5

2073 Kata
Dahulu, Mia sangat menyukai pekerjaannya sebagai penulis di Intermezzo; bahagia jika mendapat tugas lapangan mewawancarai seseorang, entah itu artis atau orang biasa; tidak pernah mengeluh saat mendapati jam kerjanya hingga tengah malam; senang ketika diminta mengedit suatu artikel walau sebenarnya tugas itu bukan miliknya. Segala kenikmatan menjadi seorang penulis kini telah sirna. Lenyap. Musnah. Hancur. Mia tidak peduli pada pilihan kata mana pun yang akan digunakan untuk mendeskripsikan keresahan hatinya. Yang jelas, pekerjaan di Intermezzo tidak akan senikmat seperti sebelumnya.  Memandang layar monitor, Mia tidak mampu memfokuskan pikiran. Kalimat-kalimat yang ada di layar seolah mengedip-ngedip genit, atau itu hanyalah ilusi yang diciptakan oleh Mia yang mulai mengalami sindrom “saya sudah mulai merasa bosan dengan pekerjaan saya”.  Mengedipkan mata, Mia berusaha mengarahkan segala upaya untuk tetap sadar. Hari ini dia ingin pulang lebih cepat. Tidak ada kata lembur, Mia tidak ingin berlama-lama di kantor.  Kembali, Mia meletakkan jemari di atas keyboard dan mulai mengetik.  “Mia,” panggil sebuah suara. Suntuk. Setelah beberapa menit Mia tak mampu menulis, kini seseorang harus datang merusak konsentrasinya. Mendongak. Mia mencoba melihat siapa gerangan yang berani mengganggu pekerjaannya. “Ya,” jawab Mia. “Ton, ada apa?” Toni, si tangan kanan Rafael. Pria itu terlihat membawa beberapa tumpuk map aneka warna. Waswas, Mia merasakan firasat buruk. “Pak Rafael memerintahkan saya untuk memberikan artikel ini.” Kali ini Mia benar-benar pias. Toni sama sekali tidak peduli pada perubahan air muka Mia. Pria itu dengan wajah tak berdosa meletakkan tumpukkan map di atas meja Mia.  “Cek dan edit artikel-artikel ini,” perintah Toni.  Setelah berkata demikian, Toni akhirnya melenggang pergi meninggalkan Mia dengan derita tak tertahankan. “What the,” umpat Mia. “Ini harusnya bagian Adam!” Miranda dan Nayla langsung menghampiri kubikel Mia. Mereka berdua hanya bisa melongo menatap tumpukan map yang teronggok di meja Mia.  “Bukannya editing itu bagiannya Adam?” kata Nayla. “Dia kan editor yang biasa ngerjain tugas semacam ini.” Miranda mengangguk. “Jangan-jangan ini akal bulusnya si Toni aja. Mia, kamu nggak bikin salah apa pun sama Toni, kan?” “Salah gimana?” sembur Mia. “Ini benar-benar, musibah. Astaga, segini banyaknya?” “Sudahlah,” ucap Miranda menenangkan. “Aku yakin kamu bisa ngerjainnya.” “Atau,” sela Nayla. “Kamu harus mulai memikirkan pekerjaan lain.” Dan Nayla pun mendapatkan pelototan dari Mia. *** Menurut ramalan perbintangan, khusus bagi para manusia yang berada di bawah naungan zodiak sagitarius, mereka harus lebih berhati-hati karena akan ada banyak kejadian yang tidak menyenangkan hati. Awalnya Mia tidak peduli, dia adalah manusia yang percaya pada ilmu kedokteran dan bukti konkret. Hingga hari ini; tak satu pun artikel yang berhasil diselesaikan, artikel mengenai tas yang harus dia revisi karena mendapat banyak tanda mata berupa spidol merah dari Adam sang editor, dan kini, yang terburuk, tumpukan map berisi artikel yang harus Mia edit dan sortir. Cukup sudah.  Melirik jam yang ada di monitor, angka menunjukkan 22:57. Sudah hampir tengah malam dan Mia tidak mungkin berani menelepon Papa untuk meminta jemput. Melirik ke kubikel seberang, Mia hanya bisa melihat dua kubikel yang masih dihuni, dan sayangnya kedua kubikel berpenghuni itu bukanlah milik Miranda atau Nayla. Artinya, Mia tidak bisa meminta tebengan kepada siapa pun. Pilihan yang tersisa hanyalah kendaraan umum. Mia mencoret angkot, bus, dan ojek dari daftar pilihan. Dia tidak berani mengambil risiko pulang tengah malam bersama segala kemungkinan buruk yang berseliweran di sana; jambret, lelaki hidung belang, gendam, dan penculikan. Taksi, pikir Mia. Setidaknya taksi adalah salah satu transportasi umum yang aman, walau itu juga berarti dompet Mia akan menangis pilu ketika pundi-pundi rupiahnya tercurah sekian banyak ke tangan pak sopir. Menghela napas, Mia mulai merapikan kertas-kertas yang ada di atas meja. Mematikan monitor dan CPU, lalu setelah memastikan tidak ada benda yang tertinggal, Mia pun meninggalkan kubikel. Beberapa lampu sudah dimatikan, hanya ada lampu utama yang digunakan untuk menerangi koridor dan selasar yang masih menyala. Mia benar-benar tidak suka sendirian. Menurut kabar burung yang beredar, sering terjadi penampakan di sekitar lift. Sebenarnya Mia ingin turun menggunakan tangga darurat, namun Mia pun sudah memastikan bahwa keadaan penerangan di sekitar tangga darurat juga tidak bagus. Maka dengan berat hati Mia memberanikan diri menggunakan lift. Mia gusar, khawatir jika lift yang dipilihnya adalah lift keramat yang dikatakan berpenghuni.  Mengusir bayangan buruk, Mia memencet tombol yang ada dan menunggu.  Terdengar suara keletak sepatu, ketika Mia menoleh, terkejutlah dia mendapati sosok Rafael yang kini berdiri di sampingnya. Berbeda dengan penampilan Mia, Rafael terlihat segar seolah ia tidak melakukan hal apa pun; kemeja, jas, serta dasinya terlihat serapi biasanya. Mia bisa mencium aroma musk. Tampaknya Rafael tidak membawa tas apa pun seperti yang kebanyakan dibawa oleh beberapa pegawai pria. Perbandingan ini membuat Mia merasa ciut. Kemeja Mia terlihat lusuh dan berkerut karena dia harus bolak-balik ke kubikel dan ruangan Adam, lalu rambut Mia pun sudah kusut masai. Astaga, apakah Rafael ini manusia setengah dewa?  Terdengar suara denting, pintu lift pun terbuka. Mia dan Rafael segera menghambur masuk ke dalam lift. Mia langsung memencet tombol tanpa peduli bahwa ia tengah bersama atasannya. Gadis itu pun segera menjauh dari Rafael dengan cara berdiri di pojok ruangan. Seharian mengalami berbagai hal buruk sudah pasti akan mengubah cara seseorang bersikap, terlebih lagi jika orang tersebut dalam keadaan lapar. Mia menggigit bibir bagian bawah, naga-naga yang ada di perutnya pun mulai memberontak; meminta tumbal untuk dihidangkan. Memegang perut. Mia menahan rasa perih yang mulai menyerang. Dari pantulan dinding lift, Rafael bisa membaca ketidakwajaran pada air muka Mia. “Kamu pulang naik apa?” “Bukan urusan Bapak,” jawab Mia, ketus. Andai yang ada bersama Mia saat ini bukanlah Rafael, mungkin Mia akan bersikap sedikit lebih halus. Namun ini Rafael, sumber dari segala petaka yang menimpa Mia, satu-satunya iblis berwujud lelaki seksi yang senang menggoda Hawa, dan mahluk ciptaan Tuhan yang harus dijauhi. Dengan berbagai macam alasan, Mia menganggap Rafael sebagai bakteri yang harus segera dibinasakan. Alih-alih marah, Rafael menampilkan senyum yang memikat. “Akan jadi urusan saya jika itu menyangkut bawahan saya.” Untuk beberapa saat, Mia merasa perutnya dihuni ratusan kupu-kupu yang mulai menari bahagia. Menggelengkan kepala, Mia kembali memfokuskan pikiran. “Saya bisa menjaga diri.” Terdengar suara keruyuk. Hening.  Mia ingin menggali lubang antardimensi dan melarikan diri. Sungguh memalukan. “Kamu lapar?” tanya Rafael. “Nggak,” kilah Mia, “saya tidak lapar. Mungkin Bapak salah dengar.” Terdengar bunyi keruyuk susulan. Kali ini Mia hanya bisa menunduk menahan malu. “Pulang denganku,” ajak Rafael. “I will treat you.” Mendongak. Mia kembali menolak, “Nggak usah.” Terdengar bunyi berdenting. Pintu lift terbuka dan Mia langsung menghambur keluar. Dia bergegas meninggalkan Rafael di belakang. Hingga pergerakkan Mia terhenti ketika dia merasa seseorang mencengkeram lengannya. Tubuh Mia disentak hingga ia berbalik dan menghadap wajah Rafael yang kini menatap bingung pada Mia. “Dear God,” keluh Rafael, “ada apa denganmu, Mia?” Beruntung tidak ada orang di sekitar mereka karena Mia tanpa ragu membentak, “Lepas!” “Nggak,” tolak Rafael. “Sebelum kamu menjelaskan segalanya.” “Apa yang harus aku jelasin?” “Semuanya.” Mia berusaha menepis cengkeraman Rafael, namun Mia hanya bisa meringis sakit ketika Rafael mempererat cengkeramannya. “Lepas.” “Mia, apa kamu masih dendam?” “Dendam?” ucap Mia histeris. “Rafael, coba kamu bayangkan tiga tahun masa SMP-mu sekelas dengan bocah badung yang senang menindas. Dendam katamu? Apa yang kamu lakuin ke aku itu lebih dari sekedar dendam. I hate you.” Kembali, senyum Cassanova menghias wajah Rafael. “Hanya gara-gara itu?” “Sekali lagi kamu bilang, ‘hanya gara-gara itu’ aku tidak akan segan menginjak kakimu hingga bengkak.” Terdengar suara keruyuk untuk ketiga kalinya. Bungkam. Mia hanya bisa menggigit bibir, naga-naga di perutnya benar-benar tidak ingin berkompromi. “Mia, sebaiknya kamu dengarkan nasihatku. Dan setelah itu, kamu boleh melakukan tindakan kriminal.” Melotot. Mia akhirnya menerima ajakan Rafael. *** Rafael mengajak Mia ke sebuah kafe. Di sana tampak beberapa pengunjung yang sibuk dengan kegiatan mereka; ada yang menatap ponsel, ada yang terlihat serius dengan laptop, ada yang duduk diam sembari menikmati makanan yang ada, dan ada pula yang bercanda gurau. Terlebih lagi suasana kafe yang sangat cocok untuk terapi penghilang stres. Meja serta kursi dengan nuansa cokelat dan putih yang mengisi ruangan, masing-masing meja dihias dengan sebuah vas lengkap berserta setangkai mawar, lampu berbentuk bulat yang membuat orang sekitar merasa teduh, dinding-dinding dihias dengan lukisan alam, ditambah dengan alunan musik dari seorang pianis; maka lengkap sudahlah kesempurnaan malam. Rafael memilih meja yang berada di bagian tengah. Kebetulan malam ini kafe dipadati dengan pengunjung, maka mereka berdua—Mia dan Rafael—harus puas dengan pilihan yang ada.  Seorang pelayan berusia sekitar dua puluhan datang menghampiri. Pemuda itu memberikan buku menu kepada Mia dan Rafael. Rafael tanpa ragu menyebutkan sebuah nama yang kemudian langsung dicatat oleh sang pelayan.  “Bagaimana dengan Nona?” tanya si pelayan pada Mia. Jujur. Mia bingung dengan pilihan menu yang ada. Penggunaan bahasa asing, yang Mia curigai akan sulit untuk melafalkannya, membuat Mia mengurungkan niat untuk memesan. Bukan hanya itu, kebanyakan menu tidak menampilkan harga makanan yang ada. Jelas, ini menambah kecurigaan Mia. Bagaimana jika ia memilih salah satu makanan yang ternyata tidak sesuai dengan standar dompetnya? Heran, tampaknya yang berkunjung di kafe ini hanyalah orang-orang tertentu saja. Jenis-jenis manusia berpenghasilan tinggi yang sama sekali tidak memedulikan harga barang serta lebih mementingkan kualitas dan rasa.  Horor. Rasanya Mia telah melakukan kesalahan dengan menerima tawaran Rafael. Menggigit bibir, Mia menatap Rafael. “Samakan saja dengan pesanan saya,” kata Rafael. Pelayan itu mengangguk dan mulai mengulang pesanan Rafael.  “Ada yang lain lagi?” tanya si pelayan. “Itu saja,” jawab Rafael. Pelayan itu pun meninggalkan meja Mia dan bergegas ke bagian dalam. “Kamu,” ucap Mia lirih, “sengaja pamer, kan?” Rafael mengangkat sebelah alis. “Aku hanya ingin mentraktirmu. Apa itu salah?’ Mia melipat tangan. Kesal. “Kamu itu bener-bener menyebalkan.” Tersenyum. Rafael pun membalas, “Kamu itu yang terlalu gampang digoda.” “Sejak kapan?” ucap Mia. Sewot. “Aku nggak pernah cari perhatian atau modus apa pun. Coba kamu ingat-ingat waktu SMP.” “Hm, coba kuingat.” Rafael berlagak tengah memikirkan sesuatu, kemudian dia berkata, “Kamu memang individu unik yang ada di ekosistem kelas.” Ingin sekali Mia melempar vas yang ada di meja. “Itu karena kamu terlalu sering menggangguku. Bayangkan saja, siapa yang bisa menerima segala macam perlakuan itu?” “Kamu marah?” “Kamu marah?” ulang Mia. “Coba kamu bayangin sendiri hidupku waktu itu.” “Menyenangkan,” jawab Rafael. Mungkin Mia harus segera hengkang sebelum ia melakukan tindakan kriminal.  “Kamu benar-benar nggak beres.” “Memangnya kamu sendiri beres?” balas Rafael. Hilang sudah kesabaran Mia.  Bangkit, Mia mengambil ransel yang ada di atas kursi dan segera bergegas meninggalkan Rafael. Ia bahkan tak peduli pada tatapan ingin tahu para pengunjung. Beruntung Mia sempat melihat beberapa taksi yang terparkir di sekitar kafe. Namun, belum sampai Mia menghampiri salah satu dari taksi yang ada, dia merasa seseorang mencengkeram tangannya. “Apa kamu nggak tahu adat?” hardik Rafael. “Apaan, sih?” keluh Mia. “Lepas.” “Mia, kejadian itu udah lama berlalu dan kamu masih saja mendendam?” Bah. Mudah sekali Rafael mengutarakan hal tersebut sebagai “perkara yang telah berlalu dan mohon tidak usah diambil hati”.  “Rafael,” ancam Mia, “lepas atau aku teriakin maling.” “Mia,” cibir Rafael, “mana ada maling separlente aku?” “Aku nggak peduli,” desis Mia. “Lepas.” “Fine, kamu punya dendam kusumat macam kuntilanak. Aku nggak peduli. Tapi lain ceritanya kalau kamu kabur dari sana bahkan sebelum makanan yang kita pesan keluar.” “Aku nggak pesan makanan,” sanggah Mia.  Memutar mata. Rafael mulai kehilangan kesabaran, terlebih beberapa orang mulai melirik penuh minat terhadap mereka berdua. “Oke, kita pulang.” “Aku bisa pulang sendiri.” Mia berusaha menyentak cengkeraman Rafael. “Lepas.” Tidak ada pilihan. Rafael pun mengamini permintaan Mia. Begitu Rafael melepas cengkeraman, Mia langsung berlari tanpa menoleh ke belakang. Dalam hati Mia bersorak, senang karena bisa terbebas dari Rafael. Mia segera memilih salah satu taksi dan menyebutkan sebuah alamat. Duduk di dalam taksi, Mia mengembuskan napas. Lega.  Kemudian dia pun menepuk jidat.  “Gawat. Aku lupa kalau Rafael itu atasanku.” Mia akan memikirkan pilihan untuk membuat surat pengunduran diri.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN