“Hei, Sou!” teriak teman-temanku sesaat setelah aku keluar dari pintu kelas.
“Ah, kenapa?”
“Kami mau ke tempat KenKen, kau mau ikut?”
“Ada apa di sana?”
“He~ menyebalkan sekali kau, di rumahku ada video game, kita bisa main sepuasnya hari ini.” KenKen menepuk punggungku cukup keras sampai rasanya aku akan jatuh kalau aku tidak menahannya dengan kakiku.
“Aaah~ pamanku pasti akan marah kalau aku pulang telat lagi.”
“Nanti aku yang bilang.” Rengekku mengingat sebulan terakhir sudah tiga kali aku pulang larut. Kalau di rumah orang tuaku sih, tidak masalah kalau pun aku tidak pulang, tapi sekarang aku sedang di rumah paman dan bibiku, aku tidak bisa seenaknya.
“Haha ... kalian seperti kakak—beradik saja, apa-apa harus saling laporan satu sama lain.” Ujar Tomori sambil merangkul bahuku.
“Kalian memang tidak takut mengganggu orang tua KenKen? Kalian ini kan ribut sekali!” ujarku mengingat bagaimana teman-temanku ini adalah orang-orang yang paling bisa membuat gaduh entah di mana pun mereka berada.
“Ibuku selalu pulang malam, ayah juga sedang tugas di luar kota, jadi aku sendirian sampai ibu pulang.”
“Hee~ enak sekali, orang tuaku selalu ada di rumah setiap hari, hanya jam-jam tertentu saja mereka di luar rumah.”
“Jelas saja! Orang tuamu kan punya ladang sendiri, mau berpikir mereka sesibuk apa, huh?” Tomori memukul punggungku lagi hingga aku menjerit karena sakit, sementara mereka tertawa sangat keras.
Aku tahu orang tuaku memang hanya bekerja di ladang dan punya banyak uang hanya kalau panen kami berhasil, tapi bukan berarti orang tuaku selalu di rumah, kan? Menyebalkan.
“Berikan aku sebotol besar Cola, semangkuk mi instan dan keripik kentang.”
“Hahaha ... lihat dia Ken, dia mau memerasmu.”
“Tentu saja, aku harus dapat imbalan bagus untuk ini.” Aku ngotot, dan sialnya mereka malah tertawa, terutama KenKen yang sejak tadi hanya terkekeh sambil dipeluk oleh Nagi.
Sudahlah, aku memang tidak pantas memprotes. Jadi, aku ikut saja saat teman-temanku terus menyeretku pergi bersama mereka.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan mereka yang terus tertawa sambil bicara. Mereka berjalan dan terus menyeretku kalau mereka melihatku berjalan sedikit lambat saja. “Hei, hentikan!” gerutuku.
“Kau kenapa, sih? Uring-uringan terus?” tanya Heisuke sambil melipat tangannya di d**a.
“Aku ini bukan anak anjing yang harus diseret-seret.”
“Hei, kau itu yang paling manis di sini, aku tidak mau kalau sampai kau hilang begitu saja.” Canda Heishuke sambil menjembel pipiku, dan lagi-lagi aku merengek karena jengkel.
“Hei, Sou.” Panggil Nagi sambil mengendusku.
“A—apa?”
“Aku penasaran, parfum jenis apa yang kau pakai?”
“A—apa? Parfum apa?”
“Aromanya seperti ... karamel, iya kan?” tanya Nagi pada yang lain seolah ingin dapat pembenaran. Dan sialnya, semuanya membenarkan itu sambil mengikuti apa yang dilakukan Nagi,mengendusku.
“Iya benar, kau wangi sekali, Sou.”
“Heee~ hentikan! Aku mau beli Cola.” Ujarku kemudian berlari ke arah vending mesin di seberang jalan tapi sekali lagi, mereka menertawaiku seperti aku ini terlihat sangat lucu di mata mereka. Benar-benar b******k teman-temanku itu.
Tapi ... apa benar aku berbau karamel seperti itu?
Aku mengangkat tanganku dan kembali membaui ketiakku, hanya saja tidak ada aroma karamel atau apa pun itu. Di sana hanya ada bau keringat yang mungkin tidak akan tercium oleh orang yang tidak terus memelukku seperti mereka.
Aku mendekati vending mesin dan membeli sekaleng Cola dari sana, lalu tiba-tiba Nagi kembali merangkulku dan menyuruhku untuk buru-buru mengejar kereta karena KenKen bilang dia mau memesan makanan cepat saji dan akan diantar lima belas menit dari sekarang.
Mendengar kata makanan, aku langsung tertawa terbahak, semangatku langsung kembali dan aku langsung membalas rangkulan mereka kemudian berjalan bersama menuju ke stasiun.
Tiba di peron, aku melontarkan banyak sekali kalimat yang sepertinya lelucon untuk mereka, bukan hanya itu Nagi juga mengatakan kalau aku ini tidak akan bisa jadi lebih tinggi darinya. “Hei, aku ini bukan kurcaci dan aku pasti akan tumbuh lebih tinggi dari ini!”
“Haha ... iya, iya, Sou kita ini memang manis sekali~”
“Kau in—“
Brugh!
Seseorang menabrakku dari belakang hingga kaleng Cola yang baru saja kubuka tumpah begitu saja, dan cairannya sedikit mengenai baju teman-temanku. Karena marah dan dapat protes dari mereka, sontak aku langsung berbalik dan memarahinya.
“Hei apa-apan si ka—“
Tapi ...,
“Maaf, salahku, aku terburu-buru jadi tidak sengaja menabrakmu, akan kuganti.” Ujarnya sambil memberikanku sebotol air mineral.
Aku meringis melihatnya. Kenapa anak itu ada selalu ada di mana pun aku berada? Tuhan ... apa salahku? Kenapa aku terus seperti ini? Kalau memang aku harus membayar hutang padanya, setidaknya beri aku waktu untuk mengumpulkan uang~ ... kalau terus seperti ini caranya, aku mungkin akan benar-benar menangis.
“A—ah, terima kasih banyak.” Ujarku sambil menerima botol air mineral itu sementara dia langsung pergi seperti tidak punya urusan apapun denganku.
“Aaaa~ Sou! Pakaianku basah!” gerutu Nagi sambil mencoba mengeringkan bajunya yang sedikit kena tumpahan Cola milikku.
“Ish, manja~ haha ... nanti kita ganti kalau sudah sampai di rumahnya KenKen.”
“Benar, nanti kita ganti di rumahku.” KenKen menyetujui usul itu.
Sementara semua orang berdiskusi tentang apa yang akan mereka lakukan saat di rumah KenKen, aku mencoba melirik anak itu. Dia duduk di salah satu bangku dalam kereta, sendirian sambil membuka sebuah ponsel dan mengetik beberapa hal di sana.
Jadi, dia sudah punya yang baru ...?
Ah, kurasa dia anak orang kaya. Dan tidak seharusnya aku memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti mengganti ponselnya, hanya saja ... kurasa aku memang harus membayar untuk apa yang sudah kulakukan untuk benda berharga itu. Setidaknya, aku ingin menebus kesalahanku karena aku yakin benda itu selalu dia gunakan untuk menghubungi seseorang dan karena ulahku, benda berharga itu rusak.
“Eh,”
“Kenapa Sou?”
“Air merk ini rasanya aneh ....” ujarku setelah aku meminum seteguk air mineral yang dia berikan padaku. karena penasaran, Nagi dan Tomori mengambil botol air itu dariku dan mencicipinya, tapi mereka sama sekali tidak merasa kalau air itu aneh atau semacamnya, mereka bahkan meminumnya beberapa teguk dan memberikan sisanya padaku.
“Hei~”
“Haha, maaf, aku haus.”
“Ish, dasar....”
Selama kereta masih terus berjalan, aku tertawa bersama teman-temanku, tapi sesekali aku melirik bagaimana dia masih duduk di bangku sambil melipat tangannya di d**a dan memejamkan matanya seolah tidak ingin diganggu oleh apa pun dari dunia ini.
Aku dan teman-temanku turun saat satu stasiun terlewati, sementara dia masih duduk di sana seperti tidak pernah terjadi apapun.
Tunggu, dia lupa siapa aku?
Benarkah?
Tapi ... ah, sudahlah....
Saat di rumah KenKen, kami langsung main game, makan makanan yang dipesan olehnya sejak tadi dan hal itu membuatku melupakan apa yang kupikirkan sejak tadi pagi.
Setelah semua acara itu, Kenken mengantarku pulang. Bukan karena aku tidak bisa pulang sendiri, tapi karena dia tahu kalau aku tidak tinggal dengan orang tuaku dan tidak ada yang bisa membantuku memberikan alasan kongkrit, karenanya KenKen mengantarku pulang untuk bilang pada paman atau bibiku kalau aku memang baru saja kembali dari rumahnya dan bukan bermain di luar atau merokok dan yang lainnya.
Hanya saja, sebelum kami berjalan pulang, aku melihat Kogure.
“Sou,” panggilnya saat kami bertemu di pintu tiketing.
“Kogure, kau baru pulang?” tanyaku dan dijawab anggukan olehnya.
“Oh, hai Ken. Sudah lama kau tidak datang, bagaimana kabarmu?”
“Aku baik.”
“Kalian baru pulang?”
“Sou dari rumahku, jadi kupikir daripada dia dimarahi bibinya karena pulang terlambat, jadi aku ingin sekalian bilang kalau kami memang baru saja dari sana.”
“Oh, tidak masalah. Terima kasih sudah mengantar anak gadis kami ... hahaha.”
“Ap—hei!”
Belum sempat aku memprotes, mereka sudah tertawa sangat keras. Menyebalkan.
“Kalau begitu, bisakah kau membawanya pulang dan bilang pada paman dan bibi?”
“Oh, tentu saja. Ayo, Sou, kita pulang.” Ajak Kogure dan langsung menepuk punggungku halus untuk menggiringku pergi dari sana.
“Ah,” aku mengangguk, “Ken, terima kasih. Sampai jumpa besok.”
“Ya.”
Malam itu aku pulang bersama Kogure, dan Kenken kembali masuk ke dalam stasiun untuk pulang ke rumahnya lagi. Benar-benar sia-sia. Harusnya anak itu bisa menggunakan uangnya untuk hal yang berguna tapi dia malah rela mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk mentraktir kami dan mengantarkanku pulang.
Ah, aku lupa kalau sebenarnya KenKen itu anak orang kaya.
Ya, karena dari yang kudengar kalau ayahnya bekerja jadi salah satu orang penting di pemerintah dan ibunya juga punya usaha yang cukup sukses, tapi sepertinya KenKen sama sekali tidak tertarik dengan hal itu dan setiap kali kutanya tentang cita-citanya, anak itu selalu menjawab kalau dia tidak punya cita-cita sama sekali.
Sepanjang jalan aku dan Kogure terus mengobrol banyak hal, entah itu tentang pekerjaannya, tentang sekolahku atau yang lainnya yang membuat kami tertawa, bahkan saat tiba di rumah pun, paman dan bibi yang sudah berkutat di dapur entah sejak kapan langsung menyapa kami yang baru saja tiba.
Mereka tidak pernah bertanya kenapa aku pulang larut, mereka tidak mengekangku, tapi aku yang merasa tidak enak setiap kali aku pulang malam, karena bagaimana pun, pamanku ini bukan paman kandungku, dia hanya saudara tiri ayah dan itu ... membuatku tidak enak padanya karena sejauh ini, aku sudah banyak merepotkan dia.
Untuk ajakan KenKen part time juga aku sudah meminta izin pada mereka tapi aku tidak membiarkan paman atau bibiku mengatakannya pada ayah atau ibuku, karena aku yakin mereka pasti akan langsung datang dari Kobe dan mengintrogasiku seperti aku habis ketahuan mencuri sesuatu.
Pekerjaanku berjalan sangat mulus bersama KenKen di taman bermain di Amanoshidatte.
Aku cukup beruntung karena aku dibayar dua ribu yen setiap dua tiga jam, dan ini sudah hari ke delapan aku bekerja bersama KenKen di kedai makanan milik sepupunya KenKen tak jauh dari pintu masuk taman bermain tersebut. Semuanya berjalan sangat sempurna, aku dapat uang, pekerjaannya juga tidak terlalu capek dan aku mengantongi izin penuh dari paman dan bibi, Kogure juga kadang datang menengokku meski alasannya dia sedang berpatroli di sekitar sana sambil membeli segelas jus di kedai tersebut.
Hanya saja ...,
“Sou, kau baik-baik saja?” tanya KenKen yang khawatir saat dia tiba-tiba melihatku bermandi peluh.
“Kepalaku, sedikit ... pusing,” jawabku terbatas dengan tubuh menggigil.
“Kau yakin? Wajahmu sangat merah, mau kuantar ke dokter?”
“Ti—tidak, aku---ugh!”
Aku menutup mulutku spontan saat aku merasa mual yang luar biasa. Aku berusaha menyingkir dari sana, meninggalkan KenKen dengan wajah panik dan khawatir saat melihatku berlari ke arah kamar mandi.
“Huh, ngh...hhh....hhh....”
Sial, aku ini kenapa? Tubuhku ... tubuhku rasanya sangat panas, aku seperti terbakar dan rasanya perutku juga sangat sakit.
Aku mengunci diri di dalam toilet, di sana aku bisa merasakan bagaimana napasku sendiri menggebu seperti aku baru saja berlari Marathon sangat jauh, selain itu, aku seperti kerasukan. Aku menyentuh tubuhku sendiri, aku menyusupkan tanganku ke dalam baju dan bermain dengan p****g susuku sendiri.
Ini gila! Aku ini kenapa? Lagi pula ... kenapa aku merasa kalau celanaku basah?
Kulihat selangkanganku, di sana, aku melihat ada sedikit cairan dan terus merembes dari kepala penisku, sialnya, selain basah aku juga merasa kalau penisku sangat tegang, sangat pegal tapi aku tidak tahu aku ini terangsang oleh apa.
Dok!
Dok!
Dok!
Suara ketukan sangat keras dari luar terdengar sangat berisik, bukan hanya itu, aku juga mencium aroma aneh berasal dari luar, sangat tidak nyaman.
“Hei, buka pintunya. Ayo kita selesaikan pelepasan kita!” teriak seorang pria dari luar sana.
Aku takut, tubuhku menggigil, tapi aku tidak bisa mengendalikan tubuhku.
Tidak, aku harus tahan! Aku ... aku....
Bruak!
Pintu yang sudah kukunci dari dalam didobrak seseorang.
Aku nyaris melompat karena kaget, tapi detik selanjutnya aku bisa mengendalikan diriku karena yang mendobrak pintu kamar mandi itu, adalah anak yang kukenal.
Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia ... dia menutup hidungnya seperti yang dia lakukan setiap kali kami bertemu. Apa? Apa aku sebau itu sekarang? Apa aku punya masalah bau badan sampai dia harus menutup hidungnya seperti itu?
Tidak ... aku ingin memeluknya.
Aku tidak tahu seperti apa wajahku sekarang, tapi yang jelas, aku benar-benar ingin memeluk orang ini. Kupikir, dia akan menyingkirkan tanganku, mengibasnya dan memukulku karena aku yang sekarang mungkin sedang bertingkah seperti orang m***m, tapi ternyata tidak ... dia, menerima pelukanku.
Dia memelukku, mencium ceruk leherku dan menjilatnya beberapa kali, aku mendesah sangat keras sambil mencengkeram punggungnya. Entah apa yang dia rasakan saat mendengar suaraku, tapi setelahnya aku merasakan tangannya menyentuh selangkanganku, meremas penisku hingga aku kembali menjerit.
Aku cukup beruntung karena setelah dia mendobrak pintu itu, dia kembali menguncinya rapat hingga orang-orang di luar sana tidak bisa melihat bagaimana kelakuan kami berdua di dalam sini.
Suara di luar sana juga terdengar sangat gaduh, aku tidak tahu itu suara siapa, aku bahkan tidak peduli aku sedang apa, yang jelas aku ingin pelepasan, aku ingin sesuatu membuatku puas, a—
Dia menarik kepalaku dengan menjambak rambutku sampai aku menongak hingga belakang leherku terasa sangat sakit. Kupikir dia akan menjatuhkanku, tapi tidak, dia memelukku dengan posisi terduduk dengan dia yang menyangga punggungku, setelah itu dia menciumku.
Ciuman yang rasanya benar-benar aneh, rasanya seperti ... suppressant.
Dia melepaskan ciumannya sebelum dia kembali mencium ceruk leherku dari belakang, sementara tangannya terus meremas selangkanganku dan aku terus mendesah seperti orang bodoh. Aku berbalik, memeluknya dari depan dan dia merangkulku sangat erat.
Bruak!
Pintu itu kembali didobrak dari luar.
Saat telingaku mendengar kegaduhan, aku sudah tidak bisa melihat apa pun lagi. Kesadaranku seperti lenyap setelah aku menelan suppresant yang dia berikan melalui mulutnya. Hanya saja, hidungku mencium bau anyir yang sangat pekat setelah itu.
_