PART. 3 PERMINTAAN FAIZ

784 Kata
Farah menyandarkan punggung, dan kepalanya pada sandaran kursi pesawat, yang tengah didudukinya. Dilirik Faiz yang duduk tepat di sebelahnya, mata Faiz terpejam, tapi ada senyum membayang di bibirnya. Farah tahu, kenapa Faiz tersenyum, karena sesaat sebelum mereka berdua berangkat tadi, Faiz menerima telpon dari Deasy, dan hal itu membuat senyum seakan tak pernah lepas dari bibirnya. Farah membuang pandangan ke luar jendela, setelah gagal berusaha untuk tidur seperti halnya Faiz. Masih terngiang dengan jelas di telinganya, permintaan Faiz yang meminta ia mengijinkan Faiz untuk menikahi Deasy. Tidak terasa air mata menetes begitu saja membasahi pipinya. Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi rasa sakit di dalam hati tidak dapat ia tahan. Sakit hati bukan karena Faiz ingin menikah lagi, tapi sakit itu karena Faiz mengucapkan keinginannya itu, tepat di malam pertama pernikahan mereka. Begitu tidak sabarnyakah Faiz, sehingga tidak menunggu mereka kembali ke Jakarta dulu? Pertanyaan itulah yang hadir di benaknya sejak malam itu. Farah kembali melirik Faiz, masih sama seperti tadi, mata Faiz terpejam, dan bibirnya mengukir senyuman, meski terlihat sangat samar. Farah menundukan kepala dalam, andai anak-anak ikut pulang bersama mereka, pasti suasananya akan terasa berbeda. Sayangnya orang tua Faiz, dan orang tua almarhumah istri Faiz, meminta agar anak-anak lebih lama lagi bersama mereka. Selain itu, mereka mengatakan, ingin memberikan kesempatan kepada Faiz, dan Farah untuk bisa lebih dekat lagi. Tapi sayangnya, waktu yang diberikan untuk mereka berdua, akan dipergunakan Faiz untuk melamar, dan menikahi Deasy. Menurut Faiz orang tua Deasy setuju mereka menikah, asalkan Farah sendiri yang datang untuk memberikan ijin. Farah akhirnya bisa tidur juga, setelah berusaha mengesampingkan kegundahan hatinya, meski mungkin hanya untuk sesaat saja. "Farah, bangunlah! Kita sudah mendarat." Faiz menggoyangkan lengan Farah pelan. Farah membuka mata, dan menegakan punggungnya. "Ehmm maaf, aku ketiduran" wajah Farah bersemu merah. "Tidak apa, ayolah kita turun" Faiz sudah berdiri dari duduknya, Farah ikut berdiri juga, untuk turun dari pesawat bersama-sama. -- Farah baru selesai sholat isya, saat Faiz terdengar memanggil dari luar pintu kamarnya. "Farah!" "Ya Mas, tunggu sebentar" Farah membuka pintu kamarnya. "Bisa kita bicara sebentar?" "Ya Mas" Farah mengikuti Faiz melangkah ke ruang tamu. "Duduklah" Faiz menunjuk sofa, yang ada di seberang sofa yang sudah didudukinya. Farah duduk dengan tatapan tepat ke arah wajah Faiz. "Mas ingin bicara tentang pernikahan Mas, dan Mbak Deasy?" "Ya, aku minta agar kamu ikut denganku ke Bandung besok. Aku akan melamar Deasy besok, dan seperti yang sudah aku katakan padamu, orang tua Deasy meminta agar aku membawamu serta. Mereka ingin mendengar sendiri dari mulutmu, kalau kamu merestui pernikahan kami" Farah menundukan kepala, lalu kepalanya mengangguk pelan. "Ya Mas, aku akan ikut, jam berapa berangkat?" "Kita berangkat besok pagi" "Baiklah Mas, ehmm apa masih ada yang ingin Mas katakan lagi?" "Tidak Farah, terimakasih banyak atas pengertianmu" "Aku kembali ke kamarku sekarang, selamat malam Mas" Farah bangkit dari duduknya untuk kembali ke dalam kamar tidurnya. Baru tadi pagi mereka kembali ke Jakarta, dan besok mereka harus pergi lagi ke Bandung. Farah menarik nafas dalam, bukan hanya tubuhnya yang terasa penat, tapi hatinyapun terasa sedikit lelah. Farah menyandarkan punggung, di balik daun pintu yang tertutup, dipejamkan mata, dan ditarik nafas perlahan. Ingin diusir keresahan yang tengah melanda hatinya. Farah duduk di tepi ranjang, menundukan kepalanya dalam, berusaha merenungi apa yang terjadi padanya beberapa hari ini. Semua kejadian, terasa begitu cepat datang silih berganti. Menikah, dan harus mengijinkan suami, yang sudah menikahinya untuk menikah lagi. Di dalam hatinya, memang tidak ada perasaan lain untuk Faiz. Sampai saat sebelum pernikahan mereka, ia masih menganggap Faiz hanya sebagai bossnya. Tapi setelah akad nikah, ia mulai belajar memposisikan diri sebagai istri Faiz, meskipun Faiz tidak menginginkannya. Farah tahu, ia tidak boleh berharap terlalu jauh akan rumah tangga mereka, ia tidak berani berharap karena takut kecewa. -- Orang tua Deasy yang sudah mengetahui segalanya tentang Faiz, dan Farah akhirnya menerima lamaran Faiz. Mereka tidak bisa menolak kehendak Deasy, yang tetap berkeras ingin menikah dengan Faiz, meskipun harus menjadi istri kedua. Pernikahan sudah ditentukan akan dilakukan sebulan lagi. Faiz, dan Farah sudah kembali ke rumah mereka, setelah pulang dari rumah orang tua Deasy. Tadi siang Faiz, dan Deasy menyempatkan membawa Farah untuk jalan-jalan sebentar di kota Bandung Karena itulah, mereka baru tiba kembali di rumah saat malam sudah menjelang. Begitu tiba di rumah, Farah ingin langsung masuk ke kamarnya, tapi Faiz memanggilnya. "Farah" "Ya Mas?" "Terimakasih banyak atas bantuanmu, tanpa bantuanmu rencana pernikahan yang kami inginkan, mungkin tidak akan bisa terwujud" ucap Faiz tulus. Farah menganggukan kepala, dan berusaha mengukir senyum di bibirnya. Hanya itu yang bisa dilakukannya. "Baiklah, ehmmm istirahatlah Farah" "Baik Mas" Farah kembali menganggukan kepala, dan segera masuk ke dalam kamarnya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN