Bukannya marah, Gadis justru terkekeh senang mendengar aku mengatakannya 'penggoda'. Padahal jelas-jelas sebutan itu bernada negatif. Atau jangan-jangan, dia memang tidak tahu maknanya? Umh, Gadis memang kurang pintar. Apa mungkin dia tidak tahu artinya?
"Aku memang penggoda! Penggoda yang sukses menggoda pria sepertimu!"
"Kau melakukannya dengan semua pria?!!"
"Bisa 'iya'. Bisa 'tidak'..." jawab Gadis enteng.
"Bisa-bisanya kau mengatakan itu di depan tunanganmu!"
Entah mengapa, aku mulai geram dengan perilaku Gadis. Apa selama aku koma dia menggoda pria lain? Mengingat nafsunya juga lumayan besar saat kami bercinta. Mungkinkah dia haus belaian?
"Kau cemburu, hem?"
Aku menatapnya kesal. Sepertinya, dia memang sengaja memancingku. Dan lagi-lagi aku terpancing.
"Tidak." jawabku cuek.
"Mengakulah. Dewa yang kukenal adalah pria paling possesive sejagat raya."
"Aku tidak."
"Iya. Kau cemburu. Aku mengenalmu dengan baik."
Aku hanya diam. Enggan menanggapinya.
"Selama kau koma, aku hampir tidak pernah bertemu orang lain selain kau, keluarga Richard dan Damian. Setiap hari kuhabiskan waktuku untuk mengurusmu, mengajakmu bicara dan berdoa untuk kesembuhanmu. Jadi, rasanya aku tidak mungkin menghoda Richard atau Damian. Aku cukup tahu diri."
Ada rasa bersalah yang menyelimuti hatiku saat Gadis mengatakannya. Egoku terlalu tinggi sampai-sampai aku tidak bisa melihat ketulusan hatinya.
"Aku minta maaf." kataku seraya membelai lembut perut puncitnya. Sebagai balasan, anak dalam rahim Gadis bergerak manja.
"Iya."
"Ayo kita kembali ke manssion."
Setibanya di manssion kami, Gadis segera membersihkan dirinya dan beristirahat. Damian melarangnya melakukan aktifitas yang berlebihan karena kehamilan Gadis masih rawan di semester awal. Tapi di mataku, Gadis selalu terlihat baik-baik saja.
Richard menungguku di ruang kerja. Sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan. Aku mendatanginya setelah berpamitan pada Gadis. Bagaimana pun juga, Gadis harus tahu kemana aku pergi. Dia selalu mengkhatirkan aku.
"Apa apa, Rich?"
"Kitaro tewas beberapa jam yang lalu."
Tubuhku menegang mendengar penuturan Richard. Beberapa hari yang lalu dia sengaja datang kemari untuk melihat keadaanku. Lyn bahkan terlihat antusias menceritakan kemajuan RRTech di tangan Kitaro. Tidak kusangka pertemuan waktu itu merupakan pertemuan terkahir kami.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Orang suruhan Master Dragon. Penguasa bisnis elektronik di Tokyo."
Dragon? Aku pernah menengar nama itu. Demi bisnis keluarganya, dia memang bersedia melakukan apapun. Termasuk menghabisi lawannya.
Berbeda dengan RRTech. Kami bekerja, berinovasi tanpa berniat menyingkirkan siapa pun. Atau meluaki pihak manapun. Kami akan menyerang jika ada yang mengusik kami. Selebihnya, RRTech bekerja dengan otak. Bukan otot.
"Siapkan pemakaman terbaik untuk Kitaro. Hanya itu yang bisa kita lakukan, Rich."
Richard masih diam membisu. Sepertinya, dia masih syok dengan kejadian yang menimpa Kitaro.
"Bagaiamana dengan Lyn dan anaknya?"
"Bawa mereka kemari. Habisi semua yang berkaitan dengan Dragon. Aku tidak mau ada yang tersisa satu pun." Kemarahku mulai memuncak. Selalu seperti ini. Orang-orang kami dibunuh dengan sadis. Padahal kami tidak pernah melukai siapa pun
"Dan satu lagi, jangan biarkan Gadis tahu soal ini!"
Sepertinya, Rich sama sekali tidak memperhatikanku. Pandangannya lurus ke depan seolah sedang menerawang sesuatu. Jika dibiarkan seperti ini, semuanya akan semakin kacau.
Kuraih sebuah benda yang menyerupai ponsel di dalam laci meja kerjaku. Benda itu kami sebut dengan nama 'KEN'-sebuah alat komunikasi yang Kitaro ciptakan ketika Lyn melahirkan putra pertama mereka, Kenzie.
Hanya orang-orang tertentu yang menggunakan KEN untuk berkomunikasi. KEN sendiri tersambung dengan SmartFly, jadi tidak butuh kuota internet atau pulsa untuk bisa menggunakan KEN. Dan yang paling penting dari KEN adalah, benda ini tidak bisa diertas oleh siapa pun. Sehingga tidak ada yang mencuri dengan perbicaraan petinggi-petinggi RRTech.
"Lakukan dengan baik." titahku pada seseorang di seberang.
Kitaro, Lyn dan Kenzie harus mendapatkan yang terbaik. Karena rasanya percuma berbicara dengan Rich, jadi kuputuskan menghubungi salah satu orang kepercayaanku untuk mengurus pemakaman Kitaro dan segera membawa Lyn serta anaknya kemari.
"Sampai kapan kita seperti ini?" tiba-tiba Rich berkata datar. Ada rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti hatinya.
"Apa yang kau bicarakan, Rich?"
"Dewa," Rich masih membelakangi aku. Sesekali ia meninju jendela kayu yang membingkai ruanganku.
"Tidakkah kau tahu, selalu ada orang-orang kita yang mati sia-sia setiap harinya."
"Aku tahu. Tapi itu bukan kesalahan kita."
"Kau benar. Bukan kesalahan kita. Tapi jika terus menerus seperti ini, maka akan lebih banyak lagi yang terluka dan mati."
Richard tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Aku menunggunya beberapa saat, hening. Sepertinya dia asyik bermain dengan jalan pikirannya sendiri.
"Aku akan memastikan Dragon menyesal telah membunuh Kitaro."
"Mau kau apakan dia?"
"Membunuhnya, membunuh keluarganya dan membunuh kerajaan bisnisnya."
Bukannya menanggapi, Richard justru terkekeh mendengar ucapanku yang kuyakin sama sekali tidak lucu. Memang itu yang selalu kami lakukan untuk membalaskan dendam pada siapapun yang berani mengusik kami.
"Lantas apa yang akan mereka lakukan?"
"Mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa pada kita."
"Kau salah, Dewa. Selama ini kurasa kita berdua salah."
Aku mencerna apa yang baru saja Rich katakan. Apa maksud dari kata salah? Apa yang salah di antara kami? Bukankah memang seharusnya begitu? Menghabisi lawan untuk meredam perang dan mencipta kedamaian kembali?
"Aku tidak mengerti maksudmu, Rich." ucapku kemudian.
"Begini, apa kau juga akan membunuh cucu master Dragon yang masih berusia beberpaa bulan?"
"Tentu saja tidak! Aku akan membunuh kedua orang tuanya saja."
"Nah, di situlah masalah kita."
"Apa?" lagi-lagi aku tidak mengerti arah pembicaraan Rich.
"Sama seperti Ken, saat Ken besar nanti, dia pasti akan bertanya pada Lyn 'di mana ayahnya? Bagaimana dia meninggal? Siapa pembunuhnya?' Jika Lyn tidak mau menjawab dengan jujur, anak itu pasti akan mencari tahu sendiri bagaimana ayahnya meninggal.
Jika hal itu sampai terjadi, bukan tidak mungkin Ken akan membalaskan dendam ayahnya pada keluarga Dragon yang masih tersisa."
Rich menjeda kalimatnya. Membuatku menerka-nerka apa tujuannya mengatakan hal ini.
"Begitu juga yang akan terjadi pada keluarga Dragon. Siapa yang akan mengasuh anak-anak mereka nanti? Saat anak-anak itu tumbuh dewasa, mereka juga akan melakukan hal yang sama seperti yang Ken lakukan. Mencari pembunuh keluarga mereka. Hal itu akan berdampak buruk pada keluarga kita kelak. Pada anak-anak kita juga."
Lagi-lagi Rich menggantung kalimatnya.
"Kemungkinan kelak Ken akan sangat membenci keluarga Dragon. Selanjutnya, keluarga Dragon akan membenci keturunan kita. Di situlah bahanyanya, anak-anak kita yang tidak tahu apa-apa akan menerima imbasnya. Mereka korban dari kesalahan kita di masa ini. Kupikir itu sama saja, sekarang kita meredam perang untuk mencipatakan perang yang lebih besar di masa mendatang."
Sejenak, kupikirkan baik-baik apa yang dikatakan oleh Rich.
Meredam perang untuk menciptakan perang yang lebih besar di masa mendatang?
Jelas sekali penjelasannya memang. Selama ini, sebagian dari kami memang menganut hukum rimba. Siapa yang kuat, maka dialah yang akan menjadi pemenang. Yang kecil diinjak oleh yang lebih besar. Yang lambat akan kalah dari yang lebih cepat. Begitu setetusnya. Seperti tidak ada habisnya. Sifat asli manusia. Serakah. Serakah akan segalanya.
Tentu saja aku tidak mau kejayaan yang kumiliki sekarang akan menjadi kutukan untuk keturunanku. Namun di sisi lain, aku juga tidak mungkin melepaskan perusahaan yang sudah susah-susah kubangun dengan keringat dan hasil kerja kerasku. Tidak akan!
"Jadi bagaimana?" ucapku setelah lama menunggu Richard yang tidak lagi berceramah.
"Menurutmu bagaimana? Kau yang seharusnya memikirkan masalah ini." Rich balik bertanya padaku.
"Kupikir kau berceramah panjang lebar untuk memberi solusi lain selain membunuh mereka." kataku ketus.
"Kau benar-benar tidak punya ide untuk masalah kita kali ini?"
"Tidak. Katakanlah jika kau punya gagasan lain." desakku akhirnya.
Richard mendesah pelan. Ia melangkah menuju kursi panjang di sudut ruangan. Setelah mendaratkan bokongnya di atas kursi dan meneguk segelas air putih, Rich kembali berkata,
"Aku memang tidak memiliki rencana apapun. Tapi, sepertinya kita bisa meniru Elsa dalam hal ini."
Elsa? Sepertinya nama itu tidak asing bagiku. Ya, teman Gadis saat mereka masih di Indonesia. Istri dari Axel Candra yang sebentar lagi akan menikah dengan Freddy Candra. Tapi, apa hubungannya dengan Elsa?
"Kau masih ingat dengan Zantnan?"
"Aku tidak mungkin melupakannya, Rich."
"Saat kita menghadapi masalah dengan Zantman, Elsa lah yang membantu kita keluar dari masalah itu. Sebagai gantinya kita memberikan perusahaan Zantman untuk membayar uluran tangan Elsa."
"Aku ingat itu."
"Kau juga menyerahkan Zantman pada Elsa."
"Elsa pasti sudah membunuhnya."
"Kau salah, Dewa."
Keningku berkerut mendengar itu. Salah? Apa yang salah dengan diriku?
Rich terkekeh, "Tidak. Bukan itu maksudku. Tidak ada yang salah denganmu. Kau salah jika berpikir Elsa membunuh mereka semua?"
"Jadi? Apa yang lakukan dengan Zantman?"
"Elsa menyuruh Zantman menjalankan kembali perusahaannya beserta seluruh pekerja lamanya. Sebagai ganti nyawanya. Jadi Elsa menukar nyawa keluarga Zantman dengan memperkerjakannya di perusahaannya sendiri dengan gaji rendah."
Sungguh! Kali ini aku terbelalak mendengar fakta itu. Selama ini kupikir Zantam sudah mati.
"Itu licik, Rich."
"Memang. Setidaknya tidak terjadi pertumpahan darah yang akan berbuntut panjang."
"Jadi maksudmu?"
"Kita tiru apa yang Elsa lakukan."
"Meniru?"
"Ya."
"Siapa yang mengawasi gerak-gerik Zantman?"
"Brooklyn Montano."
"Apa Freddy tahu?"
"Tidak. Sudahlah, tidak penting kau bertanya lebih jauh tentang itu. Pikirkan dulu masalah yang sedang kita hadapi. Kembali ke topik awal." Rich terlihat jengah.
"Baiklah. Kita gunakan cara Elsa. Suruh seseorang menyergap kediaman Dragon dan seluruh pekerjanya. Ambil alih perusahaan melalui orang kepercayaan kita di Jepang. Buat seolah-olah orang itu yang mengambil alih kerajaan bisnis Dragon. Dengan begitu, kita tidak perlu repot-repot membunuh mereka satu per satu."
"Begitu lebih baik."
"Gadis! Apa yang kau lakukan di sini?" seruku tidak percaya melihat Gadis duduk di depan ruang kerjaku sendirian.
"Menunggumu." jawabnya tidak berdaya.
Setengah jam yang lalu, Rich pergi meninggalkanku sendiri di ruang kerjaku. Setengah jam kuhabiskan untuk mengorek informasi tentang Elsa, Zantman dan Freddy. Tidak kutemukan. Sepertinya mereka memang sengaja bersembunyi di balik nama seseorang atau lembag tertentu. Untuk ukuran Zantman dan Freddy, mustahil tidak ada informasi tentang mereka. Google bahkan tidak memuat siapa mereka bertiga.
Sepertinya, aku salah menduga Elsa sejak awal. Dia memang wanita lembut dan cantik. Tapi, siapa sangka dibalik kekalemannya tersembunyi jiwa monster. Apa ini semua berkaitan dengan Axel dan Freddy? Sayang sekali aku tidak mengenal mereka bertiga sejak awal. Andai saja aku mengenal mereka, mungkin aku bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka bertiga.
"Dewa?"
"Ya?" kataku cepat saat menyadari Gadis menggenggam tanganku.
"Kau melamun."
"Tidak."
"Aku berkali-kali memanggil namamu."
"Aku..." aku berusaha berkelit.
"Iya. Kau melamun."
"Ayo kita kembali ke kamar." ajakku seraya menggandeng tangan Gadis.
Kurasakan suhu tubuh Gadis sedikit lebih tinggi dari bisanya. Wajahnya juga pucat. Tidak secerah pagi tadi. Mungkin dia kelelahan. Kucoba bertanya apa dia sakit? Dia hanya menjawab tidak. Damian memeriksa Gadis. Katanya, Gadis hanya kelelahan. Jika terus dibiarkan, kondisi fisiknya akan menurun.
Beberapa hari kemudian, Lyn datang bersama Ken. Bisa kurasakan betapa hancurnya Lyn meski ia menutupi kesedihan itu dengan selalu tersenyum manis di hadapan orang-orang di RRTech. Lyn juga berusaha menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk Ken. Ken selalu menanyakan di mana? Dan bukannya memberi jawaban kebohongan, Lyn justru memilih jawaban yang sebenarnya. Yaitu mengatakan pada Ken bahwa ayahnya sudah meninggal dan istirahat dengan tenang di syurga.
Kondisi Gadis drop sebelum Lyn datang. Gadis hanya bisa berbaring di ranjang. Makanan yang masuk ke mulutnya keluar lagi karena muntah. Suhu tubuhnya semakin tinggi. Tubuhnya lemas. Jangankan untuk keluar kamar, turun dari kamar saja harus dipapah.
Lyn dan Gadis belum sempat bertemu. Padahal aku ingin sekali memperkenalkan mereka. Mungkin saja mereka berdua bisa berteman baik seperti Ana dan Lyn. Dan aku yakin Gadis akan sangat senang melihat Ken yang menggemaskan itu.
"Aku keluar sebentar." pamitku pada Gadis yang sudah tertidur lelap. Kubelai rambut panjangnya dan kucium keningnya. "Aku mencintaimu, Sayang."
Ruang kerjaku berada di lantai paling bawah. Salah satu orang kepercayaanku akan melaporkan beberapa hal mengenai penyelidikan yang dia dapat dari mengintai Elsa dan Freddy. Untuk informasi sepenting itu tidak bisa kulakukan di sembarang tempat. Harus di ruang kerjaku sendiri. Kami akan melakukan video call dan membahas masalah ini.
Keningku berkerut ketika pandanganku menangkap sosok wanita duduk di halaman depat dekat kolam ikan. Dari fisiknya, bisa kusimpulkan wanita itu Lyn. Lyn duduk sendirian. Bahunya bergetar pelan, sepertinya dia menangis.
"Lyn?" kutepuk bahu wanita itu. Benar saja, dia sedang menangis.
"Hey!" sahutnya seraya mengusap air mata.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Menikmati malam." katanya singkat.
"Lyn, aku mengenalmu dengan baik. Lima tahun lebih kita saling mengenal. Dan kau bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan kebohongan."
Lyn tersenyum kecut. Sepertinya menertawakan dirinya sendiri.
"Kau tidak sendirian di sini. Aku akan selalu berada di sisimu kapan pun kau mau. Jangan bersedih, kita akan melewati ini semua bersama-sama."
"Terima kasih."
"Sama-sama. Ayo masuk, angin malam tidak baik untuk kesehatan."
Aku dan Lyn berdiri bersamaan. Sepertinya, Lyn sudah merasa lebih baik. Kami berjalan melewati jalan dengan batu kerikil kecil yang memang sengaja disusun di sepanjang tepian kolam.
Langkahku terhenti saat melihat Gadis berdiri tak jauh dariku, diikuti Lyn yang tidak sengaja menabrak punggungku.
Masih dengan pakaian yang sama, dress tanpa lengan selutut berwarna biru laut, rambut tergerai dan melambai ketika terkena angin. Sandal jepit yang menjadi alas kakinya. Bibir pucat dan raut sendu yang begitu kentara membingkai wajahnya.
"Gadis?"
"Selama ini kau membohongi aku? Kau pura-pura amnesia?" suaranya serak. Air matanya telah menetas sebelum bibirnya terbuka.
"Untuk apa kau melakukannya?"
"Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan."
"Kau menipuku!" tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Dan siapa dia?" Gadis melirik sekilas pada Lyn.
"Aku bisa jelaskan." kataku cepat. Terlalu cepat bahkan.
Gadis berbalik meninggalkanku dan Lyn. Langkahnya terlalu cepat untuk ukuran orang hamil. Wajahnya semakin pucat. Tangisnya semakin terdengar memilukan.
"Gadis tunggu!" seruku seraya berlari mengejarnya. Jujur, aku takut dia terjatuh dan membahayakan nyawa anak kami. Gadis sama sekali tidak memperhatikan jalanan. Ia terus dan terus berlari tanpa mempedulikan aku yang hampir kehabisan oksigen.
"Aku bisa jelaskan!"
Gadis berlari di tengah kegelapan malam menuju manssion Rich. Tidak! Ini tidak boleh dibiarkan. Dia akan tersesat jika pergi ke sana sendirian.
"Gadis!" seruku, "Maafkan aku!"