Cao Xiao mengikuti langkah Mian Mian menuju ke istana Fenghuang untuk bertemu dengan permaisuri Xianmu yang kebetulan memanggilnya. Begitu ia masuk, Cao Xiao masuk ke dalam ruangan pribadi permaisuri Xianmu dan melihat Cao Hua tengah duduk di depan permaisuri Xianmu.
“Kakak, kemarilah dan duduklah bersama kami.” Ujar permaisuri Xianmu yang telebih dahulu menyadari kedatangan kakaknya itu.
“Salam kepada yang mulia permaisuri.” Cao Xiao membungkuk di depan permaisuiri negeri Han itu.
Permaisuiri Xianmu tentu saja tidak akan membiarkan kakak tercintanya membungkuk Sembilan puluh derajat padanya. Ia segera berdiri dan membantu Cao Xiao untuk kembali berdiri dengan tegak. Permaisuri Xianmu berbicara dengan nada lembut, “Kakak, jangan memberi hormat seperti ini padaku. Kita adalah keluarga, baik itu Cao Hua, ayah, atau pun kakak, kalian semua tidak perlu bersikap sungkan padaku ketika hanya ada kami berdua.”
Cao Xiao tersenyum dan mengangguk, sementara itu permaisuri Xianmu menggandeng lengan kakaknya itu dan menyuruhnya duduk disampingnya. Ia kemudian berbicara, “Kakak minumlah teh ini dulu.”
Cao Xiao mengangguk dengan lembut jari-jarinya yang ramping mengambil cangkir kecil yan berisi teh osmanthus itu. Wajah Cao Xiao begitu anggun ketika ia menghirup aroma teh yang begitu lembut, lalu kemudian ia menyesapnya dengan anggun. Permaisuri Xianmu memperhatikan ekspresi kakaknya itu dan seketika berkata, “Kakak begitu lembut dan cantik, tidak heran Chu Xiang jatuh hati padamu.”
“Uhuk…” Cao Xiao sedikit kehilangan akalnya dan tidak sengaja tersedak.
Cao Hua tidak membuang-buang waktunya lagi untuk bertanya dan menghilangkan segala rasa penasaran yang telah menghantuinya sejak di aula istana tadi, “Kakak, sejak kapan kalian berhubungan? Kakak bahkan tidak pernah keluar dari Cao Fu.”
Sebelum Cao Xiao berhasil membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan adik bungsunya itu, permaisuri Xianmu sudah berbicara mewakili Cao Xiao, “Kaisar pernah berkata padaku bahwa sejak pertemuan kalian di kuil Buddha tempo hari, Chu Xiang sudah meminta kaisar Xian mengatur pernikahannya. Apakah itu pertemuan pertama kalian kakak?”
Cao Xiao tersenyum malu ketika kedua adiknya itu menggodanya secara terang-terangan. Cao Xiao kemudian berbicara dengan nada lembut, “Itu adalah pertemuan kedua kami. Dan di pertemuan ketiga ia melamarku.”
Permaisuri Xianmu yang biasanya cukup santai kini menjadi sangat tertarik dengan kisah cinta kakaknya itu. Permaisuri Xianmu tentu saja tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Wah, Chu Xiang benar-benar hebat. Jadi di aula tadi itu pertemuan ketiga kalinya bagi kalian dan ia langsung melamar kakak?”
Cao Xiao menggeleng-gelengkan kepalanya dan menunjukkan ketidaksetujuannyan atas ucapan permaisuri Xianmu itu. Ia kemudian berbicara, “Sebelum Chu Xiang melamarku tadi, ia sudah melamarku duluan. Itu terjadi beberapa hari yang lalu di panti asuahan. Awalnya aku terkejut karena ia muncul begitu tiba-tiba, itu sudah sebulan sejak aku tidak melihatnya. Lalu kami berjalan-jalan di kebun panti asuhan dan di saat itu dia melamarku. Awalnya aku hanya menganggap itu adalah sebuah lelucon, jadi aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Tapi aku menyadari hari ini kalau dia benar-benar serius.”
Cao Hua yang sedari tadi diam akhirnya membuka mulutnya, “Kakak pertama, kau benar-benar beruntung. Apakah kakak pertama tau kalau Chu Xiang benar-benar idola di Chang’an. Semua gadis berebut untuk menjadi istrinya, bahkan mereka akan rela jika mereka hanya di jadikan selir.”
Cao Xiao tidak merespon lebih jauh atas perkataan adik bungsunya itu. Sebaliknya permaisuri Xianmu merasa lega bahwa kakaknya bisa mendapatkan Chu Fei Yang yang baik. Permaisuri Xianmu selalu merasa bahwa Cao Xiao sudah banyak berkorban untuknya dan Cao Hua. Sedari kecil, Cao Xiao lah yang selalu merawat mereka, itu karena ibu mereka sudah meninggal. Memang benar jika dalam sebuah Fu akan ada beberapa selir, tapi selir-selir Cao Cao tidak pernah mempedulikan ketiga gadis itu sejak muda. Mereka hanya memperhatikan kehidupannya sendiri.
Kata pepatah ‘kakak perempuan itu bagaikan ibu’ dan permaisuri Xianmu merasa bahwa itu sangatlah benar. Cao Xiao berperan sebagai seorang malaikat pelindung baginya dan Cao Hua. Dia begitu sabar dan selalu taat. Sejak muda, Cao Xiao selalu rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi adik-adiknya, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuknya bahagia.
Melihat Permaisuri Xianmu memandanginya dengan tatapan aneh, Cao Xiao berbicara, “Yang mulia, kenapa anda menatapku dengan tatapan seperti itu? Apa kakakmu ini tidak cukup baik untuk menikah dengan Chu Xiang yang popular itu?”
Saat mengatakan hal ini Cao Xiao sedikit tersenyum. Permaisuri Xianmu heran dan bertanya-tanya, sejak kapan kakaknya yang kaku ini bisa membuat lelucon?
“Kakak, aku yakin kakak akan bahagia bersama Chu Xiang. Aku bisa melihat bagaimana pengorbanannya untuk bisa melamar kakak. Chu Xiang adalah laki-laki yang baik, jadi kakak juga harus belajar mencintainya. Mulai hari ini, kakak harus bahagia dan menempatkan kebahagiaan kakak di atas segalanya. Aku akan melakukan apa pun agar kakak bisa bahagia. Adikmu ini tidak akan membiarkan kakak tidak bahagia. Begitu pula untuk Xiao Hua.” Ujar permaisuri Xianmu sembari meletakkan tangannya di atas tangan saudarinya.
Cao Xiao hanya bisa mengeluarkan air mata bahagia ketika ia mendengar ucapan adik keduanya itu. Ia benar-benar merasa beruntung bisa memiliki adik-adik yang selalu mendukungnya.
Beberapa hari sudah berlalu dengan cepat dan tidak terasa hari pernikahan antara Cao Xiao dan Chu Fei Yang akan berlangsung. Hari ini kereta berdatangan ke Cao Fu, mereka membawa banyak barang hadiah pernikahan dan juga mas kawin. Beberapa pakaian mewah, kain sutra, serta emas tampak memenuhi halaman belakang Cao Fu. Semua hadiah itu tidak hanya berasal dari Chu Fu, tapi dari kerabat keluarga bangsawan yang lain.
“Nona, ini adalah hadiah khusus yang dibawa oleh pengawal Lan Jinling untuk nona. Kata pengawal Jinling, Chu Xiang menyuruhnya untuk memberikan ini langsung pada nona.” Ujar pelayan pribadi Cao Xiao.
Cao Xiao mengambil kotak kayu itu dan membukanya. Di dalam kotak itu terdapat beberapa perhiasan yang terlihat sangat kuno. Di dalamnya juga ada selembar surat yang menyatakan bahwa perhiasan itu adalah perhiasan turun temurun yang diberikan oleh ibunda Chu Fei Yang sendiri. Cao Xiao menganggap hadiah ini sangatlah berharga dan tidak enak untuk menerimanya, tapi ia juga tidak bisa menolak karena itu bisa menyinggung keluarga Chu. Jadi Cao Xiao hanya bisa menerimanya dan menyimpannya. Tetapi ketika ingin menutup kotak kayu itu, sebuah benda misterius jatuh dari bagian kotak yang lain. Cao Xia menundukkan tubuhnya untuk memungut benda berkilauan yang nampak indah itu.
“Benda apa ini?” tanya Cao Xiao yang penasaran. Karena dia tidak mengetahui benda itu, dia hanya bisa memikirnya dan mencari tau sendiri.
Hingga malam hari pun, Cao Xiao masih berkutat dengan benda indah itu. Bentuknya yang panjang dan ramping terlihat sangat menawan, di ujung kanannya ada ornament berwujud matahari yang memeluk bulan, menambah keindahan benda itu. Untuk mencegah pelayannya masuk, Cao Xiao hanya bisa mematikan cahaya lilin dan menggunakan cahaya bulan yang masuk dari jendelanya untuk mengamati hadiah pemberian Chu Fei Yang.
Tanpa di duga ia merasakan seseorang tengah manatapnya, ia kemudian berbalik ke arah jendela untuk menemukan sosok yang tengah mengamatinya itu. Melihat dari pakaiannya, itu adalah seorang pria. Cao Xiao tidak berteriak dan tetap bersikap tenang melihat reputasinya akan rusak jika orang-orang mengetahui ada seorang pria yang masuk ke kamarnya. Pria itu kemudian mendekat dan sepasang mata yang indah menatapnya, wajahnya tampan, dan senyumnya seindah musim semi.
“Chu Xiang, kenapa kamu bisa anda di sini?” Cao Xiao secara terkejut berbicara dengan nada pelan.
Chu Fei Yang yang diam-diam menyelinap ke kamar calon istrinya itu hanya tersenyum. Tatapannya kemudian berpindah dari wajah Cao Xiao ke benda yang berada di tangan Cao Xiao itu.
“Apa Xiao Er tau benda apa ini?” Chu Fei Yang mengambil benda itu dari tangan Cao Xiao.
Cao Xiao hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah seharian mencari tau melalui buku, tapi ia tidak bisa menemukan nama benda yang diberikan oleh Chu Fei Yang itu. Jadi Chu Fei Yang memberitahunya, “Benda ini bernama Binyeo. Ini adalah tusuk konde yang dipakai oleh wanita di dinasti Joseon ketika mereka sudah menikah. Awalnya gadis yang belum menikah hanya akan menguraikan rambutnya, tapi mereka yang sudah resmi menikah akan menggulung rambutnya menggunakan Binyeo ini. Hal ini juga berlaku pada permaisuri kerajaan.”
Cao Xiao akhirnya mengerti maksud dari hadiah Chu Fei Yang itu kepadanya. Chu Fei Yang yang selesai berpidato segera berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah Cao Xiao. Chu Fei Yang sudah mulai berani untuk melakukan kontak fisik pada Cao Xiao, dan itu cukup mengejutkan Cao Xiao. Cao Xiao yang tangannya secara tiba-tiba digenggam oleh Chu Fei Yang merasa sangat kaget hingga jantungnya terasa seperti akan melompat, tapi ia hanya diam dan mengikuti Chu Fei Yang.
“Duduklah.” Langkah kaki Chu Fei Yang akhirnya berhenti ketika mereka sudah sampai di depan meja rias.
Karena cahaya yang minim, Cao Xiao tidak bisa melihat apa-apa. Dia hanya merasakan tangan Chu Fei Yang tengah menyentuh kulit kepala dan rambut panjangnya. Cao Xiao bisa merasakan rambut panjangnya yang semula terurai kini telah digulung ke atas.
“Kemarilah, aku akan menunjukkannya padamu.” Chu Fei Yang kembali menarik tangan Cao Xiao dan membawanya ke arah cahaya bulan.
Chu Fei Yang kemudian menunjukkan hasil karyanya itu pada Cao Xiao. Dari cermin tembaga, Cao Xiao melihat pantulan wajahnya, ia menyadari bahwa rambutnya telah dikepang menggunakan Binyeo itu.
“Xiao Er, kau terlihat cantik.” Chu Fei Yang tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Cao Xiao. Ia kemudian dengan berani menggapai bibir tipis Cao Xiao itu dengan bibirnya. Coa Xiao yang terkejut hanya berusaha melepaskan dirinya, tapi Chu Fei Yang mendekapnya dengan erat dan tidak membiarkannya lepas. Jadi ia hanya bisa pasrah dan menerima cinta Chu Fei Yang itu.
Selang beberapa saat, Chu Fei Yang menarik bibirnya dari bibir Cao Xiao. Ia kemudian tersenyum dan melihat wajah Cao Xiao yang biasanya tenang menjadi memerah karena malu.
Sebelum melompat dari jendela kamar, Chu Fei Yang berkata, “Aku akan membawamu mengelilingi dunia suatu saat. Aku berjanji akan hal itu. Dan juga sampai jumpa di hari pernikahan.”
Sosok Chu Fei Yang tiba-tiba menghilang dari jendela. Cao Xiao yang masih memikirkan ciuman itu hanya bisa menutup wajahnya yang tersipu malu.