Pevita tidak pernah berekspektasi dia akan datang ke studio Gara, bahkan rumahnya, dalam waktu dekat ini. Dia pikir, pria itu terlalu sulit untuk dia taklukkan dan terlalu sulit walau sekadar didekati. Namun, apa yang terjadi sekarang? Pevita sudah memiliki akses untuk datang ke studio dan juga rumah pria tersebut yang letaknya tepat di samping studio lukis. Astaga, Pevita tidak percaya ini!
Dia pikir, Gara akan memilih tempat yang lebih buruk. Seperti studio sewaan, atau apa misalnya. Pevita tidak menyangka bahwa pilihan pria itu justru menguntungkan Pevita dan membuatnya semakin antusias.
“Nanti saya tunggu Mbak di—“
“Nggak usah ditungguin, Lang. Kamu pulang saja. Aku bisa tinggal sendiri,” potong Pevita, sebelum Gilang menyelesaikan kalimatnya.
Pemuda yang umurnya beberapa tahun di bawah Pevita itu menoleh ke jok belakang, tempat di mana Pevita duduk seraya merapikan lipstiknya. “Lho, terus nanti kalau Mbak Pevita butuh apa-apa bagaimana?” tanya Gilang. Netra besarnya menatap Pevita heran.
“Aku sudah gede. Lagi pula, aku lagi cuti kerja. Kamu juga seharusnya ikut free, Lang. Nikmati waktu bebas kamu. Kalau aku sudah balik syuting, berabe. Kamu bakal susah buat libur lagi,” timpal Pevita. Dia memasukkan lipstiknya ke dalam tas, kemudian tersenyum kecil pada Gilang.
Mood wanita itu pasti sedang sangat baik. Lihat saja betapa lembutnya perkataannya. Tidak seperti Pevita yang biasa.
“Tapi, Mbak, kalau Mbak Fiona nanti—“
“Sudahlah. Fiona memang terlalu cerewet. Kalau ada apa-apa mah gampang, aku bisa hubungi kamu, kan?”
Gilang mengusak rambutnya sendiri, bingung. “Ya sudah. Mbak Pevita hati-hati.” Dan pada akhirnya dia hanya bisa mengalah. Lagi pula, jelas saja dia lebih takut dan patuh kepada Pevita ketimbang Fiona. Meski sesungguhnya jika dua wanita itu sedang berbeda paham, dia sendiri yang terjepit. Ini salah, itu salah. Ribet.
“Yo. Kamu juga hati-hati bawa mobilnya!” balas Pevita seraya turun dari mobil.
Usai mobil yang dilajukan Gilang berjalan, Pevita berbalik, menatap gerbang hitam yang berdiri sekitar beberapa sentimeter di bawah bahunya. Cukup pendek, tidak seperti rumahnya yang dipagar oleh gerbang tinggi.
Dia hendak mengirim pesan pada Gara bahwa dirinya sudah tiba, tetapi urung sebab tak lama kemudian dia melihat kehadiran pria itu. Namun, dia tidak sendiri. Melainkan... bersama seorang gadis kecil di gendongannya.
“Dia keponakannya?” monolog Pevita, mengerutkan alis. “Ternyata orang dingin kayak dia juga penyayang anak kecil,” lanjutnya, terkekeh kecil membayangkan bagaimana Gara saat dia bermain dengan anak-anak. Menggemaskan.
“Kamu datang cepat,” sambut Gara dengan tampang tanpa ekspresinya seperti biasa. Pria itu membuka kunci gerbang dan melebarkan pintunya sehingga Pevita bisa masuk leluasa.
“Tentu saja. Aku excited banget dari semalam pas kamu bilang tempat latihan kita di studio kamu. Rasanya, aku mau skip waktu. Jangan ada malam kemarin, maunya langsung pagi, supaya bisa langsung lari ke sini, terus—“
“Ini anak saya, Thalia,” sela Gara, menghentikan ucapan Pevita.
Sebab ucapannya terpotong begitu saja, dia tidak bisa mencerna dengan baik pembicaraan Gara barusan. Sehingga yang dilakukannya terdiam, kemudian menyengir lebar.
“Thalia?” Wanita itu menatap Gara, kemudian pada gadis berpipi gembil di gendongannya. “Wah, keponakan kamu cantik—“
“Dia anak saya.”
Mendadak, Pevita merasa tubuhnya membeku dan lidahnya kelu. Anak? Apa dia salah dengar? Namun, Gara mengucapkan itu sebanyak dua kali, mana mungkin pendengarannya terganggu. Tapi, bagaimana bisa?
“Tunggu!” Pevita mengangkat tangannya. “Anak kamu? Maksudnya, kamu sudah nikah?”
Pevita memiringkan kepala. Memasang telinga baik-baik untuk mendengar jawaban yang akan terlontar dari bibir Gara, namun ...
“Kita harus mulai latihan. Waktu sedikit pun sangat berarti, bukan?”
Gara berjalan begitu saja. Menuntun langkah mereka lebih dalam menuju pekarangan rumahnya. Sementara di belakang, Pevita terkekeh pelan setelah beberapa saat. Lalu berjalan cepat menyusul langkah Gara.
“His, bercanda kamu berlebihan!” tukas Pevita, masih mengira bahwa apa yang Gara ucapkan hanyalah sebuah kebohongan. Mungkin saja dia hanya bercanda, atau sengaja memukul mundur Pevita agar tak lagi mengganggunya.
“Saya tidak bercanda. Thalia memang anak saya.”
Kembali, Gara menegaskan ucapannya. Pria itu berhenti di halaman samping kiri rumah, di mana di sana ternyata ada sebuah bangunan lain yang mungkin merupakan studio yang Gara maksud sebelumnya.
Bangunan tersebut tidak besar. Mungkin hanya terdiri dari satu atau dua ruangan. Memiliki kaca-kaca yang lebar, yang di depannya terdapat banyak jenis tanaman yang segar. Tanda bahwa tanaman tersebut dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Sementara, pintu bangunan tersebut hanya pintu satu sisi, berwarna cokelat, dan tampak masih baru.
"Bagaimana bisa aku percaya kalau dia anak kamu?" Pevita bertanya sangsi.
Gara menghentikan langkahnya tepat di depan pintu yang barusan dia buka. "Saya tidak perlu menjelaskan apa pun. Kalau kamu cukup pintar, kamu pasti bisa tahu apakah saya bohong atau tidak."
Pada detik itu, Pevita benar-benar hanya terdiam membeku. Apakah Gara benar-benar sudah menikah? Ah, sial! Jika anak kecil itu memang anaknya, sudah pasti dia sudah menikah! Mana mungkin dia memiliki anak tanpa pernikahan. Pevita mendumel dalam hati.
Tapi bukankah seharusnya dia tidak se-sensitif ini? Toh, dari awal dia hanya merasa penasaran akan orang yang pernah menyelamatkannya. Tidak mungkin dia benar-benar menyukai Gara, kan? Atau mungkin ... Iya? Dia sudah menyukainya?
"s**t, b******k!" umpat Pevita pelan. "Gak mungkin. Nggak mungkin aku benar-benar suka dia. Dia bahkan sudah nikah. Oke, benar. Aku nggak suka dia beneran."
Tapi, hati kecilnya terus melawan. Sengatan listrik yang mengaliri hatinya sesaat tadi mematahkan apa yang dia ucapkan.
*
Mood Pevita benar-benar anjlok. Fakta bahwa dia menyimpan rasa penasaran yang besar selama bertahun-tahun pada pria yang sudah menikah begitu melukai harga diri wanita itu.
Pevita duduk di bangku kayu di pojok ruangan. Di dekat lukisan-lukisan indah yang Gara ciptakan disusun di sebuah meja. Studio tersebut tidak begitu kotor, tapi cukup berantakan karena begitu banyaknya kanvas dan juga lukisan-lukisan yang tergeletak di sembarang meja.
Sesekali, Pevita melirik batita di gendongan Gara. Anak itu memang cantik dan sangat mirip Gara. Lalu entah mengapa fakta tersebut membuatnya amat kesal.
"Kamu bisa mulai dengan praktek materi dasar yang saya ajarkan kemarin. Soal posisi duduk," suruh Gara, seraya menata beberapa kanvas di sudut ruangan.
Ogah-ogahan, Pevita berjalan menghampiri pria tersebut. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sudah nikah?" tanya wanita tersebut dengan tampang yang ditekuk, kesal. Permata kelamnya menatap Gara lurus-lurus.
Gara seketika menghentikan aktivitasnya menyusun kanvas, kemudian menoleh pada Pevita perlahan. "Apa saya harus mengatakan pada setiap orang yang baru saya temui bahwa saya sudah memiliki anak?" papar Gara logis.
"Nggak, tapi ...."
Ucapan Pevita harus terhenti ketika seseorang datang ke ruangan tersebut. Seorang perempuan. Dari wajahnya, dia tampak masih muda. Tubuhnya tak lebih tinggi dari Pevita. Berambut lurus sepunggung, dengan binar mata yang indah. Penampilan perempuan itu sungguh sederhana, tetapi kecantikan alami memancar dari wajahnya.
Pevita terus menyaksikan gerak-gerik perempuan itu. Pun perempuan tersebut tampak menatapnya dengan sangat intens. Ketika dia berjalan ke arah Gara kemudian mengambil alih Thalia dari gendongan Gara, pada detik itu Pevita menyadari sesuatu.
Apakah dia istrinya?
Perempuan itu melirik Gara dan Pevita dengan ragu. Membuat Pevita semakin yakin bahwa dia memang istri Gara. Bahkan anak tersebut mirip dengannya!
'Ternyata si dingin ini jeli juga. Istrinya cantik meski penampilannya biasa saja.'
"Ini, kamu artis kan, ya?" Perempuan itu menatap Pevita dengan delikan intens. "Pevita Agatha, betul?"
Sebisa mungkin Pevita memasang senyum, meski rasanya sangat enggan. "Iya, saya Pevita."
"Astaga!" pekik wanita tersebut, menutup mulut dengan jari-jari lentiknya. "Serius? Saya penggemar film-film Mbak, lho! Hampir semua film yang Mbak bintangi sudah saya tonton."
Perempuan tersebut tampak begitu antusias hingga matanya berkaca-kaca. Pevita antara kesal dan juga senang karena dia bertemu dengan fans yang menonton hampir semua projeknya. Bukankah itu suatu kebanggaan?
Tapi, dia istri Gara. Kenyataan itu entah mengapa membuat kebahagiaan Pevita rasanya lenyap.
"Agnes, sebaiknya kamu bawa Thalia sarapan."
Gara menginterupsi. Pria itu memeluk bahu perempuan yang dipanggil Agnes tersebut, membawanya keluar dengan paksa. Melihat itu, Pevita merengut. Hatinya terasa tercubit melihat Gara bisa memperlakukan seseorang dengan lembut.
Sial. Lagi-lagi, pikiran apakah dia menyukai Gara secara sungguh-sungguh mengganggu pikirannya.
"Maaf atas gangguannya," tukas Gara usai kembali dari membawa Agnes. "Kita bisa mulai sekarang."
Pevita menoleh dengan kesal. "Oke. Hari ini aku nggak bisa lama. Aku sibuk, banyak urusan!" ketusnya.
Gara mengangkat bahu acuh. "Tentu," dia membalas ringan. Dan itu, sungguh, membuat Pevita semakin jengkel.
***