Bab 7

672 Kata
Akasia tersenyum pahit. Untuk kesekian kalinya dirinya seolah tengah menari di atas lautan air matanya sendiri. Sakit tapi tidak bisa menangis. Terluka tapi tidak bisa merintih selain tetap bertahan dan menerima suratan hidupnya dengan senyuman. Aku ikhlas ya Allah. Aku menerima semua cerita pilu ini jika ini memang sudah menjadi suratan takdirku. Hamba hanya mohon, maafkan Mama. Sesakit apapun perlakuan yang dia berikan pada hamba selama ini, tapi hanya dialah wanita yang aku kenal dan pernah aku miliki. Titip dia ya Allah. Akasia tengadah, ada tetes di sudut matanya, tapi bukan air mata melainkan hujan di senja hari. Sejak Angkasa mengusirnya, tak ada lagi air mata yang menetes di sudut matanya. Air mata itu sudah mengering seperti rasa cintanya untuk pria yang sekian lama dari kepergiannya tidak juga mencari keberadaannya. Setelah sempat berjalan tak tentu arah, akhirnya Akasia berhenti di suatu tempat dan turun dari transportasi online dengan tujuan mencari penginapan termurah, Akasia berjalan gontai. Untuk kesekian kalinya Akasia meraba sudut matanya. Lagi-lagi tak ada air mata yang menghalangi jarak pandangnya. Air mata itu telah kering, atau ... dia merasa sudah biasa dengan rasa sakit ini? Hari yang merangkak senja makin merah, Akasia tidak tahu harus pulang atau pergi ke mana. Dia selama ini tidak begitu mengenal kerabat Mama angkatnya. Sahabatnya pun bisa dihitung dengan jari dan mereka tidak ada yang tinggal di kota ini karena sudah pindah kota mengikuti tugas suami atau orang tua mereka. Akasia tidak mengeluh. Tak apa, sendiri dan sepi, dua kata itu sudah lama menjadi sahabat sejatinya sejak dirinya merasa hina dan ternoda. Akasia menutup diri dan lebih senang memeluk harinya seorang diri, sesekali saja dirinya bertukar kabar, itupun seperlunya saja. Sepulang kuliah sambil kerja, dia menghabiskan waktunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menuruti semua perintah Mama dan Sabrina yang tidak ada habisnya. Sampai Angkasa datang dan menawarkan cerita indah tanpa cela, sampai Akasia membuka diri dan hati untuk pria tampan dengan senyuman dan tatapan teduh itu, sampai ... Akasia mendesah, sampai aku melakukan kebodohan dengan tidak berterus terang tentang peristiwa memilukan itu dan Angkasa mengusirnya. Akasia tersenyum getir. Kebodohan yang terpaksa dia lakukan karena lelah berada dalam tekanan Mama dan Sabrina. Maafkan aku Mas Angkasa, maaf diri yang ternoda dan tak tahu diri ini. Akasia merintih dalam hati, memaksa terus berjalan walau gerimis kian lebat. Akasia melangkah menuju jalan raya ke arah penginapan murah. Untuk sementara dirinya akan tinggal di sana sebelum mendapat pekerjaan. Beruntung di dalam tas yang dibawanya Akasia membawa ijazah dan semua surat penting dirinya kecuali surat nikah yang tertinggal di rumah Angkasa. Gerimis mukai besar, Akasia melebarkan langkah menyusuri jalanan yang mulai basah oleh air hujan. Beruntung di sisi tempat Akasia berjalan tumbuh pohon peneduh sehingga baju Akasia tidak terlalu basah kuyup. Angin senja yang basah sesekali meriapkan hijab lebar yang dipakainya. Hati Akasia melayang begitu hampa, meski tak ada air mata lagi di kedua kelopak matanya tapi jauh di sudut hatinya Akasia merasa begitu pilu, di usianya yang belum genap dua puluh tiga tahun, dia harus kembal pergi dari hidup orang- orang yang dia cintai. Terimakasih ya, Allah. Terimakasih untuk jalan cerita hidupku ini. Mereka boleh memintaku pergi, selama ada Engkau, aku tidak akan hancur. Akasia sedikit membungkuk membetulkan pegangan tangannya, tas yang dibawanya terasa mulai berat dan pegal seiring tangannya yang kian terasa dingin. Tadi dia sengaja tidak turun di depan penginapan karena akan membeli dulu beberapa macam barang yang dibutuhkan dan juga makan, Mama memintanya pergi cepat sehingga Akasia tidak sempat minum barang seteguk apalagi makan. Akasia mengerti untuk terlunta-lunta, terluka, menderita dan terbuang butuh tenaga. Byur Akasia masih membungkuk saat dari sampingnya, tiba-tiba sebuah motor besar melintas dan melindas jalanan becek dan airnya menyembur hijab Akasia. Akasia tengadah. Saat Sosok tinggi dan kukuh di sampingnya menghentikan laju motor dan membuka penutup wajah. Seraut wajah tampan dan dingin menatapnya tak berkedip, menatap hijab dan gamis yang tampak basah oleh hujan dan cipratan air dari motornya. "Mbak, tidak apa-apa?" Pria itu turun dan mendekat. Dengan tatapan dalam menyodorkan sapu tangan yang diambil dari saku jaketnya. "Baju dan hijabmu basah, pakailah!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN