Bab 10

764 Kata
Gerimis sudah menjadi hujan lebat. Pria itu melajukan motornya di bawah hujan tanpa terlihat risih sedikitpun dan tidak juga mengurangi kecepatan laju motornya. Akasia ingin sekali meminta pria itu menurunkan kecepatan motornya tapi tak berani. Akasia hanya bisa meringis dengan mulut yang terkunci rapat. Mencoba lebur dengan derasnya air hujan dan gemuruhnya angin. Mencoba lebur dalam lembar kesedihan yang terasa begitu tebal dan tidak berakhir. "Pegang lebih kencang lagi!" Seolah tahu gadis dibelakangnya ketakutan, pria itu berteriak menghalau gemuruh hujan. Akasia meringis, merasa jalan yang dilaluinya terasa panjang. Andai di dalam tasnya tidak ada surat berharga mungkin dia tidak akan ikut dan membiarkan saja tas miliknya dibawa pria itu. Hidup seolah tidak memberinya pilihan, selalu memaksanya menjalani takdir yang terasa menakutkan. Akasia adalah jiwa yang pernah terhempas dan nyaris hancur, susah baginya untuk mempercayai dan nyaman bersama orang asing. Akasia menahan gemetar giginya yang kedinginan, menahan juga lelehan air mata di balik pelindung kepala yang dipakainya. Setelah air matanya sempat mengering saat dipaksa pergi dari rumah Mama angkatnya, kini air mata itu kembali meleleh membasahi pipi pucatnya dengan begitu deras. Motor akhirnya melambat dan memasuki sebuah bangunan besar yang cukup megah dan indah di mata Akasia. Beberapa penjaga tampak bergegas membukakan pintu gerbang dan membungkuk hormat. "Kita sudah sampai." Pria itu turun dan membuka penutup kepala dan tersenyum. Akasiapun melakukan hal yang sama, giginya sedikit gemeretak saat menyerahkan helm ke arah pria di depannya. "Kamu menangis?" Pria di depan Akasia menatap tak berkedip wajah di hadapannya. Wajah yang terlihat begitu pucat, lelah sekaligus terlihat sedih dan seolah menariknya untuk mengetahui lebih jauh. Pria dingin dan angkuh itu tak berdaya menahan pesona wanita di hadapannya, sesuatu yang baru dia rasakan seumur hidupnya. Bagaimana mungkin aku yang nyaris setiap saat bertemu gadis cantik dan seksi terpesona begitu saja pada gadis yang bahkan penampilannya begitu menyedihkan? Pria itu mendesis dalam hati. "Matamu basah, jangan menangis. Kau akan baik-baik saja di sini," ujarnya kembali. Akasia hanya mengangguk pelan. Meski rasa takut itu tidak hilang sepenuhnya tapi suara pria di hadapannya seolah mengatakan padanya kalau dia tidak bermaksud jahat pada dirinya. Akasia tampak sedikit kebingungan, tapi tidak lama pria di depannya mengajaknya masuk. Akasia mengikuti langkah lebar pria itu yang membawanya melewati koridor yang cukup panjang menuju ke lantai tiga dan berhenti pada sebuah ruangan besar lengkap dengan furniture yang terlihat mewah dengan beberapa kamar yang tertutup rapat. "Kamu tinggal di sini. Nanti akan ada pelayan yang datang untuk membantunya melayani semua kebutuhan mu." "Ti-tinggal di sini?" "kenapa?" "Lalu saya ngapain di sini, Mas?" Pria itu tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapih dan putih. Dalam situasi normal dan suasana hati wanita normal dan nyaman akan sulit bagi wanita manapun untuk menolak pesonanya, hanya Akasia yang tidak menangkap pesonanya. Hati gadis itu terlalu hancur untuk menyadari kalau pria di depanny begitu menawan. "Kamu ganti baju, istirahat dan lewati malam ini dengan tenang. Aku jamin, kamu aman dan tenang di sini. Tak akan ada yang mengganggu dan mengusikmu." Pria itu menerangkan panjang lebar. "Oh ya, namaku Tristan Danial." Seolah baru sadar belum berkenalan, pria itu mengulurkan tangan yang ditolak halus oleh Akasia. Akasia tidak biasa bersentuhan dengan lawan jenis bukan mahram. Beruntung pria di depannya tidak tersinggung. "Oke, sekarang siapa namamu?" "Akasia. Akasia mentari Jingga." Akasia menyebut namanya pelan. "Akasia Mentari Jingga, namamu indah. Seindah bola matamu." Akasia tersipu. Kalimat itu mengingatkannya pada Angkasa. Seperti pria yang mengaku bernama Tristan Danial, Angkasa pun terpesona dengan nama dan matanya. Pesona yang ternyata tidak bisa membuat Angjasa itu menerima dirinya seutuhnya bahkan hanya untuk menerima penjelasannya sekalipun! Akasia tersenyum hambar. Tanpa berkata sepatah lagi, Akasia mengikuti langkah Danial yang berhenti pada sebuah pintu kamar dan perlahan membukanya. "Nek, lihat siapa yang datang bersamaku?" Pria itu mendekati sosok wanita tua yang tengah duduk di atas kasur seorang diri. Wajah Danial tampak menatap iba. Dengan sopan dia mendekat dan mencium tangan wanita yang dia panggil nenek. "Mami tidak menemani Nenek?" Wanita tua itu menggeleng. "Dari pagi Nenek sendiri. Mamimu hanya masuk buat memberi nenek makan dan minum, sehabis itu dia tidak datang lagi." Suara perempuan tua itu terdengar sedih. Daniel hanya menghela nafas berat. "Nenek, mulai hari ini, Nenek akan punya teman. Betulkah?" Tanpa diduga Danial melirik ke arah Akasia. Akasia yang tidak menduga akan ditanya seperti itu sedikit gelagapan sampai akhirnya mengangguk dan tersenyum tulus. Hati Akasia yang lembut dengan mudah menerima kalimat Danial. "Saya akan menemani Nenek. Saya mau jadi sahabatmu," ujar Akasia lembut. Entah mengapa tanpa mendengar apapun tentang wanita tua itu, Akasia merasa kalau wanita itu kesepian dan sedih. Dua kata yang begitu akrab dalam hidupnya. "Danial, dia siapa, calon istrimu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN