Ah, sial. Aksa hampir lupa jika ia harus mengajar pagi ini. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam untuk bersiap-siap. Semalam ia tidur di rumah sakit, dan belum sempat pulang untuk berganti baju.
Sambil membawa cup kopinya, Aksa bergerak meninggalkan kafetaria rumah sakit, hendak berpamitan pada Sashi sebelum pulang. Sashi beruntung sekali. Setelah mendapatkan Chika, kini ia punya anak lagi berjenis kelamin laki-laki, diberi nama Angkasa. Tanpa embel-embel Raden Mas.
Tentu saja, Bunda awalnya ngotot ingin menamai cucunya dengan gelar Raden, tetapi Sashi lebih keras kepala lagi bilang tidak. Bunda pada akhirnya mengalah, meski bibirnya mengerucut seharian.
"Mas Aksa mau pulang?" tanya Sashi begitu ia muncul dari balik pintu. Adiknya itu sudah lebih segar dibanding kemarin, bahkan sudah bisa menyusui anaknya.
Aksa mengangguk singkat. "Iya, aku harus ngajar kelas karyawan."
"Tadi Mbak Sri ke sini, terus aku bilang kalau Mas Aksa lagi ke kafetaria. Barusan aja nyusul. Tadi nggak papasan ya?" tanya Sashi. Matanya melirik ke arah pintu keluar. "Padahal baru lima menit lalu perginya."
"Enggak," Aksa menggeleng.
Kening Sashi berkerut samar, sedetik kemudian ia tersenyum, menyeringai. "Berarti emang enggak jodoh."
"Nggak masuk akal," balas Aksa. "Sejak kapan jodoh ditentuin dari berapa kali nggak sengaja papasan?"
Sial. Aksa malah teringat dengan pertemuannya dengan Renisha beberapa hari terakhir. Cewek itu seperti kenangan buruk yang muncul secara tiba-tiba, tidak tahu tempat dan waktu. Mana mungkin kan, mereka jodoh? Karena sering bertemu secara kebetulan? Pemikiran Sashi dangkal sekali.
"Ya kali aja kan." Sashi menggedikkan bahu. "Aku aja bisa sama Naren awal mulanya karena nggak sengaja. Terus jadi jodoh. Nikah, punya baby, hidup bahagia sampai mati. Jadi prinsipku adalah, jodoh adalah ketidaksengajaan yang terjadi terus-menerus."
Aksa memasang wajah datar. "Terserah kamu aja."
"Eh tapi, menurut Mas Aksa, Mbak Sri orangnya gimana? Bukan yang putri keraton kw-kw kan? Susah loh aslinya bujukin Mbak Sri biar mau ikut acara jodoh-jodohan gitu."
"Hmm," Aksa bergumam. Teringat kembali dengan pertemuan pertamanya dengan Sri. "Dia cantik, anggun, kelihatan baik dan cerdas." Aksa menatap adiknya lekat. "Kalau kamu suka punya kakak ipar kayak Sri, aku nggak masalah nikah sama dia."
"Kok gitu sih?" Sashi memukul lengan Aksa keras. "Kan bukan aku yang mau nikah, tapi Mas Aksa. Mana bisa gampang banget ngomong mau nikah cuma karena aku suka orangnya."
Aksa tersenyum tipis dan mengelus puncak kepala Sashi pelan. "Aku percaya sama pilihanmu. Kalau nanti kesabaran Bunda udah habis, aku nggak masalah nikah sama siapa aja. Kamu yang seleksi."
Mata Sashi tiba-tiba memanas. Ia merasa jika Aksa sudah benar-benar pasrah kali ini. Dari dulu sampai sekarang, Aksa hanya pernah berpacaran dua kali, itu pun dengan teman sekalas Sashi, dan Sashi sendiri yang memaksa Aksa untuk pacaran. Tiba-tiba Sashi merasa jika dirinya terlalu egois. Ia hanya berharap jika Aksa akan menemukan seseorang yang bisa mengerti Aksa dan bisa menerima apa adanya.
Sashi meraih tangan Aksa dan menggengam jemarinya erat. Mata Sashi berkilat penuh tekat. "Oke, aku janji. Bakal nyari yang terbaik buat Mas Aksa."
Suara ketukan pintu membuat atensi Aksa teralih. Sri muncul sambil mengulas senyum manis. Rambutnya digelung tinggi hingga menampilkan lehernya yang putih dan jenjang. Tubuhnya tinggi semampai dengan pakaian modis yang seolah dijahit khusus untuknya. Ia melangkah pelan dan anggun, tidak terburu-buru. Bahasa tubuhnya begitu percaya diri. Dari luar, Sri sangat cocok untuk dijadikan istri.
"Aku tadi nyariin Mas Aksa," kata Sri. "Ternyata udah ada di sini."
Aksa mengangguk singkat. Ia melirik jam tangannya. "Maaf, tapi aku harus pergi sekarang. Aku harus ngajar di kampus."
Raut wajah Sri tampak kecewa, hanya sedetik karena ia terlalu pintar menyembunyikannya dengan senyum manis. "Iya, nggak apa-apa. Biar aku yang gantian nemenin Sashi di sini."
"Hm," Aksa mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu." ia mengelus puncak kepala Sashi dan tersenyum tipis. "Nanti sore aku ke sini lagi."
Aksa baru akan berbalik saat Sri tiba-tiba berujar,
"Mas Aksa... besok siang ada waktu?" tanya Sri, nadanya agak ragu. "Besok aku ada acara launching butik baru cabang Bandung. Kalau Mas Aksa nggak keberatan--"
"Aku bisa," Aksa memotong tanpa pikir panjang. Ia tersenyum tipis dan melambaikan tangan. "Sampai bertemu besok pagi, Rani."
Sri tersenyum lebar. "Iya."
***
Renisha duduk di kursi paling depan, berhadapan langsung dengan meja dosen. Sengaja, karena mata kuliah terakhir hari ini akan diisi oleh Aksa. Renisha ingin mengkonfrontasi cowok itu, ingin melihat ekspresinya dari dekat dan ingin tahu, apa yang akan Aksa lakukan hari ini. Apakah ia akan kabur seperti kemarin? Atau menghadapi Renisha layaknya seorang dosen yang profesional.
Ia sudah tidak sabar. Penasaran bukan main.
"Tumben banget duduk di depan, biasanya juga molor di belakang." Fabian duduk di samping Renisha dan meletakkan tasnya. "Apa gara-gara Pak Aksa?"
"Hmm," Renisha mengangguk tanpa pikir panjang. "Pak Aksa ganteng soalnya. Betah kalau dilihat lama-lama."
"Yaelah, gue pikir lo beda dari mahasiswi-mahasiswi lain. Ternyata sama aja," balas Fabian. Nadanya terdengar agak kesal. "Kalau liat cowok dari tampangnya doang."
Renisha cuma memutar bola mata malas. "Lo ada masalah apa sih? Sewot amat. Kalau pengin ganteng kayak Pak Aksa ya usaha dong. Pake skincare biar muka lo bersih dan nggak jerawatan."
Mata Fabian melotot. Raut mukanya tampak tersinggung. Ia buru-buru bangkit. "Males ah, duduk di samping lo."
Renisha cuma bisa mengedikkan bahu saat Fabian pindah ke bangku belakang. Segera bangku di sebelah Renisha oleh mahasiswi lain. Dasar Fabian, disindir sedikit saja langsung ngambek.
Senyum Renisha melebar begitu melihat Aksa memasuki kelas dengan langkah tegap.
Renisha bertopang dagu, sengaja menatap tanpa tahu malu saat Aksa meletakkan laptonya di atas meja dan duduk. Mata mereka bertemu sekilas, tetapi Aksa buru-buru mengalihkan pandangan. Renisha menyeringai saat melihat bahasa tubuh Aksa yang berubah tidak nyaman.
Renisha akan menganggap kejailannya hari ini sebagai balas dendam, karena Aksa selalu mengabaikannya dan bersikap defensif.
Jika dilihat lebih dekat, ternyata Aksa punya sepasang alis yang cantik dan tebal. Mungkin orang-orang akan melihat Aksa sebagai sosok yang galak karena alisnya, tetapi bagi Renisha justru hal itu yang unik dari Aksa. Selain mata sipit, Aksa juga punya hidung mancung dan... astaga, Renisha menelan ludah. Renisha baru menyadari jika Aksa punya bibir yang sangat seksi, tebal di bagian bawah, terbelah tengah seperti apel, seolah mengundang untuk segera digigit. Bentuk bibir Aksa mengingatkan Renisha pada aktor Korea favoritnya: Lee Jong Suk.
Jantung Renisha mendadak berdegup kencang. Fantasi-fantasi liar mulai terbentuk di kepalanya. Astaga, Renisha, sadar!
"Baiklah. Hari ini saya akan menjelaskan materi kita secara singkat, yaitu tentang Audit Service and Report." Aksa berdiri, berjalan ke sisi paling jauh dari tempat Renisha. Ia mengarahkan kursor pada PowerPoint yang terpampang di layar dan mulai menjelaskan.
Renisha mendesah dan mulai mengeluarkan bukunya. Ia mendadak kecewa. Ternyata begini cara Aksa menghadapinya. Aksa menganggap Renisha seolah-olah makhluk tak kasap mata. Bahkan ketika menjelaskan, ia sama sekali tidak menatap ke arah barisan Renisha berada. Aksa memilih untuk berdiri selama jam pelajaran berlangsung daripada duduk di kursinya dan berhadapan dengan Renisha. Bibir Renisha mengerucut kesal. Semoga saja tidak ada yang menyadari perlakuan berbeda Aksa padanya. Baiklah, setidaknya Aksa tidak berbuat hal kekanakan lagi seperti kemarin.
"Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Aksa. Ia kembali ke tempat duduknya dan fokus pada laptop. "Jika tidak ada maka saya--"
Renisha buru-buru mengangkat tangan. Sengaja supaya atensi Aksa teralih padanya. Senyum Renisha lebar begitu mata Aksa bersitatap dengannya. Itu bukan jenis tatapan yang ramah, tetapi tidak juga berkilat horor seperti kemarin. Aksa tampak menahan diri sekuat tenaga agar tidak berbuat hal-hal yang mungkin akan merugikannya. Entah ini perasaan Renisha saja atau bukan. Tetapi, ia bisa melihat sedikit kilat ketakutan di mata Aksa.
Kenapa? Apa wajah Renisha terlihat menyeramkan?
"Eng, anu..." Renisha mengerjab polos, sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Saya mau izin ke toilet dulu, Pak."
Setelah mengatakan itu, Renisha segera bangkit dan berjalan cepat ke pintu keluar. Ia bahkan tidak menunggu persetujuan dari Aksa. Renisha ingin cepat-cepat ke toilet untuk melihat wajahnya sendiri. Apa Renisha perlu memotong rambutnya jadi pendek, ya?
***
Sepulang dari kampus, Renisha memutuskan untuk langsung pergi ke rumah sakit untuk menengok anaknya Naren. Ia juga sudah membeli kado pagi tadi, sebelum berangkat ke kampus.
Renisha mengenal Naren dari Ghea, karena dulu cowok itu pernah jadi pacar terindah Ghea. Sayangnya, hubungan keduanya hanya bertahan selama beberapa bulan. Setelah mereka putus, Renisha tak pernah lagi bertemu Naren.
Baru dua tahun kemudian, Renisha mulai dekat dengan cowok itu karena sebuah proyek. Naren ternyata adalah pemilik Tamawijaya Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak di sektor pengolahan cokelat. Naren menikah dua tahun kemudian, dengan Raden Ajeng Sashikirana. Saat itulah Renisha baru tahu jika Naren melangsungkan akad di Kesultanan Surakarta, karena ia keturunan langsung dari sang raja. Naren adalah sebenar-benarnya cowok yang punya gelar Raden Mas, bukan seperti Aksa yang hanya di atas kertas.
Sebenarnya, Renisha malas datang ke rumah sakit, tetapi, Naren adalah rekan bisnisnya sekarang. Ia perlu menjaga hubungan baik dengan cowok itu agar tak menjadi masalah di masa depan. Hidup dan mati Renisha saat ini sangat tergantung oleh belas kasih Naren.
Sambil menenteng paperbag berisi kado, Renisha keluar dari mobilnya. Ia mengambil napas dalam, kemudian mengetikkan pesan untuk bertanya pada Naren, Sashi dirawat di sebelah mana.
Renisha sendiri melihat Sashi pertama kali pada resepsi pernikahan mereka di Bandung empat tahun lalu. Sashi adalah keturunan Sunda-Jepang yang mempunyai lesung samar di pipi bawahnya ketika tersenyum. Ia baik hati dan ramah pada Renisha.
Kamar nomor 404. Renisha mengetuk pintunya dan menunggu dipersilahkan masuk. Belum juga pintu itu terbuka, Renisha tersentak oleh suara dari sebelah kanannya. Terdengar begitu dingin dan terselip kemarahan.
"Kenapa kamu bisa di sini? Ngikutin saya, ya?"
****