Bab 6

727 Kata
Malam telah mendekati subuh, tapi Akasia tidak bisa tidur walau sekejap saja. Bukan karena kamar ini pengap dan berantakan karena telah ditinggal lama, meski tidak ada dirinya Bi Mar dengan setia masih membereskannya. Bukan pula karena kamar ini jauh lebih sederhana dari kamar Sabrina yang luas dan mewah, tapi karena tatapan dan penerimaan Mama dan Sabrina yang menyakitkan. Setelah membersihkan diri dan mengambil wudhu, Akasia melaksanakan solat subuh dilanjut dengan tilawah Al- Qur'an. Hal yang tidak pernah dia tinggalkan dari dulu bahkan sejak dia duduk di SD. Tak ada yang mengajarinya di rumah ini, baik Mama maupun Papa juga tidak pernah melakukannya. Apalagi Mama, pagi- pagi sekali sudah berdandan cetar membahana, mana sempat baca Qur'an. Kalau solat Akasia kurang tahu, yang sering dia dengar Papa sering mengingatkan Mama dan Sabrina yang sering lupa waktu saat nonton atau bermain ponsel untuk solat. Akasia baru saja menyimpan mukenanya saat pintu kamarnya diketuk. "Buka Akasia!" Suara Mama diikuti suara Sabrina terdengar tajam. Akasia bergegas membuka pintu, waktu mengajarkan kalau dia harus serba cepat jika berhadapan dengan Mama angkatnya. Kalau tidak, maka kata kasar dan menyakitkan akan keluar begitu saja dari mulut bergincu itu. "Ada apa, Ma?" tanya Akasia sopan. "Ada apa katamu?" decih Mama sebal, membuat Akasia menelan ludah. "Kamu pikir bisa kembali ke rumah ini dengan seenak perutmu dan berlagak seperti princes?" Mama mendelik tajam membuat Akasia hanya bisa menghela napas. "Apa yang Mama inginkan dariku?" Akasia tersenyum getir. Tahu banget perangai wanita di hadapannya. Tak ada yang tulus di sini. "Bi Mar sebentar lagi aku istirahatkan sementara. Karena sudah ada kamu, semua tugasnya kamu yang kerjain. Lagipula buat apa ada pembantu dua di rumah ini," cebik Mama sukses membuat pipi Akasia memanas. Dia tidak pernah dianggap apapun di rumah ini selain pembantu, mengapa aku lupa? batin Akasia. Jadi apapun sebutan wanita di hadapannya itu tidak usah membuatnya sakit hati. Sudah biasa bukan? Perempuan itu sama sekali tidak perduli dengan hati dan perasaan nya, pun dengan kisah rumah tangganya. Sama sekali tidak perduli, alih-alih meminta pulang ke rumah suaminya, Mama malah meminta jadi pembantu gratisan di rumah ini. "Baiklah, Ma. Aku akan mengerjakan tugas Bi Mar." "Bagus, kamu tahu diri. Aku yakin Angkasa tidak akan menyusulmu." Akasia hanya mengangguk. Hidup seolah tak pernah memberinya warna yang indah selain kesuraman dan air mata. Ditelantarkan di panti asuhan, diperko sa saat masih remaja belasan, tercampak dari mahligai pernikahannya dengan hina dan kini terdampar kembali di rumah yang telah memberinya begitu banyak catatan luka. Tidak mengapa ya Allah, aku ikhlas menjalani takdirku. Aku ridlo dengan segala cobaan ini. Aku yakin di balik semua kesedihan dan air mata ini, ada sesuatu yang akan kau ajarkan pada hambaMu yang lemah ini, ya Allah. *** Seminggu sudah Akasia pulang ke rumah orang tua angkatnya. Tak sekalipun Angkasa menanyakan keberadaan dirinya apalagi menyusulnya. Angkasa memegang kata-katanya untuk menghapus dirinya dalam kamus hidup. Tak mengapa, aku memang yang tidak tahu diri karena masih berharap engkau perduli padaku, Mas. hati Akasia bergumam lirih. Aku yang tidak punya rasa malu karena masih berharap engkau berubah pikiran dan memintaku kembali. Hati Akasia terus merintih, merasakan ada yang terasa hangat di sudut matanya. Hari mulai sore, Akasia yang dari pagi mengerjakan semua pekerjaan rumah, baru akan menyusun pakaian yang sudah disetrika ke dalam lemari di kamar Sabrina saat samar dia mendengar tawa sumringah saudara angkatnya. "Beneran, Mas? Aku baru tahu alasan Akasia pergi dari rumahmu." Akasia menahan langkah kakinya. "Tak suci? Haha, dia memang ja lang dari dulu, Mas." "Mas merasa tertipu? Pastilah." "Betul Akasia pulang ke rumah. Mas mau jemput?" "Tidak? Haha." Tawa Sabrina makin keras membuat hati Akasia makin berdenyut sakit. Tawa wanita itu seolah tengah menari di atas jiwa Akasia ya g terluka. "Nanti aku bilang, Mama, kalau anak pungutnya ternyata hanyalah wanita kotor dan menjijikan," lanjut Sabrina lagi sambil terus tertawa mengejek. Gusti Allah, lunglai sudah lutut Akasia. Dengan langkah gontai dia menyeret kakinya masuk kamar dan meletakan pakaian Sabrina di atas kasur. Gemetar Akasia meraih ponselnya, menatap sekilas Poto profil pria yang sempat begitu dicintai dan dipujanya, tak lama mengutak-ngatik sesuatu di ponselnya, mengambil kartu perdana dan membuangnya. Membuang semua kisah cinta dan rindunya pada Angkasa untuk selamanya. Setelah apa yang didengarnya, Akasia kini sadar, tak ada secuil pun alasan untuk tetap menunggu dan berharap Angkasa berubah pikiran dan menjemputnya di rumah ini. Kisahnya dengan pria itu sudah selesai seiring luka di hatinya yang begitu dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN