Kerjasama untuk menjauhkan Aksa dengan tunangannya?
Sashi, sudah gila ya?
Kalaupun Aksa memang menyukai Rani dan berniat menikahinya, kenapa Sashi malah ingin memisahkan mereka?
"Emangnya, kamu beneran mau Mas Aksa nikah sama orang lain?" kata Sashi lagi di ujung telepon.
Renisha mendesah dan duduk di ujung ranjang. "Kalau emang Rani bisa bikin Pak Aksa bahagia, kenapa aku harus bersikap jahat untuk memisahkan mereka?"
"Masalahnya Ren, Mbak Sri Maharani itu licik," suara Sashi terdengar frustrasi. "Aku nggak mau dia manfaatin dan mainin Mas Aksa aja. Tolong, sebagai teman dan orang yang suka sama Mas Aksa, gue pengin lo bantuin gue."
Mata Renisha menatap langit-langit kamar saat ia memilih untuk merebahkan tubuhnya. Renisha lelah sekali setelah bekerja seharian, dan Sashi malah menambah beban pikirannya dengan Aksa. "Emangnya, apa yang bisa aku lakuin supaya bisa misahin Aksa sama Rani?" Renisha mendesah. "Aku, bahkan nggak yakin bisa bikin Aksa ngobrol santai sama aku tanpa tatapan dingin dan benci."
"Tenang aja. Soal itu, biar aku yang urus, asal kamu mau bergabung sama aku." Sashi berujar dengan nada semangat di ujung sana. "Kamu, cuma perlu lakuin aba-aba aja dari aku. Kamu tahu sendiri kan kalau Mas Aksa hampir-hampir nggak bisa nolak permintaanku? Nah, kita bisa manfaatin itu, Renisha. Kayak aku yang bikin Mas Aksa bolak-balik ke tempatmu dua kali."
Benar. Jika dipikir-pikir, Aksa itu penurut sekali jika menyangkut soal Sashi. Cowok itu seperti tak punya pendirian dan gampang goyah. Sama seperti robot yang hanya menjalankan perintah.
"Kalau Pak Aksa emang senurut itu sama kamu, kenapa kamu nggak minta aja dia batalin pertunangannya?" kata Renisha, yang mungkin saja langsung menohok Sashi tepat di d**a. Kenapa harus repot-repot menyusun rencana jika Sashi hanya tinggal meminta?
Ada jeda cukup lama sebelum suara Sashi terdengar lagi.
"Masalahnya, nggak semudah itu, Ren. Kalau Mas Aksa udah mutusin sesuatu, dia nggak bakal goyah," balas Sashi, nadanya pelan dan terdengar pasrah.
"Kamu... emang selalu seperti ini, ya?" tanya Renisha.
"Seperti apa?"
"Suka mengatur apapun yang berhubungan dengan kehidupan Aksa," balas Renisha, tidak peduli jika ucapannya akan melukai harga diri Sashi. "Aksa, punya kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Kalaupun nanti Rani emang manfaatin Aksa buat kepentingannya aja, bukankah itu nanti akan jadi pembelajaran buat Aksa?"
Sashi diam saja. Ada hening yang cukup panjang di antara mereka. Mungkin, Sashi menyadari bahwa dirinya salah dengan memaksakan kehendaknya pada Aksa, atau mungkin sedang mencari alasan logis untuk membuat Renisha mau membantunya.
"Aksa, bisa tambah benci sama aku kalau tahu aku berniat ikut campur sama kehidupannya, Sashi," sambung Renisha lagi.
Ya, meski ada ruang di hati Renisha yang tidak rela jika Aksa akan berakhir dengan wanita lain, tetapi Renisha harus bisa menerimanya. Aksa, bukan barang yang bisa dipaksa seenaknya. Pria itu berhak memilih seseorang yang layak untuk mendampinginya.
Sashi terdengar semakin frustrasi di ujung telepon. "Aku, cuma ngerasa bersalah karena udah ngenalin Aksa sama Rani," kata Sashi. "Apa salah, kalau aku ingin memperbaiki kesalahaku? Asal kamu tahu, Renisha. Aksa bukannya mencintai Rani sampai mau nikah sama dia. Dia cuma nurut sama perkataan Mama." Sashi mendesah, pelan dan penuh rasa bersalah. "Gimana mungkin aku biarin Mas Aksa jalain pernikahan yang cuma akan jadi beban buat dia?"
Nayatanya, Sashi hanya ingin melihat kakaknya bahagia. Hanya saja, caranya agak salah. Sekarang, Renisha jadi ikutan bingung dengan drama keluarga Aksa. Apa yang harus ia lakukan, sekarang? Ikut masuk ke dalam lingkaran atau menjauh selagi bisa?
"Aku kasih waktu kamu buat berpikir, Renisha," ujar Sashi di seberang sana. "Aku tutup dulu teleponnya."
***
Aksa terkejut saat menemukan Sri Maharani sudah berada di luar kantornya saat ia hendak pulang. Perempuan itu tampak anggun dengan balutan dress selutut yang mengembang di bagian bawah, berwarna merah darah yang senada dengan lipstiknya.
"Kamu udah lama di sini?" tanya Aksa ringan. "Kenapa nggak langsung masuk saja?"
Rani menggeleng. "Aku baru sampai, kok. Tadinya mau ke atas tapi udah ketemu sama Mas Aksa di sini."
"Ada perlu apa?" tanya Aksa akhirnya.
"Ada yang mau aku omongin, soal tawaran Mas Aksa beberapa hari lalu." Rani melirik beberapa karyawan Aksa yang memandang mereka penasaran. "Mas Aksa nggak keberatan kalau kita bicara di tempat lain, kan?"
Aksa mengangguk singkat. "Ayo."
Mereka berdua berjalan beriringan menuju mobil Aksa terparkir, kemudian segera melaju ke restoran yang tak terlalu jauh dari kantor untuk bicara. Aksa diam sepanjang perjalanan, dan hanya menjawab pertanyaan Rani dengan sepatah dua kata, membuat Rani pada akhirnya memilih untuk diam.
Aksa memesan secangkir cappucino panas sementara Rani memesan milkshake cokelat dengan taburan oreo renyah. Mereka duduk saling berhadapan, dengan posisi yang dekat dengan kaca sehingga bisa melihat dengan jelas keadaan di luar.
Setelah menyesap sedikit cappucino-nya, Aksa memulai percakapan, "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Kenapa kita nggak nyoba ngobrol dulu?" balas Rani, tersenyum tipis. "Mas Aksa nggak mau nyoba dekat atau tahu beberapa hal tentang aku sebelum memutuskan untuk menikahi aku? Biar bagaimana pun, aku cuma mau pernikahan satu kali dalam hidupku, jadi aku nggak mau main-main. Meski Mas Aksa kelihatan sempurna dari luar, tapi sebenarnya aku nggak tau apa-apa soal Mas Aksa."
Aksa menatap Sri Maharani tepat di mata. Kedua tangannya terlipat di atas meja. "Jadi, kamu ngajak aku ke sini bukannya mau memeberikan jawaban? Tapi cuma kencan biasa? Udah kubilang kalau kita bisa kencan saat malam minggu."
"Mas Aksa to the point sekali," Rani terkekeh kecil sambil menyelipkan anak rambutnya. "Aku, sebenarnya cuma penasaran, apa alasan Mas Aksa milih buat ngelamar aku? Bukan cuma karena udah capek diuber buat nikah, kan?"
"Memang itu alasannya," balas Aksa jujur. "Selain itu, kamu adalah kandidat sempurna yang diinginkan ibuku, Rani."
"Wah," Maharani terkekeh lagi. "Kenapa kedengerannya Mas Aksa kayak lagi manfaatin aku? Memangnya aku tipe cewek yang asal mau aja diajak nikah tanpa cinta, ya?"
"Aku nggak pernah maksa kamu," balas Aksa datar. "Kita juga udah sepakat untuk saling mengenal, tapi, bukan sekarang waktunya." Aksa bersiap untuk bangkit. "Kalau enggak ada yang mau kamu omongin lagi, aku pergi dulu."
"Mas Aksa emang udah biasa ya?" kata Rani, membuat Aksa berhenti dan memandangnya. "Nawarin pernikahan kayak bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak?"
"Kalau kamu mau menganggap seperti itu, silahkan," balas Aksa, lagi-lagi dengan nada datar. Aksa memang bukan tipe pria yang bisa manis untuk menyenangkan lawan jenis. Ia lebih suka menjadi jujur dan apa adanya. "Yang perlu kamu tahu, Rani. Kita punya satu kesamaan," Aksa menatap Rani tepat di mata. "Aku, juga berniat untuk menikah satu kali seumur hidup. Kenapa kita nggak nyoba aja? Siapa tahu berhasil. Kamu juga masih punya waktu dua puluh enam hari untuk memutuskan lanjut atau tidak. Kamu yang mengambil keputusan, Rani. Dan aku nggak pernah maksa kamu."
"Baik," Rani ikut berdiri dan memandang Aksa sambil tersenyum tipis. "Sampai jumpa hari Sabtu, Mas Aksa. Aku harap, kita bisa nemuin lagi kecocokan-kecocokan satu sama lain."
Aksa mengangguk singkat. "Mau kuantar?"
"Boleh," balas Rani dengan senyum manisnya.
****
Aksa tiba di rumahnya pukul tujuh malam. Di ruang keluarga, tampak Ayah dan Bunda yang sedang menonton TV dengan Chika yang berada di tengah-tengah. Sementara itu, dari arah dapur terdengar suara Naren dan Sashi yang sedang berdebat.
Bukankah, keluarga Aksa terlihat sangat sempurna? Ia punya orangtua lengkap, seorang adik perempuan cantik, adik ipar kaya, dan dua keponakan yang lucu. Kemudian setelah Aksa menikah nanti, kehidupan keluarganya akan bertambah sempurna. Ibunya, juga tidak perlu pusing-pusing lagi memikirkan calon istri untuknya.
Karenanya, Aksa harus bisa meyakinkan Maharani untuk tetap tinggal di sampingnya. Namun, dengan cara apa?
Aksa bukan tipe pria yang pandai merayu wanita. Aksa juga tak punya teman yang cukup dekat untuk berbagi rahasia. Sementara bertanya pada Naren hanya akan membuat Aksa malu. Jika pada akhirnya Rani menolak karena sikap Aksa yang terlalu jujur dan to the point, Aksa tidak bisa berbuat apa-apa selain mencari kandidat calon istri lain.
Aksa mengambil napas dalam dan memilih untuk menghampiri orangtuanya di ruang tengah.
"Selamat malam, semuanya," sapa Aksa ramah. Ia meletakkan paperbag berisi cokelat dan kue balok pesanan Sashi ke atas meja. "Aku bawa oleh-oleh. Sebenernya pesanan Sashi tapi, boleh kalian makan."
"Isinya cokelat yang kayak kemarin ya Pakde?" tanya Chika antusias. Ia langsung meletakkan remot TV-nya dan membuka paperbag, menemukan dua kotak cokelat yang dibungkus dengan pita cantik. "Wah, beneran, kayak yang kemarin. Aku suka banget sama cokelatnya, Pakde."
Bunda ikut melihat isi paperbag dan mengeluarkan kardus berisi kue balok. Ia menatap Aksa. "Tumben kali kau bawa-bawa cokelat pulang. Dari toko mana?"
"Ada, tadi temennya Sashi yang nitip," balas Aksa singkat. "Bunda jangan kebanyakan makan cokelat, nanti gula darahnya naik. Ayah juga."
"Kuenya nggak terlalu manis ini," komentar Ibu Ratu. "Enak kali, aku dapat yang isian selai kacang. Ayah, kau coba lah itu satu. Pintar kali ini temannya Sashi buat."
"Kalau begitu Aksa pamit ke atas dulu, mau mandi," Aksa mengangguk dan bersiap pergi. Tetapi kemudian, pertanyaan Bunda Ratu membuat langkah Aksa terhenti, sejenak,
"Kau, sudah lamar Maharani, kah? Sudah setuju? Kapan kita ke rumah dia buat lamaran? Ibunda sudah tak sabar ini."
Aksa, harus menjawab apa?