Butiran keringat mengalir deras di pelipis Nastiti. Rasa takut dan ngeri mengintimidasi mentalnya sejak memasuki ruang interogasi. Seorang polisi berpenampilan seram terus membombardirnya dengan sejumlah pertanyaan yang membuat keringat dingin semakin membasahi tubuhnya. Tiga jam lamanya ia berada di sana, mencoba tetap waras dan menjawab segala tanya dengan akal sehat yang tersisa. Sekuat tenaga mengabaikan setiap emosi yang pasti akan memperumit situasi. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, wanita itu ingin menangis, mempertanyakan maksud Tuhan atas musibah yang menimpa hidupnya. Kenapa ini terjadi? Kenapa aku melalui nasib seperti ini? Tapi, lagi-lagi, tidak ada waktu untuk menangis. Tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Polisi-polisi itu datang lagi. Kali ini sambil membawa