14. Naif

1122 Kata
Sekitar pukul sebelas malam, Agnes harus pamit pulang. Padahal, yang lain justru sedang asyik-asyiknya. Sebab semakin malam, suasana semakin meriah. Tapi bagi Agnes, itu sudah cukup. Dia tidak butuh suasana yang lebih ramai. Hal tersebut justru membuatnya semakin tak nyaman. Belum lagi orang rumah yang mungkin akan bertanya mengapa dia pulang begitu larut. “Kamu mau pulang?” tanya Lucas, ketika Agnes menghampirinya. Laki-laki itu sudah menyapa teman-teman Agnes tadi, meski hanya sebentar. Semua orang, termasuk Sena dan Sabrina, begitu senang pada Lucas. Selain tampan dan tinggi, pria itu sangat humble, mudah bergaul dengan yang lain. Sungguh karakter yang berbanding terbalik dengan Agnes. “Iya. Sudah jam 11, takut Kak Gara ngomel.” Agnes tersenyum lebar, membenarkan tas selempangnya. “Kalau gitu, tunggu. Aku ambil mobil dulu.” “Lho? Ke mana?” Agnes tanya. “Ya, antar kamu pulang.” Agnes seketika menggeleng. “Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok,” tolaknya. Agnes tidak bisa mengganggu pekerjaan Lucas, apalagi kelab sedang ramai seperti ini. Tapi seperti Agnes, Lucas juga sama kukuhnya. “Nggak bisa. Ini sudah larut. Aku harus antar kamu,” katanya secara mutlak. Pada akhirnya, Agnes tidak bisa menolak pria itu. “Ya sudah, kalau kamu maksa.” Lucas tersenyum. Keluar dari balik meja bar menuju ke arah Agnes. Dengan sigap, pria itu memeluk bahu Agnes. Membuat Agnes menoleh padanya dengan senyum lebar. Sudah lama rasanya Lucas tidak memeluknya seperti ini. Sesekali memang, mereka kencan berdua. Tapi benar-benar hanya pergi keluar, menonton film di bioskop, makan malam, berbelanja keperluan di supermarket. Hanya itu. Tanpa sentuhan fisik yang berarti. Jangankan saling memeluk dan mencium, berpegangan tangan pun hanya di saat-saat tertentu. Maka wajar, semakin lama Agnes merasa semakin jauh. Merasa hubungan keduanya jalan di tempat tanpa kemajuan. *** “Padahal kamu lagi kerja. Nggak apa-apa memang?” tanya Agnes, ketika dia dan Lucas sudah masuk ke dalam mobil. Lucas melirik singkat pada Agnes. “Aku pemilik kelabnya, Nes. Apa yang perlu ditakuti memang? Toh, ada bartender lain juga,” balasnya, seraya tetap fokus pada setir. Agnes tersenyum kecil. “Tetap saja... aku nggak enak,” pungkas gadis itu, menunduk. “Akhir-akhir ini kamu sibuk banget. Aku pikir, aku nggak bisa ganggu kamu.” Untuk beberapa saat, keheningan tercipta. Agnes tahu ucapannya akan menggiring mereka pada pembicaraan yang sensitif. Tapi kalimat tersebut meluncur begitu saja. Dan ketika akhirnya tersuarakan, Agnes merasa lega, seolah dia sudah lama menahan itu semua. Lucas menoleh ketika mereka tiba di lampu merah. Seraya menunggu lampu berubah, Lucas memusatkan atensi pada wajah gadis di sisinya. Melihat penampilan Agnes yang tak biasanya, Lucas hanya terdiam. Agnes cantik. Wajah polosnya selalu mengagumkan dalam riasan apa pun. Entah itu riasan natural seperti biasanya, atau bahkan saat ini. Tapi jujur, melihat penampilan gadis itu saat ini, membuat Lucas agak khawatir. Agnes bukan tipikal gadis nakal. Dia sangat naif, dan terkadang itu membuat Lucas takut. Dia takut bahwa suatu saat dirinya akan melukai gadis itu. Gadis yang begitu baik mau menuntunnya menyembuhkan luka. Lucas membuka jaket yang dia gunakan, kemudian mencondongkan tubuh ke arah Agnes sehingga membuat perempuan itu agak terkejut awalnya. Lucas meletakkan jaket tersebut di paha Agnes, semata-mata untuk menutupi kulit mulusnya yang terekspos. “Kalau kamu nggak nyaman dengan pakaian ini, jangan dipakai. Kamu kelihatan kedinginan banget,” ucap Lucas, masih di posisi yang sama dengan beberapa saat lalu. “Dan, maaf untuk belakangan ini. Kamu tahu aku lagi sibuk sama bisnis baru aku di bidang kuliner. Aku harus mantau banyak hal di siang hari, lalu ke kelab di malam harinya sampai nggak punya banyak waktu buat kamu seperti biasa.” Usai mengucapkan kalimat tersebut, Lucas tersenyum manis, mengusak puncak kepala Agnes. Agnes tentu saja tertegun. Meski tiga tahun sudah bersama Lucas, tetapi pria itu sama sekali jarang melakukan kontak fisik seperti ini. Lebih tepatnya untuk akhir-akhir ini. Semasa awal hubungan, mereka masih melakukan kontak fisik secara intens. Hanya saja, seiring waktu berjalan, keduanya mulai jarang melakukannya. Waktu seolah membuat kemesraan mereka terkikis. “Kalau aku free, kita jalan, gimana?” Lucas menawarkan. Agnes jelas saja mengangguk dengan semangat. Gadis tersebut memang benar-benar naif. Dia begitu mencintai sosok di sisinya, sehingga dia selalu lupa terhadap hal-hal yang belakangan dikhawatirkan. Kadang kala, Agnes merasa ingin berhenti. Dia takut jatuh terlalu dalam. “Boleh,” Agnes jawab. “Aku mampir besok ke apartemen kamu. Pasti lemari es kamu sudah kosong.” Lucas melajukan kembali mobilnya dengan kecepatan sedang, sebab lampu sudah berubah warna. “Setiap kamu datang, aku pasti lagi tidur. Atau nggak, malah lagi nggak ada.” Agnes tersenyum. Memang benar, Agnes sering datang ke apartemen Lucas untuk mengecek isi kulkas pria itu. Dia akan memasak, mengisi kulkasnya dengan banyak makanan dan minuman juga buah, tak jarang juga membersihkan apartemen Lucas. Agnes benar-benar sudah seperti istri yang mengurus suaminya dengan baik. Berbagai obat-obatan pun dia sediakan untuk pria itu. Meski terkadang Lucas protes, karena katanya dia jarang sakit, Agnes tidak menggubris. Dia selalu bilang untuk siap siaga. Sakit itu tidak pernah ada yang tahu kapan datangnya. “Nggak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk dan kamu capek. Lagi pula, aku nggak pernah lama.” Lucas melirik Agnes dengan senyuman tipis yang terpatri di wajahnya. “Aku nggak ngerti sama kamu,” katanya. Agnes menaikkan alis dengan bingung. “Kenapa?” dia tanya. “Kamu terlalu baik, sampai kadang aku berpikir, aku nggak bisa mengimbangi kamu.” “Kenapa harus mengimbangi aku? Kebaikan seseorang sesuatu yang nggak bisa diukur. Kalau kita terus perhitungan, susah. Yang ada malah jadi rendah diri,” Agnes membalas lugas, “lagi pula, aku nggak sebaik itu. Di luar sana masih banyak manusia yang lebih baik. Hanya saja kamu, kita, nggak tahu.” *** “Saya rasa, kita tidak bisa berlatih di rumah kamu lagi.” Pevita menatap Gara serius, ketika tiba-tiba Gara berkata demikian. “Kenapa?” dia bertanya heran. Gara mengedikkan bahu dengan singkat. “Tempat kamu terlalu luas, dan tidak ada siapa pun di sini kecuali kita berdua. Saya takut akan menimbulkan fitnah," ucapnya, bicara serius. Sementara itu, Pevita membulatkan mata takjub. “Waw, aku kira kamu manusia dingin yang nggak memikirkan ucapan orang lain. Ternyata, nggak juga," katanya, terkekeh sumbang. “Saya akan menghubungi kamu lagi perihal tempat latihan,” tukas Gara. Sama sekali tak terganggu dengan kalimat bernada satir Pevita. Pevita tersenyum manis. “Tentu saja. Mau menghubungi karena kangen juga aku nggak keberatan,” balas wanita itu. Lagi-lagi membuat Gara menghadiahinya tatapan kesal. Semakin Gara kesal, Pevita semakin suka. “Dan saya harap, kurangi sikap kurang ajar kamu. Itu mengganggu saya.” “W-what? Kurang ajar?” Pevita membulatkan mata, sedikit terkekeh sinis. Tak percaya seseorang bisa berkata seperti itu padanya. “Ini pertama kalinya seseorang bicara sekasar itu tepat di hadapan muka aku sendiri," katanya, dengan nada sok tersakiti. Tapi sebenarnya, tidak sama sekali. Bukankah dia pernah bilang, bahwa ucapan kasar Gara tak pernah menyakitinya? Pevita seolah memahami pria itu, dan justru tertarik karenanya. “Ke depannya kamu akan terbiasa. Karena saya orang yang cukup berterus terang.” Pevita kehabisan kata, sehingga yang dilakukannya hanya menggeleng pelan. Gara memang sesuatu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN