BAB 4

1127 Kata
Saat bayangan Nara Palmer mulai menghilang tertelan pintu lift, Kailen menoleh ke arah interkom yang berbunyi. Dalam sekejap pandangannya jatuh ke arah kaca ruangan Adam. Terlihat jelas Adam sedang menatapnya tajam seolah tidak ingin menunggu lama. Kailen pun segera berjalan melewati mejanya dan pergi ke ruangan Adam. Sebelah tangan Kailen mengetuk dinding pintu untuk memberikan isyarat sebelum membukanya. Tidak lupa dia menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Kailen ingin menyiapkan mentalnya mengingat dirinya mendapat tatapan tajam, sebuah alarm yang menyatakan suara gertakan Adam mungkin saja keluar. Kailen mendorong daun pintu itu perlahan lalu melangkahkan kakinya memasuki ruangan. Dia tidak lupa untuk menutup pintu kembali sebelum melenggangkan kakinya menuju meja Adam. Kailen mengembangkan senyumnya ketika berada di hadapan Adam seraya menundukkan kepalanya sejenak untuk memberikan hormat. "Anda memanggil saya, Sir?" tanya Kailen tanpa menghilangkan senyumnya sedetik pun. "Apa kau tidak lihat kalau aku sedang sibuk?" Adam balik bertanya membuat kening Kailen mengernyit tidak mengerti. Sontak Adam pun mendesah kasar dan menggebrak meja hingga membuat tubuh Kailen terlonjak. "Apa gunanya ada kau di luar jika semua orang bisa masuk ke ruangan ku dan mengganggu pekerjaanku?" "Maafkan saya, Sir." Kailen hanya mampu mengucapkan kalimat itu. Kini senyum yang sejak tadi dia pertahankan telah menghilang dalam sekejap saat tatapannya menunduk. "Aku paling tidak suka jika ada orang lain keluar masuk ke ruangan ku. Terlebih mengganggu pekerjaanku." Adam mengalihkan pandangannya sekilas. Dia kembali mendesah kasar sebelum melanjutkan ucapannya. "Jika ada orang lain ingin bertemu langsung denganku selain klien penting, kau harus ijin dulu denganku. Apa kau mengerti?!" "Saya mengerti, Sir," jawab Kailen. Kini pandangannya sudah kembali tertuju pada Adam. "Kau bisa menelepon dari luar jika ingin minta ijin, tidak perlu masuk ke sini." "Baik, Sir." "Ya sudah. Kau boleh keluar," ucap Adam sembari mengayunkan tangan seolah memberikan instruksi pada Kailen untuk segera meninggalkan ruangannya. Kailen pun menganggukkan kepalanya lalu melenggangkan kaki. Langkahnya menjauhi meja kerja Adam hingga bayangannya sudah tidak terlihat. Adam segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara pintu yang ditutup. Dalam sekejap senyum Adam mengembang. Entah mengapa dirinya merasa senang setiap kali menggertak Kailen. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat wanita itu selalu menundukkan kepalanya ketika dirinya membentak. Sebenarnya kedatangan Nara Palmer bukanlah menjadi masalah untuk Adam. Melainkan dirinya menggunakan alasan tersebut untuk bisa memarahi Kailen. Adam merasa kalah jika melihat Kailen menikmati pekerjaannya. Itu sebabnya dia tidak ingin Kailen merasa nyaman dengan menjadi sekretarisnya. Adam akan selalu mencari kesalahan sekecil apapun meskipun itu disengaja. Kailen berjalan lesu menuju mejanya. Dia menarik napasnya dalam-dalam untuk mengontrol perasaannya. Ini adalah awal baginya untuk mewujudkan mimpi yang sejak lama. Dia tidak ingin meredupkan mimpinya begitu saja. Bukankah hal yang wajar jika angin ingin memadamkan api lilin? Mata Kailen melirik ke arah kaca ruangan Adam. Pria itu sudah kembali berkutik dengan layar komputer. Entah apa yang sedang dikerjakannya sampai tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari benda tersebut. Melihat hal itu justru membuat Kailen merasa iri. Adam bisa kapan saja memarahinya bahkan hanya karena masalah kecil. Lalu pria itu sudah bisa melupakannya begitu saja. Berbeda dengan Kailen, dirinya justru merasa ada batu besar yang menghimpit tubuhnya setiap kali mendengar gertakan pria itu. Kailen meraih kertas memo yang dia beli kemarin malam sepulang bekerja dari dalam tas. Tangan kanannya meraih pulpen lalu menggenggamnya. Perlahan pulpen itu bergoyang, menandakan jika Kailen tengah menulis sesuatu. Harus meminta ijin bos sebelum mengijinkan orang kantor bertemu kecuali klien. Setelah menulis satu kalimat tersebut, Kailen menarik kertas itu hingga terlepas lalu menempelkannya pada tepi layar komputer. Kertas memo adalah pengingat yang baik untuknya. Perlahan pandangan Kailen kembali tertuju pada buku yang terbuka di depannya. Dia harus menguasai semua isi dari buku-buku yang diberikan Adam secepat mungkin. Tanpa terasa Kailen sudah menghabiskan waktu setengah jam membaca sebagian isi buku itu. Sampai akhirnya Kailen menemukan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Kedua mata Kailen mulai mengabsen setiap kalimat yang tertulis dengan tinta biru disertai ketulusan yang mendalam. Untuk sekretaris yang baru, pengganti ku. Untukmu, ini adalah catatan kecil yang ingin ku sampaikan padamu. Sebuah catatan yang menurutku lebih berguna dari segala macam laporan yang mengelilingi mu ataupun ribuan jadwal bos yang harus diingat sedetail apapun. Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena belum bisa menyapamu secara langsung. Aku harap kabarmu selalu baik bahkan sampai saat ini. Dan semoga kau selalu kuat menekuni pekerjaanmu yang sekarang. Aku adalah Jenifer Mccullough. Sudah tujuh tahun aku menekuni menjadi sekretaris Adam. Itu bukan waktu yang singkat, memang. Dan tentu saja bekerja dengan Adam membuatku harus memahami bos itu. Awalnya aku berpikir Adam adalah bos yang egois dan menyebalkan. Dia selalu mengganggu waktu istirahatku. Dia adalah pria diktator terbaik yang pernah aku kenal. Sampai akhirnya satu tahun aku bekerja bersamanya, aku menyadari dia bukanlah bos yang seperti aku pikirkan. Adam adalah bos terbaik yang pernah aku miliki. Meskipun sikapnya menyebalkan, tetapi dia tidak berhenti memberi perhatian padaku. Hubungan kami pun dekat. Aku dan Adam sudah layaknya seorang teman di waktu luar jam kerja. Adam selalu bisa membagi waktunya menjadi bos yang berwibawa serta seorang teman yang baik. Tetapi tidak dalam waktu singkat aku mendapatkan hal itu. Tentu saja membutuhkan banyak pengorbanan waktu dan tenaga hingga membuat keajaiban. Ya, menurutku itu adalah keajaiban. Dan aku pun berharap hal itu terjadi padamu. Jangan memasukkan ke dalam hati semua ucapan Adam. Semua yang dia lakukan adalah demi kebaikanmu. Jangan menyerah jika kau mendapat perlakuan buruk darinya, itu untuk mengajarimu agar mempunyai mental yang baik serta menjadi pekerja yang teguh dan giat dan mempunyai loyalitas yang tinggi. Sebelum aku mengakhiri catatan ini, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu. Jangan lupa untuk tersenyum dengan tulus, itu akan membuat Adam ataupun klien yang kau hadapi menjadi tertarik padamu. Jangan memasang senyum yang terpaksa, itu justru membuat Adam dan klien akan merasa ragu denganmu. Kailen mematung membaca selembar kertas yang berisi kalimat-kalimat di atas. Hatinya terenyuh sedang matanya berkaca-kaca. Selama ini dia berpikir untuk memasang senyum pada Adam maupun orang lain meskipun itu terpaksa. Bahkan hal tersebut menyiksa batinnya. Kailen lupa dengan senyuman yang tulus. Entah kapan terakhir dirinya menampakkan senyum yang tulus pada setiap orang bahkan pada Adam. Sebelah tangan Kailen terangkat untuk mengusap wajahnya. Dia tidak boleh menangis di meja kerjanya. Perhatian Kailen tertuju pada telepon interkom yang berbunyi. Jarinya pun menekan tombol untuk menerima panggilan interkom dari Adam. "Jangan lupa untuk menyiapkan segala sesuatu untuk pertemuan bersama Mr. Butler." Terdengar suara perintah dari Adam. Kailen segera menyiapkan proposal yang sudah dia print sejak kemarin di atas meja. Dia juga mengambil tablet lalu meletakkannya di atas proposal. Pandangan Kailen tertuju ke arah jam tangan yang menunjukkan masih tersisa waktu dua puluh menit sebelum pertemuan. Tanpa menunggu lama, Kailen segera bangkit dari atas kursi dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Dia harus mencuci wajah serta memberikan sedikit polesan di wajahnya untuk menutupi jika dirinya baru saja menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN