Tidak Ada Bedanya, Sama-sama Gila.

1490 Kata
Renisha sedang membantu mengemas cheese stik untuk pesanan snack yang akan dikirim besok pagi. Ada dua ratus boks yang mereka harus buat. Sebagian ada yang berada di dapur untuk membuat donat, adonan pizza mini, dan kulit pastel. Semalam, Renisha tidak pulang dan memilih lembur untuk membuat kue balok gula merah dan cokelat praline pesanan Aksa. Ia tak mau Aksa kecewa karena sudah datang jauh-jauh ke sini di sela-sela waktu istirahat makan siang. Awas saja sampai cowok itu tidak datang. Renisha, akan benar-benar membencinya. Atau kalau perlu, ia akan menghampiri kantor Aksa dan mengejutkan cowok itu, biar tahu rasa sekalian. "Mbak Ren, ada yang nyariin di depan," kata Bu Retno, karyawan Renisha yang sudah berusia setengah baya. Padahal Renisha sudah menyuruhnya untuk memanggil dengan namanya saja, tetapi Bu Retno tetap bersikeras. Renisha bangkit dari posisinya dan menepuk-nepuk roknya yang terkena remahan cheese stik. "Siapa?" "Nggak tahu, Mbak, cowok ganteng banget. Orangnya putih, pakai kemeja garis-garis," kata Bu Retno jail. "Pacarnya ya?" Pasti, yang Bu Retno maksud itu adalah Aksa. Renisha melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul setengah ssetengah dua belas siang. Kenapa, cepat sekali datangnya? Apa Aksa sengaja istirahat makan siang lebih awal untuk bertemu Renisha? Apa? Bertemu? Aksa cuma mau kue balok dan cokelat praline! Pertanyaan Renisha langsung terjawab saat menemukan seorang pria sedang memunggunginya. Pria itu memakai kemeja garis-garis seperti yang dideskripsikan Bu Retno. Dari perawakannya yang tidak terlalu tinggi, sepertinya bukan Aksa. Potongan rambut Aksa juga tidak norak seperti itu. Namun, siapa? Renisha tak punya banyak teman laki-laki yang akan mengunjunginya sampai ke toko. "Permisi," kata Renisha, meminta atensi. Pria itu langsung berbalik dan bersitatap dengannya. Bola mata Renisha seketika melebar terkejut. Ia bahkan sampai mundur satu langkah. Bagaimana bisa, cowok sialan itu bisa berada di sini? Jangan-jangan, Nathan... Awas saja, kalau sampai adik rese-nya itu yang memberitahu, Renisha tidak akan segan untuk mengurangi uang saku dan mencabut wifinya! Biar tahu rasa. Rudi, mantan terakhir Renisha yang paling jelek dan anak mami menatap Renisha dengan senyum lebar. Sangat lebar hingga Renisha khawatir jika bibirnya akan robek. "Halooo, Renisha. Kita ketemu lagi," katanya riang, tanpa dosa. "Atau aku harus panggil, Bee?" Renisha tersenyum sinis. Panggilan menjijikkan itu. Renisha ingin muntah saat mendengarnya. "Kenapa lo bisa ada di sini, sialan?" "Woah, be calm," Rudi tersenyum geli sambil mengangkat kedua tangannya. "Aku ke sini nggak ngajakin perang kok." ia kemudian melirik papan nama 'Renisha Catering' di sudut kanan rumah. "Aku ke sini mau pesan 300 boks snack buat acara pengajian ibukku minggu depan. Siapa yang sangka jika ownernya adalah kamu? Kebetulan, kan? Mungkin karena kita jodoh?" Jodoh, katanya? "Berarti kalau lo nggak sengaja ketemu babi di jalan, dia juga jodoh lo?" kata Renisha tajam. Kedua bola matanya menyorot tidak suka. Tangannya bersedekap. Renisha hanya mengakui pertemuan tidak sengaja lebih dari tiga kali sebagai jodoh. Seperti ia dan Aksa. Namun, bukan pengertian jodoh untuk menjadi pasangan yang Renisha pikirkan, hanya sekadar cocok untuk berteman saja. Sementara itu, Rudi jelas sengaja datang untuk mengkonfrontasi Renisha, mengingat ia baru bercerai dengan istrinya sebulan lalu. Cowok itu pikir, Renisha akan peduli? Ia pikir, Renisha akan dengan senang hati melompat ke dalam pelukannya? Najis. Renisha lebih baik memeluk anjing. Bukannya merasa tersinggung, Rudi malah tertawa renyah, tawa yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Renisha. "Aku selalu suka sama kalimat tajammu, Renisha. Rasanya sudah lama sekali aku nggak dengar." Renisha memutar bola mata. Dasar sialan. "Jadwal buat minggu depan udah penuh. Silahkan Anda pesan ke tempat lain." "Oh ya?" balas Rudi, keningnya berkerut. Ekspresi wajahnya kelihatan sekali jika sedang pura-pura polos. "Padahal aku tanya ke bagian toko, untuk minggu depan masih bisa pesan kok. Apa kalian nggak bisa koordinasi makanya bisa beda informasi?" "Lo tahu kalau gue sengaja," Renisha menggertakkan gigi menahan amarahnya yang akan meledak. "Nggak usah pura-pura t***l. Cari aja tempat lain. Gue nggak sudi nerima pesanan dari lo meski lo bayar berapa pun." "Sayangnya, aku udah pesan, tanda tangan dan bayar lunas semuanya," Rudi menyeringai lebar. "Bukannya kamu harus bayar ganti rugi lima kali lipat kalau mau batalin pesanan pelanggan?" "LO!" Renisha mengangkat tanggannya hendak menampar, tetapi kemudian menahan diri. Ia tidak boleh gegabah, sebab Rudi bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Kenal cowok itu bertahun-tahun membuat Renisha paham betul dengan sifat liciknya. Renisha bahkan masih sering menyalahkan diri sendiri, bisa-bisanya mau pacaran dengan cowok sialan ini. "Aku pengin kamu sendiri yang datang buat nganter pesanan," kata Rudi lagi, dengan senyum penuh kemenangan. "Aku, udah nggak sabar buat ketemu kamu lagi, Renisha. Aku kangen sama masa-masa dulu pas kita masih pacaran." Cowok itu memiringkan kepala dan menatap Renisha tidak sopan dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. "Kamu, kelihatan makin cantik dari terakhir kali ketemu. Gimana kalau kita pergi kencan lagi?" Kali ini, Renisha tidak bisa menahan diri lagi. Ia melayangkan tamparan ke pipi Rudi, hanya saja cowok itu terlalu sigap dan memegang pergelangan tangan Renisha. Cengkeramannya terlalu kuat hingga Renisha harus meringis menahan sakit. "Nggak usah munafik, Renisha. Kamu masih belum menikah meski udah empat tahun berlalu, pasti karena masih mencintaiku kan?" Rudi berujar percaya diri. Ekspresi cowok itu terlihat seperti preman miskin c***l di mata Renisha. "Kenapa kita nggak sama-sama jujur aja? Jujur, kalau kita masih saling mencintai." "DALAM MIMPIMU!" Renisha menyentak tangannya keras dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Rudi. Dan, benar saja, pergelangan tangannya langsung memerah. "Ayahku udah bukan anggota DPR lagi sekarang," kata Rudi cepat. "Aku nggak peduli sama reputasi. Yang aku inginkan cuma kamu, Renisha." Setelah apa yang Rudi lakukan empat tahun lalu, dan dia dengan gampangnya berujar seperti itu? Dia gila, ya? Di mana rasa malu dan rasa bersalahnya? Renisha hanya manusia biasa yang bisa merasa sakit hati dan kecewa. Ia bukan barang yang bisa dibuang lalu kemudian dipungut lagi sesukanya. Mentang-mentang orang kaya, jadi bisa bertindak semena-mena? Renisha yang sekarang, bukan cewek lemah yang akan langsung takluk hanya karena embel-embel kata cinta. "Di mata gue sekarang, lo cuma sampah," kata Renisha, dengan nada tegas tak terbantahkan. Ia kemudian melihat Aksa yang baru saja keluar dari mobilnya. "Lagipula, gue udah punya calon suami. Dan dia berkali-kali lipat lebih kaya dan lebih tampan dari pada lo, jadi, mending lo pergi aja." "Kamu pikir aku percaya?" balas Rudi marah. Ia mencengkeram pergelangan tangan Renisha lagi, dan Renisha berusaha melepas sekuat tenaga. "Aku udah nyelidikin kamu sebelum ke sini. Dan kamu nggak kelihatan dekat sama cowok lain. Kamu, terlalu sibuk dengan bisnis dan kuliah. Kamu ngelakuin itu karena pengin bisa setara sama aku, kan?" Bola mata Renisha membeliak. Bisa-bisanya, dia memandang Renisha serendah itu! "Enggak!" balas Renisha cepat, masih mencoba melepaskan tangannya. "Kenapa gue harus bersusah payah demi cowok b*****t kayak lo? Gue ngelakuin itu demi diri gue sendiri!" Saat itulah, mata Renisha bertemu tatap dengan Aksa. Renisha langsung memasang ekspresi memohon, berharap Aksa bisa menolongnya dari cengkeraman Rudi. Namun, Renisha juga merasa sedikit khawatir. Bagaimana jika Aksa bersikap dingin, tak acuh dan malah mempermalukan Renisha di hadapan Rudi? Renisha, pasti tidak akan berani menunjukkan mukanya lagi di depan Rudi. "Kamu nggak lihat kalau dia sedang kesakitan?" Aksa tiba di depan Renisha dan menatap Rudi dengan sorot dingin. Khas Aksa sekali. Rudi langsung melepaskan tangannya dan balas memandang Aksa dengan tatapan menantang. "Lo siapa? Punya hak apa lo ngelarang gue?" Renisha buru-buru berdiri di belakang Aksa seolah sedang melindungi diri. Namun, Renisha tak berani terlalu dekat dengan Aksa, takut jika cowok itu akan bergerak menjauh. Sampai sekarang pun, Renisha belum pernah sama sekali menyentuh kulit Aksa. "Ini cowok yang gue bilang tadi," kata Renisha cepat. Aksa meliriknya dan mata Renisha menyiratkan permohonan. Ia kemudian balik menatap Rudi, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. "Mending lo pergi aja. Lo, nggak bakal bisa menang lawan Mas Aksa." Beruntung, Aksa hanya diam dan tidak berkomentar. "Oh ya?" Rudi menatap Aksa sinis. Agak mendongakkan kepala karena ia tak lebih tinggi dari Aksa. Namun, itu sama sekali tidak memudarkan rasa percaya dirinya. "Let see." Pada akhirnya, Rudi berbalik dan pergi menuju mobil pajero-nya yang terparkir tak jauh dari rangover milik Aksa. Renisha menghela napas lega. Kedua bahunya langsung terkulai. Astaga, yang tadi itu, nyaris membuat Renisha gila. Terima kasih untuk Aksa yang datang di saat yang tepat dan tidak menggunakan mulut tajamnya untuk mempermalukan Renisha. Aksa, harus mendapat hadiah sebagai imbalan. "Aku udah nyiapin pesanan kamu," kata Renisha, sambil tersenyum lebar saat bersitatap dengan Aksa. "Ayo, kita masuk dulu." Aksa mengerjab. Matanya melirik ke bawah. "Tanganmu... nggak apa-apa?" Perkataan Aksa membuat Renisha agak terkejut. Tak ia sangka jika Aksa akan basa-basi bertanya. Ia kemudian tersenyum manis dan menunujukkan pergelangan tangannya. "Emang agak merah, tapi enggak apa-apa. Besok juga sembuh kok." "Saya mau beli cheese stik yang kayak kemarin," kata Aksa tiba-tiba. "Dua kilo. Apa bisa langsung saya bawa hari ini?" Renisha mengerjab dan memandang Aksa penuh tanda tanya. Dia pikir, Renisha cuma jualan cheese stik? Mana bisa pesan langsung jadi. Ternyata, Aksa dan Rudi sama saja. Sama-sama gila. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN