Pevita pulang menggunakan taksi. Masih kesal dengan fakta bahwa Gara sudah berkeluarga. Sejujurnya, dia bisa saja memanggil Gilang, tetapi dia tidak ingin. Suasana hatinya sedang buruk. Dia butuh sendirian. Meski... itu membuatnya takut, sedikit.
Rintik-rintik air mulai jatuh ke bumi sore itu. Menguarkan aroma petrikor yang dapat Pevita cium begitu dia menurunkan kaca mobil. Pikiran Pevita kemudian melayang, jauh, pada masa-masa yang tak pernah terlupakan dalam hidup. Masa-masa saat dia masih memiliki orang yang mampu memahami dirinya meski dirinya tak lagi utuh.
Pevita membuka ponsel, melihat-lihat galeri lama yang dia simpan. Galeri yang selalu dia hindari tetapi enggan untuk dihapus. Sebab, di sana hidup kenangan tentang masa lalunya. Tentang orang-orang yang pernah ada di hidupnya. Tentang berbagai suka dan duka yang dia simpan sejak lama.
“Rama... Bian....” bisik wanita itu, tersenyum sendu, mengusap layar ponsel yang menampilkan foto seorang gadis berseragam putih abu dengan dua orang pemuda di sisi kiri dan kanannya. Foto yang selalu berhasil membuatnya tersenyum sekaligus menangis di saat yang sama.
Pevita menarik napas dalam-dalam, dan angannya tanpa diminta berkelana pada momen beberapa tahun lalu, saat pria bernama Rama dan Bian masih di sisinya. Dua pria yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Dua pria yang membantu Pevita lepas dari rasa takut untuk menghadapi dunia, dulu.
“Nggak semua orang di dunia ini jahat, Pe. Lo harus bangkit dan lihat sekeliling. Ada gue dan Rama, kita nggak pernah nyakitin lo. Kita sayang sama lo,” kata Bian suatu ketika, saat Pevita menolak untuk pergi sekolah, menolak untuk keluar dari kamar, dan menolak bertemu siapa pun, setelah peristiwa nahas menimpa dirinya.
“Aku tahu kamu takut. Tapi kalau kamu nggak mau melawan ketakutan kamu, artinya kamu lemah. Kamu akan kalah,” Rama menimpali di sisi lainnya.
Pevita yang saat itu bersembunyi di balik selimut, menurunkan kain tebal tersebut, mengintip wajah dua sahabat yang selalu menemaninya sejak kecil. Rama, si pemuda berparas manis, memiliki banyak prestasi membanggakan, cerdas, dan berkepribadian hangat. Juga Bian, pemuda tinggi dengan wajah tampan yang membuatnya digilai banyak perempuan meskipun saat itu mereka baru duduk di bangku SMP. Dua sahabat yang sudah mengenal Pevita sejak dia bahkan baru saja dilahirkan ke bumi.
“Apa gue pecundang?” lirih Pevita, tak berani menatap langsung dua pemuda itu.
Rama tersenyum teduh. “Nggak. Semua orang punya ketakutan dan kelemahan masing-masing, termasuk aku dan Bian. Tapi kalau kamu nggak berani melawan ketakutan dan kelemahan kamu, tentu kamu akan berakhir jadi pecundang.”
“Betul,” Bian mengamini. “Lo harus belajar dari gue. Kita semua tahu bahwa gue benci air, tapi gue melawan rasa takut itu. Akhirnya apa, gue bisa berenang pas ujian praktek SD dulu.”
“Tapi pas latihan lo nangis, Bian. Hampir ngompol pula,” celetuk Pevita dengan tampang polos.
Bian menggaruk tengkuk, cengengesan. Itu memang momen paling memalukan, mendebarkan, sekaligus membanggakan untuk pria itu. “Iya. Tapi pada akhirnya apa? Gue tetap berhasil, kan? Itu semua soal proses. Termasuk lo.”
“Tapi, gue...”
“Dia sudah dipenjara," tukas Rama, menyela ucapan Pevita yang pastinya hanya soal ketidakpercayaan dirinya sendiri.
Rama berkata pelan, tetapi kalimat itu cukup membuat Pevita remaja terdiam, memegang ujung selimut keras-keras untuk meredam tremor yang menyerang dirinya. Padahal, Rama tidak menyebut nama orang itu, tetapi Pevita masih merasakan efek dari kejahatan yang dia lakukan terhadap dirinya.
“Kamu nggak perlu takut lagi. Kamu juga punya aku sama Bian. Kita ada buat kamu, Pe," lanjut Rama. Tutur kata pria itu tidak pernah tidak hangat. Selalu lembut dan mengena di hati. Hal yang selalu membuat Pevita nyaman bercerita padanya soal apa pun itu, termasuk kejadian nahas itu.
Pevita berusaha bernapas normal meski rasanya sulit. Setiap ingat momen mengerikan itu, seluruh oksigen rasanya lenyap dari sekitar, membuatnya sesak dan sulit untuk sekadar menghirup napas. “Tapi gimana dengan yang lain? Bagaimana pandangan mereka atas gue setelah kejadian ini? Gue... gue kotor. Gue kehilangan segalanya," lirih Pevita, syarat akan pilu yang mengungkung dirinya.
Bian mendekat ke arahnya. Melepaskan cengkraman erat tangan Pevita pada selimut dengan sangat hangat dan hati-hati, seolah jemari Pevita begitu rapuh dan sentuhan sepelan apa pun akan menyakiti gadis itu. Dia menggenggam tangan Pevita, mengusapnya perlahan. "Lo masih punya kita, lo lupa? Lo juga punya Kak Eve yang sayang sama lo. Lo nggak sendirian," tutur Bian, menatap Pevita sungguh-sungguh.
Bian memang tidak seperti Rama yang sangat hati-hati dalam bersikap sebelumnya. Dia cenderung berbicara blak-blakan, bersikap seperti cowok seusianya yang bengal, dia juga pribadi yang jarang terlihat serius, selalu bercanda dan tengil. Tapi jika sudah dalam mode serius, dia bisa lebih serius dari orang terserius mana pun.
Pevita menatap Bian dan Rama dengan sangsi. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajah murungnya semakin kentara. “Apa gue bisa lalui semuanya? Gue bahkan pernah takut ketemu kalian. Gue pernah nggak percaya sama kalian. Gue—“
“Lo hanya butuh waktu untuk mulai percaya lagi pada orang, pada takdir, pada dunia," ujar Bian, melirih.
Pevita berusaha membendung air mata yang mendesak keluar. Menahan keras-keras isakkannya agar tak keluar dari tenggorokan. “Tapi bukankah itu semua memang nggak bisa dipercaya? Mereka ngekhianatin gue. Manusia, takdir, hidup, dunia. Mereka bikin gue ada di posisi ini," ucapnya.
Rama mengulas senyum tipis. "Tapi takdir juga yang membawa lo ketemu kita. Kamu hidup di dunia ini sehingga kita bisa ketemu. Benar?"
Pevita bergeming cukup lama, menatap lekat-lekat pada kedua temannya. Lalu, air mata dan isakkan itu tidak bisa lagi Pevita bendung. Apa yang dikatakan Rama dan Bian benar. Takdir telah membawanya bertemu orang-orang baik seperti mereka. Meski takdir menyakitkan, meski takdir menampar dan menghancurkannya, tetapi dia juga membawanya pada orang-orang baik di sekelilingnya. Dia tidak sendiri.
Pevita tersenyum kecil membayangkan hari itu. Setelah puluhan hari hanya mendekam di kamar, menangis, tidur, menangis, tidur, dia akhirnya bisa keluar dari masa-masa sulit itu berkat Bian dan Rama. Dua orang yang menguatkannya, kemudian kembali menghancurkan Pevita saat kepergian keduanya begitu mendadak, tragis, dan tak terduga.
Pevita menghapus setitik air mata yang tiba-tiba jatuh. Dia benci mencium aroma petrikor, mendengar suara hujan yang turun ke bumi, dan juga petir. Dia benci, saat hal-hal itu hanya membawanya pada kenangan masa lalu. Pada momen-momen yang membuatnya kembali terluka.
Pevita ingin kembali sembuh dan baik-baik saja, tetapi semua itu hanyalah angan semata. Dia tidak pernah membaik setelah kepergian Bian dan Rama, dia hanya berpura-pura. Dia bersikap seolah semua sudah berlalu, padahal luka itu masih basah, seolah semua baru saja terjadi kemarin hari.
"Kita sudah sampai."
Suara sopir taksi menginterupsi lamunan Pevita. Gadis itu memberikan ongkos sesuai nominal yang disebut, kemudian turun tanpa berkata sepatah kata pun. Dirinya tidak bisa berkata apa pun saat sesak melanda. Saat sebagian dirinya yang hancur kembali merangkak untuk menggerogoti dirinya yang lain. Berlomba-lomba merobohkan pertahanan dirinya yang tersisa.
"SIAL!" Pevita berteriak nyaring, menendang pintu rumahnya keras-keras sampai heels yang dia gunakan patah, dan pintu rumahnya tergores lumayan dalam.
"Hidup ini sial. Takdir sial. Gara juga! Sial. Aku benci semua ini!" umpatnya.
Pevita menjambak rambut keras, hingga beberapa helainya jatuh. Pot-pot bunga yang disusun di teras dia tendang dan lempar hingga beberapa hancur, dan beberapanya terjatuh sembarangan.
Angin bertiup kencang, hujan yang semula hanya gerimis, kini mulai turun agak lebat, dan itu memicu Pevita kembali mengamuk.
"Berhenti turun! Aku benci suara kalian! Aku benci aroma kalian! Aku benci segala hal tentang kalian, hujan! Jadi berhenti!" jeritnya keras-keras. Tapi, langit tidak mendengar pintanya. Hujan terus turun, semakin deras, dan deras. Sementara Pevita, dia hanya bisa terus berteriak menggila. Hingga tubuhnya lelah dan dia menjatuhkan diri di sofa ruang tengah dengan wajah yang berantakan.
***