik juga. Allah senantiasa akan melindunginya dimanapun dia berada dan adik kamu itu hanya kurang berusaha mendekati wanita, itu saja." Franklin terdiam sambil menikmati semilir angin malam di balkon kamarnya. Obrolan Mommy dan Kakaknya di dapur beberapa jam yang lalu tanpa sengaja terdengar ditelinganya ketika ia melewati dapur. Franklin paham bagaimana Kakaknya itu mengkhawatirkan dirinya. Tapi bukan soal itu yang menggangu pikirannya, melainkan tentang Ava yang hamil. Franklin berusaha bersikap biasa-biasa saja meskipun sebenarnya hatinya terluka. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain melampiaskan gejolak perasaan hatinya yang sedang tidak mood kali ini dengan mengeluarkan sebatang rokok kemudian menyalakannya dengan korek api gas dan menghisapnya. Keesokan harinya, pukul 06.00 pagi. Suara pintu Walk in closet terketuk pelan. Franklin menoleh kearah pintu dan menatap Aifa berdiri disana. "Franklin?" "Iya Kak?" "Jam berapa kamu berangkat?" "Ini mau berangkat." Aifa memasuki ruangan walk in closet milik Franklin. Disamping pria itu terdapat koper yang sudah berisi pakaiannya. Wajah Aifa terlihat sedih. "Apakah Franklin akan tinggal disana?" "Sepertinya begitu." "Kenapa tidak di Jakarta saja?" "Daddy memberiku perusaan disana. Jadi aku harus mengembangkannya." "Bisa di gantikan dengan Frankie?" Franklin sibuk memasang dasi di kerah kemejanya. Ia pun menatap Kakaknya sambil tersenyum tipis. Sungguh ia begitu tahu kalau Aifa itu memang tidak bisa jauh dengannya. "Tidak bisa. Ini sudah menjadi keputusan Daddy." "Jadi kapan kamu kembali ke Jakarta?" "Aku belum tahu. Berangkat saja belum, Kak." Franklin sudah selesai memakai dasinya. Ia pun segera menarik kopernya keluar ruangan. Dengan cepat Aifa memeluk lengan Franklin. "Kamu harus janji sesering mungkin kabarin Aifa ya, dek?" "Iya Kak." "Ah sebentar." Aifa menghentikan langkahnya di ikuti dengan langkah Franklin. Aifa merogoh sesuatu di saku gamisnya. "Ini ada kenang-kenangan dari Aifa. Sebenarnya Aifa mau kasih Franklin dompet baru. Kan dompet Franklin hilang. Tapi Aifa kena tipu. Alhasil Aifa nggak jadi kasih Franklin dompet." lirih Aifa. Franklin terkejut. "Kok bisa? Kakak pesan online?" Aifa mengangguk. Wajahnya terlihat sedih karena adik kesayangannya itu akan pergi ke Solo dan kecewa karena tertipu situs belanja online secara bersamaan. Akhirnya Aifa memilih memberi sebuah jam tangan dan memasangkan ke tangan kiri pria itu "Aifa sudah pesan dua Minggu yang lalu. Dompet kualitas ori keluaran terbaru. Tapi mau gimana lagi? Bukan rezeki kita dompet itu. Pelajaran Aifa supaya lebih berhati-hati lagi." "Berapa Kakak mengalami kerugian?" "Nggak banyak kok. Cuma Rp.7.850.000." "Tapi Aifa kasih Franklin jam tangan saja ya.." Jam sudah terpasang dengan baik. Franklin tersenyum tipis dan menyentuh pipi Aifa. "Terima kasih Kak, jam nya bagus." Aifa mengangguk. "Franklin janji ya sesering mungkin kabarin Aifa." "Iya Kak. Ayo, Aldi sudah menunggu di ruang tamu." Aifa hanya mengangguk singkat meskipun hatinya sesak. Sejak dulu, ia lebih akrab dengan Franklin ketimbang Frankie yang suka menjahilinya. Sesampainya diruang tamu, semua sudah berkumpul karena kedatangan tamu. Ada Ray dan Rayna. Kakak beradik itu sepakat untuk ikut meninjau lokasi perusahaan terbaru milik Franklin di kota Solo. Seketika Aifa berbinar. "Ya Allah, Ray yang baik hati dan tidak sombong! Ray apa kabar?" Ray tersenyum tipis. "Alhamdulillah aku baik Kak. Kakak baik-baik saja kan?" "Iya, Aifa baik. Ray ikut ke Solo ya?" "Iya Kak Aifa." Waktu terus berjalan. Satu persatu satu keluarga besar Hamilton pun saling berpisah dan berpelukan dengan Franklin. Meskipun ada rasa sedih, tapi mereka berusaha menahannya demi kebaikan dan masa depan cemerlang putra terakhir Hamilton itu. Ayesha memeluk erat putranya. "Jaga diri baik-baik. Insya Allah kami akan ke Solo untuk menghadiri acara launching dan syukuran perusahaanmu." "Iya Mom." "Mommy ingin memberimu amanah Nak," Ayesha memegang punggung tangan Franklin. "Berpuasalah Sunnah di hari Senin dan Kamis. Itu akan baik untukmu." "Iya Mom. Aku akan menjalankannya." Franklin kembali memeluk Mommynya dengan eratnya. Dalam hati ia juga sedih dengan perasaan yang sesak ketika ini adalah pertama kalinya ia akan pindah ke kota orang. "Semoga kamu bertemu dengan wanita yang baik disana ya, Nak. Percayalah doa Ibu adalah doa yang terbaik untukmu. Sungguh Mommy begitu memahami bagaimana perasaanmu selama ini." bisik Ayesha pelan hingga membuat Franklin tak kuasa menahan rasa haru dalam dirinya. Franklin melepas pelukannya pada Ayesha dan bergantian memeluk Daddynya. Setelah itu ia pun memasuki mobilnya dan Aldi sudah siap duduk di balik kemudi menuju Bandara. Mobil sudah melaju pelan. Meninggalkan kediaman Hamilton dan kota Jakarta menuju sebuah bandara yang tentunya akan menjadi banyak pengalaman terbaru di kota Solo nantinya. Sebuah pengalaman karir dan jabatannya yang terbaru di lingkungan yang baru, atau mungkin pengamalan baru tentang kisah cintanya tanpa di ketahui siapapun akan kemana dan siapa, Allah akan mentakdirkan dengan calon jodohnya. Dan semuanya pun di mulai dari sini.. Tetap stay di cerita ini ya. Tetap sabar sama sikapnya si santuy. Makasih sudah baca dan menunggu chapter ini kembali update. Sehat selalu buat kalian dan sekeluarga. With Love LiaRezaVahlefi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN