BAB 3

1629 Kata
"Hei... Bangun!" Adam menendang-nendang kaki Kailen yang menggantung. Sesekali dia menggoyangkan bahu wanita itu. "Bangun!" gertaknya tanpa mempedulikan Kailen. Kailen menggeliat akibat rasa kantuk yang menyelimutinya. Hingga bentakan Adam kembali terdengar membuat tubuh Kailen terlonjak kaget. Dia sontak bangkit dari sofa bed dan segera menundukkan kepala di hadapan Adam. "Kau tidak mendengar ucapan ku?" tanya Adam masih dengan nada penuh emosi. "Maafkan saya, Sir. Saya—" "Aku tidak butuh alasanmu. Cepat siap-siap. Ini sudah jam enam pagi," ucap Adam dan berlalu dari hadapan Kailen. "Tidak bisakah dia membangunkan ku dengan cara yang sedikit lebih lembut," gerutu Kailen saat bayangan Adam tak lagi terjangkau oleh pandangannya. Kailen mendesah pelan lalu berjalan ke arah kamar mandi. Dia membasuh wajah, dan menatap bayangannya melalui cermin wastafel. Kailen kembali mendesah mengingat hari-harinya menjadi semakin memburuk. Setiap saat Adam selalu membentaknya. Dan apa yang Kailen lakukan untuknya, seolah tidak ada yang benar. Kedua mata Kailen meremang. Dia mengusap pipinya dengan kasar saat sebulir airmata keluar. Tiba-tiba pikiran untuk berhenti bekerja mengganggu kepalanya. Jika saja, kontrak kerja sialan itu tidak mengikat dirinya, mungkin Kailen sudah berhenti sejak hari pertama. Tanpa keinginannya, airmata itu semakin merembes membasahi pipinya. Dia terus mengusap sembari mengontrol emosi agar kembali tenang. Sesekali Kailen menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kailen berusaha untuk menepis penyesalannya akibat menerima pekerjaan yang diberikan oleh Howart Miller, pemilik perusahaan sekaligus ayah kandung dari bosnya. Seketika Kailen mematung. Dirinya tertegun akan satu hal. Dia tidak mempunyai pakaian ganti. Kailen memukul kepalanya karena tidak memikirkan hal itu sejak awal. Terlebih hari ini ada pertemuan penting dengan Mr. Seth Pearson Cooper. Kailen berniat keluar dari kamar mandi. Langkahnya terhenti di depan pintu ketika dikejutkan oleh sosok Adam yang berdiri di hadapannya. Reflek Kailen menundukkan kepala sejenak memberi salam. "Selamat pagi, Sir." "Aku sudah menyiapkan pakaianmu. Cepat pakai. Kau membuatku terlalu lama menunggu. Dasar otak siput," ucap Adam. Tatapan tajamnya cukup membuat Kailen merasa terintimidasi. "Baik, Sir. Terima kasih," Kailen membalasnya dengan senyuman tipis. Rasanya sangat susah untuk berpura-pura tersenyum lebar seperti biasanya. Tanpa menunggu lama Kailen menyusul langkah Adam. Dirinya melihat setelan pakaian wanita tergeletak di atas sofa. Kailen segera meraih pakaian itu dan kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Sedangkan Adam tampak masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang sedang dilakukan bosnya, Kailen tidak memikirkan hal itu. Dia terlalu disibukkan oleh waktu yang terus mengejarnya. Benar saja dugaannya. Dalam waktu lima menit, Kailen sudah mendapat gedoran pintu dari luar. Suara Adam pun mulai terdengar menyusul seiring suara gedoran pintu. Kailen tampak terburu-buru mengenakan pakaian tersebut sampai tidak menata rambutnya. "Ck. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam otak Deena, Brade dan ayahku yang menjadikanmu sebagai seorang sekretaris," gerutu Adam saat Kailen membuka pintu. Tatapan Adam seolah meremehkan wanita itu hingga membuatnya hanya mampu menundukkan kepala. "Kau yang menyetir," ucapnya seraya memberikan kunci mobil pada Kailen. *** Kailen memarkirkan mobil yang dia kendarai di parkiran khusus. Sebuah tempat parkir yang lebih luas dibanding lainnya. Dengan sigap dirinya turun dari mobil lalu berlari memutari kap depan. Sebelah tangannya menarik knop untuk membuka pintu mobil. Tidak lupa dia menundukkan kepala saat Adam keluar dari dalam mobil. Adam segera mengambil langkah lebar menuju gedung perusahaan yang menjulang tinggi di hadapannya. Sedang Kailen segera menutup pintu mobil dan berlari mengejar Adam. Sampai akhirnya dia berhasil menyusul langkah lebar bosnya. "Kau sudah menyiapkan proposalnya?" tanya Adam sembari mengambil langkah lebar menuju lift. "Saya sudah menyiapkan semua dokumen yang dibutuhkan, Sir," jawab Kailen cepat sembari mengikuti deru langkah Adam yang dua kali lebih lebar darinya. Saat berdiri di belakang Adam, Kailen menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan, mengatur napasnya yang termengah-mengah. Sepertinya lift adalah tempat yang akan menjadi favoritnya karena tidak perlu mengejar bosnya agar bisa berada di samping Adam. Tak jarang Kailen berlari kecil untuk mengejar langkah bosnya. Bahkan dia hampir keseleo dengan heels sepatu yang tinggi. Saat pintu lift terbuka di lantai dua puluh, Kailen menghela napas pelan lalu kembali mengikuti Adam. Dia berhenti tepat di meja kerjanya sedangkan Adam langsung masuk ke dalam ruangannya. Setelah meletakkan tas, Kailen berjalan cepat menuju dapur khusus yang ada di lantai tersebut. Dirinya mulai menyiapkan secangkir kopi lengkap dengan kue kering milik Adam. Kailen termenung sejenak memandangi mesin kopi yang sedang bekerja. Perlahan senyum tulusnya terlihat ketika memperhatikan mesin kopi dan mengingat tujuannya masih bertahan bekerja di perusahaan tersebut. "Hari kelima. Masih membutuhkan 1.820 hari lagi," gumam Kailen sembari tersenyum masam. Tidak ingin membuat Adam menunggunya terlalu lama, Kailen segera meletakkan cangkir kopi itu dan makanannya di atas nakas. Langkahnya tertuntun keluar ruangan menuju ruang kerja bosnya. Sampainya di dalam ruangan Adam, Kailen berhenti tiga langkah di depan meja Adam lalu menundukkan kepalanya sejenak. Kedua kakinya melanjutkan langkahnya mendekat ke arah meja bosnya. Kailen meletakkan kopi serta kudapan itu dengan hati-hati. "Kau sudah menyiapkan jadwalku hari ini?" tanya Adam dengan nada dingin, seolah terpaksa untuk bertanya. "Sudah, Sir," jawab Kailen. Tubuhnya berbalik arah lalu melenggang keluar. Saat tangannya berhasil menutup pintu ruangan Adam, Kailen berlari menuju dapur dan kembali ke mejanya. Dia mengambil tablet di dalam tas lalu berhenti sejenak di depan pintu ruangan tersebut. Dia menarik napasnya dalam-dalam seolah bersiap jika nantinya akan mendengar bentakan pria menyebalkan itu. "Apa jadwalku?" tanya Adam ketika mendengar langkah kaki Kailen berhenti di hadapannya. Pandangannya tidak teralihkan sedikit pun dari layar gadget miliknya. "Pukul delapan pagi ada pertemuan dengan Mr. Butler. Pukul sembilan pagi Anda diundang ke acara opening cabang baru perusahaan Ourano Group. Pukul sebelas siang ada pertemuan dengan Mr. Laurent sekaligus acara makan siang. Pukul dua siang ada rapat dengan Mr. Cooper," jelas Kailen membacakan jadwal Adam yang sudah tercantum pada layar tablet. "Sir," panggil Kailen membuat Adam mengarahkan pandangan padanya, "Saya sudah mengatakan pada Mr. Laurent untuk bertemu di restoran Spago sekaligus sudah melakukan reservasi tempatnya," ucap Kailen sembari memberikan senyum. "Ya." Jawaban singkat yang terlontar dari bibir Adam sontak membuat Kailen semakin tersenyum lebar. Dirinya merasa lega karena tidak mendapat u*****n maupun bentakan kali ini. Tidak lupa, dia menundukkan kepalanya sebelum melenggangkan kakinya meninggalkan ruangan. Kailen keluar dengan senyum yang masih bertahan di bibirnya. Kailen duduk di ruangan kerjanya dengan tenang. Dia menghela napas lega lalu meletakkan tablet tersebut di atas meja. Sebelah tangannya meraih sebuah buku bersampul cokelat yang dia dapatkan dari Adam kemarin malam. Kailen mengulangi membaca buku tersebut sembari menunggu waktu pertemuannya dengan Mr. Butler yang akan dilaksanakan satu jam lagi. "Kailen." Kailen tertegun ketika mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Dia reflek menutup buku dan mendongakkan kepala. Kedua mata Kailen menangkap sosok wanita tengah berdiri sembari membawa dua map di tangannya. "Iya?" jawab Kailen seraya berdiri. "Mr. Miller ada di dalam?" tanya wanita tersebut. "Ya, beliau ada di dalam," jawab Kailen sembari tersenyum. Wanita itu membalas senyuman Kailen sebelum mengetuk pintu ruangan Adam yang berada tepat di depan meja kerja Kailen. Setelah melihat wanita berpakaian rapi seperti dirinya masuk ke dalam ruangan, Kailen kembali duduk lalu melanjutkan aktivitas sebelumnya. Tetapi hanya bertahan beberapa detik, dia justru menutup bukunya. Perhatian Kailen tertuju pada kaca ruangan Adam. Dari tempatnya terlihat wanita yang dia tidak tahu namanya itu tengah berdiri di depan meja kerja Adam sedangkan pria tersebut tampak memeriksa dokumen yang dibawa olehnya. Kailen menjatuhkan perhatiannya pada punggung wanita itu karena tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. "Bodoh! Aku merasa malu karena belum mengenal semua orang di sini. Wajahnya terlihat tidak asing, tapi aku benar-benar lupa siapa namanya," gumam Kailen pelan. Dia menggerutu pada dirinya sendiri. Selang beberapa menit Kailen tertegun melihat wanita itu sedang berjalan menuju pintu. Sontak dia pun mengalihkan perhatiannya, berpura-pura tidak mengawasi ruangan bosnya. Saat wanita itu keluar ruangan, Kailen tersenyum padanya sembari melirik ke arah kalung ID Card-nya. "Nara Palmer," gumam Kailen pelan sembari menganggukkan kepala tanda mengerti. Dia pun berusaha mengingat nama serta wajahnya. *** Seorang pria memotong langkah menuju pria lain yang tengah asyik bermain golf. Dirinya berhenti dua meter di belakang pria berusia enam puluh delapan tahun tersebut. Kepalanya tertunduk sejenak seolah memberikan hormat padanya. "Apa laporan mu hari ini?" tanya Howart. Meskipun usianya tak lagi muda, tetapi dirinya masih menekuni hobi bermain golf. Hampir setiap pagi dan sore dia menghabiskan waktunya di lapangan golf yang berada di halaman belakang mansion. "Mr. Miller pergi menemui Ms. Rose dan mengajaknya ke rumah. Ms. Rose menginap di rumah Mr. Miller kemarin malam dan mereka tampak pergi bekerja bersama pagi ini." "Lalu bagaimana dengan sikap Adam?" tanyanya semakin merasa penasaran. Sudah tiga hari putranya tidak menghubungi dirinya. Adam memprotes keputusannya untuk mempekerjakan Kailen untuk menjadi sekretaris tanpa menunggu persetujuan dari putranya tersebut. "Mr. Miller masih tetap bersikap seperti hari kemarin, Sir," jawabnya. Howart menghela napas pelan. Dia berjalan mendekat ke arah bola yang tergeletak tak jauh darinya. Sedangkan pria muda yang menjadi pengintai untuk putranya masih berdiri di tempatnya. Howart mulai mengayunkan tongkat golf untuk memukul bola. Pandangannya memperhatikan bolanya yang semakin menjauh. "Tetap awasi dia dan laporkan padaku." Terdengar kalimat perintah dari Howart untuk anak buahnya tersebut. "Baik, Sir," jawabnya seraya menundukkan kepalanya. "Sir." Howart menoleh ke arah Jesse ketika mendengar panggilan interupsi darinya. "Kemarin sore Mr. Miller pergi ke tempat yang sama," ucap Jesse. Howart terdiam sejenak ketika mendengar ucapan Jesse. "Berapa lama dia ada di sana?" tanya Howart. "Dua jam, Sir." "Dia pergi jam tiga sore?" "Ya, Sir." Hari Kamis pukul tiga sore adalah hari meninggalnya mendiang sang istri, Jalissa. Wanita itu meninggal sejak tujuh tahun yang lalu karena mengidap penyakit kanker lambung. Howart masih begitu ingat bagaimana kondisi mental Adam saat itu. Tetapi Howart tetap berharap jika putranya tidak lagi merasakan frustasi meski selalu pergi ke makam Jalissa di waktu meninggalnya. "Kau boleh pergi dan melanjutkan tugasmu," ucap Howart pelan tetapi masih dapat didengar oleh Jesse. "Baik, Sir," ucapnya lalu menundukkan kepala sebelum berbalik arah. Pria berstelan jas hitam tersebut mulai melangkah menjauh, meninggalkan Howart di tengah lapangan golf.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN