Karena Maharani sudah menolaknya, jadi Aksa harus mulai mencari kandidat lain untuk dijadikan calon istri. Tadi pagi, Aksa sudah bicara pada Sashi dan meminta adiknya itu untuk mengenalkan Aksa dengan keturunan-keturunan bangsawan lain. Hanya saja, kali ini Sashi menolaknya mentah-mentah, dan malahan menghasut Aksa supaya membantah perintah Bunda. Perkataan Sashi tadi pagi bahkan masih terngiang-ngiang di kepala Aksa,
"Coba, sekali-kali Mas Aksa nyari calon istri sendiri, yang sesuai sama kriteria yang Mas Aksa pengin, bukan yang Mama pengin. Bisa, kan? Pasti banyak cewek-cewek cantik nan baik hati di luaran sana," kata Sashi, nada suaranya berapi-api dengan mata membara. "Mas Aksa suka cewek yang pinter masak, kan? Kenapa nggak nyoba aja bikin acara kontes masak dan Mas Aksa yang jadi juri?"
Aksa, cuma bisa menatap Sashi bingung sambil geleng-geleng kepala. "Kamu kerasukan apa sih? Kenapa jadi aneh gini tingkahnya?" Aksa bahkan menatap Naren meminta penjelasan.
"Aku juga nggak tahu Mas. Jangankan Mas Aksa, aku sendiri aja nggak tahu kenapa dia jadi sering banget marah-marah," balas Naren, nadanya terdengar pasrah. "Kena gejala baby blues kali."
"Eh, nggak boleh asal mendiagnosa ya!" Sashi memukul lengan Naren keras. "Aku lagi mikirin masa depannya Mas Aksa tahu nggak! Aku nggak mau Mas Aksa asal milih cewek buat dijadiin istri. Emangnya istri itu barang di supermarket apa."
Aksa tersenyum tipis melihat tingkah Sashi. Aksa tahu jika Sashi sangat menyayanginya. Hanya saja, Aksa juga tidak bisa menikah tanpa persetujuan Bunda. Lagi pula, Aksa tidak sedang dekat dengan cewek mana pun, dan sedang malas juga menjalin hubungan asmara. Hati Aksa seperti mati rasa. Atau memang sudah kehilangan kemampuannya untuk merasa?
"Udahlah, nggak usah berantem lagi," kata Aksa kalem. Senyum tipisnya terlukis. "Aku, akan berusaha nyari calon istri sendiri. Kalau enggak berhasil juga, mungkin aku bakal berpikir buat operasi plastik biar mirip aktor Korea Selatan."
"Kalau bisa jadi mirip Lee Jong Suk Mas!" balas Sashi antusias. Jiwa fangirlnya pasti bangkit karena gurauan Aksa. "Lagian, bibir Mas Aksa udah seksi, tinggal mukanya aja sedikit dikotakin. Asal jangan kebanyakan, nanti malah mirip spongebob."
Dasar Sashi. Kalau sudah menyangkut drama Korea, pasti tingkahnya jadi absurd. Aksa tertawa sendiri mengingatnya. Siapa pula Lee Jong Suk itu, Aksa bahkan baru pertama kali mendengar namanya. Aksa percaya diri dengan wajahnya, hanya saja, yang membuatnya insecure adalah respon Bunda.
Sekarang, Aksa harus bagaimana lagi? Apa Aksa harus mencoba untuk mencari cewek lewat aplikasi dan kencan buta? Astaga, umur Aksa sudah terlalu tua untuk melakukan hal konyol itu. Lagipula, Aksa juga tidak mau buang-buang waktu. Kenapa sih, calon istri itu harus dicari? Dan bukannya dibeli saja di supermarket?
Suara ketukan pintu membuat Aksa terbangun dari lamunan. Sekretarisnya, Winda, yang sudah sudah berusia setengah baya dan mempunyai dua anak muncul dan membungkuk formal.
"Ada perempuan yang mau bertemu dengan Pak Aksa," kata Winda. "Dia memaksa masuk meski nggak punya janji temu. Katanya, dia tunangan Pak Aksa."
Apa tadi, tunangan?
****
Renisha mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia melihat paperbag di genggaman tangannya, berisi dua kilo cheese stik pesanan Aksa, tampak menggembung besar. Renisha, tidak peduli dengan wajah marah yang akan Aksa tampilkan nantinya. Yang penting, Renisha harus bertemu cowok itu dan berusaha menyadarkannya. Kalau perlu digetok pakai palu.
Kantor tempat Aksa bekerja terdiri dari enam lantai, cukup megah dan besar jika dilihat dari luar. Ini memang bukan pertama kalinya Renisha berkunjung ke sini, tetapi, tetap saja ia kagum. Lobi depannya besar, dengan meja resepsionis yang diisi dua wanita cantik dengan dandanan berkelas. Renisha menghampirinya dan menanyakan kantor Aksa. Hanya saja, Renisha langsung ditolak begitu tahu bahwa ia tidak punya janji temu. Padahal, Renisha juga sudah bilang kalau ia hendak mengantar pesanan Aksa, tetapi ia malah disuruh meninggalkan paperbag-nya di sini.
Aksa, memang sesibuk itu ya? Atau dia sengaja?
Renisha hendak menyerah dan pulang saja, tetapi kemudian ia melihat Derian yang baru saja keluar dari lift. Senyum Renisha langsung melebar dan ia melambaikan tangan agar cowok itu melihatnya. Benar saja. Senyum Derian langsung melebar dan ia berjalan mendekati Renisha.
"Haloo, Renisha. Kamu lagi ngapain di sini?" sapa Derian ramah. "Lagi ada pesanan ya?"
"Iya," balas Renisha. "Pesanan buat Pak Aksa. Kamu tahu nggak, kantornya Pak Aksa ada di lantai berapa?"
"Lantai lima," balas Derian ramah. "Mau aku anterin ke sana?"
"Kamu nggak sibuk emangnya? Kenapa bisa keluar di jam kantor?" tanya Renisha penasaran. Ia melihat penampilan Derian yang memakai kemeja garis-garis, celana bahan berwarna krem, dan sebuah id card yang menggantung di leher. Derian, tidak setampan Aksa, tetapi, ia mempunyai wajah yang manis mata yang selalu berbinar ceria.
"Aku ada tugas di luar," ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Tapi aku masih ada waktu kok. Ayo aku antar."
"Bener, nggak ngerepotin?" tanya Renisha sangsi, yang mendapat gelengan serta senyum lebar dari Derian. Jika tingkah Derian sebaik ini padanya, apa Renisha salah jika mengira bahwa cowok itu menaruh hati padanya? Renisha jadi sedikit bersalah karena menolak ajakan keluar cowok itu. Sudah saatnya Renisha mulai membuka hati, kan?
Cowok itu meraih tangan Renisha dan menggenggamnya. "Nggak sibuk kok. Ayo, sekalian kita ngobrol di dalam. Udah lama aku nggak ngobrol sama kamu."
***
Aksa mengingat cewek yang mengaku-ngaku sebagai tunangannya ini meski mereka baru bertemu satu kali. Dia adalah Dewi Ayu Ratnasari, perempuan yang pernah dikenalkan Sashi padanya sekitar dua bulan lalu. Kata Sashi, Dewi juga merupakan saudara jauh Naren dari pihak ibu, yang artinya masih punya darah bangsawan meski cuma setetes. Hanya saja, Aksa tak menyukai pertemuan pertamanya dengan Dewi. Aksa masih ingat jelas hal-hal menyebalkan ketika ia harus memayungi Dewi saat mereka memutuskan untuk berkencan di taman. Aksa juga ingat cerita Dewi tentang dia yang suka mandi s**u dan pakai masker emas dua puluh empat karat.
Astaga...
Bagaimana caranya, Dewi bisa tahu kantor Aksa? Apa dia sengaja dikirimkan Sashi untuk membuat Aksa menderita?
Dewi memang cantik, Aksa akui itu. Hanya saja, sikapnya terlalu manja, bak seorang putri raja yang harus disanjung dan diperhatikan seksama. Alih-alih menjadi pria, Aksa hanya akan menjadi babu jika nekat menjalin hubungan dengannya.
"Mas Aksa, apa kabar?" tanya Dewi, dengan senyum lebar dan nanda manja. Hari ini dewi memakai rok span berwarna krem dan blouse hitam yang mempunyai renda di bagian leher. Sebuah topi jaring lebar bertengger di kepalanya seperti turis yang hendak ke pantai. Kepala Aksa sudah pusing hanya dengan melihatnya saja.
Dosa apa sih, Aksa di masa lalu? Sampai harus mengalami ini?
"Sejak kapan kamu jadi tunangan saya?" kata Aksa dingin. "Kalau kamu nggak ada urusan penting, silahkan keluar dari kantor saya."
"Mas Aksa kok gitu sih? Padahal aku udah terbang jauh-jauh dari Solo cuma buat nemuin Mas Aksa. Masa diusir gitu aja sih?" dengan heels-nya yang lacip itu, Dewi mendatangi meja Aksa dan duduk di kursi tanpa dipersilahkan. Pandangannya mengedar. "Ternyata kantor Mas Aksa cukup besar juga. Pendapatan Mas Aksa sebulan berapa?"
Apa? Aksa, tidak salah dengar, kan? Buat apa dia bertanya soal gaji? Memangnya sedang perekrutan pegawai?
Aksa mengambil napas dalam dan mencoba bersabar. "Kalau kamu nggak ada urusan penting, silahkan keluar. Saya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu."
Dewi bertopang dagu dan memandang Aksa dengan tatapan menggoda. "Kenapa, kita nggak nyoba kencan lagi kayak dua bulan lalu? Ternyata semenjak aku balik ke Solo, wajah Mas Aksa selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku janji nggak akan minta Mas Aksa bawain payungku."
"Enggak, terima kasih," balas Aksa dingin, mencoba fokus pada berkas di hadapannya dan mengabaikan Dewi. Lama-lama, parfum milik Dewi membuat perut Aksa mual.
"Mas Aksa itu, punya bibir yang seksi dan alis yang indah," kata Dewi, menatap Aksa saksama tanpa tahu malu. "Aku, jadi penasaran, bagaimana rasanya..."
Aksa sudah tidak tahan lagi. Ia berdiri, mengebrak meja dan menunjuk pintu keluar dengan jarinya. "Kamu keluar sekarang atau saya panggil satpam? Saya udah nggak ada urusan lagi sama kamu."
Ketika itulah, Aksa melihat Renisha yang berdiri mematung dengan pintu yang setengah terbuka, kaget dengan bentakan Aksa barusan.
"Kenapa Mas Aksa malah ngusir aku? Bukannya Mas Aksa lagi butuh calon istri? Aku bersedia buat pertimbangin tawaran Mas Aksa, loh," balas Dewi genit, tidak terpengaruh sama sekali dengan gertakan Aksa. Ia kemudian berdiri, melangkah mendekati Aksa dan menyentuh bahu Aksa dengan sikap manja. "Badan Mas Aksa juga kelihatan kokoh. Rajin nge-gym, ya?"
"Lepas!" Aksa menarik diri dan mundur dua langkah. "Saya udah punya calon istri, jadi, saya udah nggak punya urusan sama kamu," balas Aksa kesal.
"Aku nggak akan percaya sebelum lihat buktinya sendiri," balas Dewi angkuh, sambil mendongakkan dagu menatap Aksa.
Entah setan apa yang sedang merasuki Aksa, tetapi ia berpikir bahwa Renisha adalah satu-satunya jalan supaya Aksa bisa lepas dari ular sialan ini. Cepat, Aksa berjalan mendekati Renisha dan menarik lengan baju cewek itu agar berdiri di sampingnya.
Dengan nada tegas dan dingin, Aksa berujar, "Ini, calon istriku. Dari pada terjadi kesalahpahaman, mending kamu pergi dari sini dan tidak mengganggu hubungan orang lain."
Dewi memandang Aksa marah, kedua tangannya bersedekap. Matanya memicing memandang Aksa dengan curiga, "Aku nggak percaya. Dilihat pakai sedotan pun, kalian nggak kayak pasangan."
Aksa, memang berdiri dengan sikap kaku di samping Renisha. Bahkan tangannya tak berani menyentuh kulit Renisha dan hanya menyentuh ujung pakaiannya. Sementara itu, Renisha cuma berdiri canggung dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa berjalan berdampingan.
Astaga, sekarang, Aksa harus bagaimana? Apa ini yang dirasakan Renisha, ketika ingin mengusir mantan pacarnya dengan bantuan Aksa? Kenapa cewek ini malah diam saja?
Renisha yang akhirnya sadar dengan situasi kemudian melangkah mendekati Dewi dengan sikap tegas dan menantang. Ia menaruh paperbag di atas meja Aksa dan melihat penampilan Dewi dari ujung kaki ke ujung kepala dengan sikap menilai. Bibirnya menipis sinis, "Kalau kamu sudah nggak ada keperluan, silahkan pergi dari sini," kata Renisha, dalam dan tajam, "Aku, mau makan siang dulu sama calon suamiku. Kamu... nggak berniat mengganggu kami kan?"
Melihat Dewi yang hanya diam saja dengan muka memerah marah, Renisha kemudian berjalan ke arah Aksa, menarik dasi Aksa hingga cowok itu terkejut dan menundukkan kepala. Lalu, sebelum keberaniannya menghilang, Renisha memajukkan kepalanya untuk mengecup bibir seksi Aksa yang berwarna pink menggoda, tebal di bagian bawah dan terbelah seperti apel merah segar.
Mungkin karena terkejut, Aksa hanya bisa mematung hingga Dewi meninggalkan ruangan sambil menghentak-hentakkan kaki.