6

1074 Kata
Seharusnya Mia tidak berlagak di depan Rafael. Tanpa pikir panjang, Mia langsung menghambur keluar dari kafe, meninggalkan Rafael. Dan kini, ketika ia berada di dalam kamar, Mia mulai dihantui perasaan cemas. Duduk sembari menatap pongah selembar kertas yang ada di atas meja, Mia mulai memikirkan rangkaian kalimat pengunduran diri. Mungkin Mia harus mulai dengan kalimat pembuka yang terdiri dari kata sapaan. Atau mungkin, dia bisa langsung dengan tulisan singkat. Saya mengundurkan diri. Menggaruk kepala. Mia merasa frustasi. Dia belum mendapatkan tempat kerja baru yang mungkin sesuai dengan kriteria; fasilitas oke, dekat dengan sarana transportasi, dan gaji. Terlebih, gaji di Intermezo terbilang cukup menggiurkan. Membayangkan Mia harus memulai segalanya dari awal membuatnya ingin mengutuk minimnya tingkat lapangan pekerjaan yang ada.  Menghela napas, Mia memutuskan untuk menyudahi kegalauan. Mungkin besok dia bisa mendapatkan pencerahan. Semoga saja. *** Ternyata kegalauan Mia semakin menjadi ketika ia tiba di kantor. Mia mendapati mejanya dipenuhi dengan tumpukan map berisi artikel yang Mia curigai sebagai kiriman Toni aka malaikat penebar kejahatan. Sedih, jika diizinkan, ingin sekali Mia melempar segala artikel yang ada itu ke tempat Adam. Mungkin pria itu jauh lebih bahagia dengan kiriman artikel tersebut. Tapi tentu saja, Mia tidak berani melempar tanggung jawab. Mau tidak mau, Mia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada. Walau beberapa kali benaknya dihinggapi bayangan surat pemecatan. Duh, kenapa penyesalan itu selalu datang di saat terakhir? Tidak. Mia tak akan menyerah, tidak sebelum ia berjuang hingga titik darah terakhir. “Mia,” sapa Nayla.  Hari ini Nayla mengenakan blus sutra hijau dengan celana hitam. Berbeda sekali dengan Mia yang selalu setia dengan celana jins dan kemeja kotak-kotak. Jikalau mereka berdua berjalan bersama di suatu keramaian, sudah bisa dipastikan mata para lelaki akan tertarik dengan Nayla daripada Mia. Realitas memang lebih kejam daripada fitnah. Mendongak, Mia bisa melihat kepala Nayla yang menyembul dari balik kubikel. “What?” “Kamu bisa bantuin aku edit artikel?” Mia menepuk jidat. Lelah. “Nay, kalau aku tidak segera menyelesaikan barisan artikel yang dikirim Toni, bisa-bisa aku disate. Ogah.” Nayla hanya menekuk bibir. Kecewa. “Aku curiga kamu pernah berbuat kesalahan, deh.” “Nay, tolong jangan membuat kesimpulan yang demikian, bikin merinding.” Mendengar komentar Mia, Nayla hanya terkikik. “Ya udah, deh. Aku tinggal yaw.” Dasar k*****t, maki Mia. Seharusnya ia tahu, Nayla hanya ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa salah satu sahabatnya tengah mengalami musibah dan dia tidak ingin menyia-nyiakan pemandangan “Mia tengah melakukan lembur”. Sahabat memang tahu benar saat di mana harus mendukung dan mendorong. Mendorong ke dalam jurang kegalauan. Sial! *** Wanita adalah mahluk yang sulit dipahami. Sangat jelas, Rafael seharusnya lebih berhati-hati dengan mahluk yang terlebih dahulu tergoda bisikan iblis untuk memakan buah terlarang. Mia, benar-benar tak bisa dipahami. Berani-beraninya dia meninggalkan Rafael di kafe, bahkan sebelum makanan yang mereka pesan dihidangkan. Benar-benar, Rafael harus melakukan sesuatu. Mudah, jika jenis wanita yang Rafael hadapi itu seperti Laila, mantan Rafael. Jenis wanita yang menyenangi benda bermerek terkenal yang jumlah dijitnya bisa digunakan untuk membeli sebuah apartemen. Tipe wanita yang senang memamerkan lekuk tubuh dan tidak ragu menggunakan segala hal yang mereka miliki untuk menarik lawan jenis. Wanita yang tidak memusingkan hubungan satu malam dan berlanjut dengan lelaki lain yang bisa menyenangkan hasrat belanja mereka. Tipe-tipe perempuan seperti itu, Rafael sudah biasa menghadapi perempuan semacam itu.  Tapi kali ini, Rafael dihadapkan dengan sesosok Mia. Teman masa SMP-nya, jika Mia berkenan diperkenalkan Rafael sebagai teman masa SMP. Tapi, sepertinya Mia tidak akan sudi disebut dengan teman Rafael. Rafael berniat memperbaiki hubungannya dengan Mia, namun apa yang dilakukan Mia?  Tidak, tidak. Seorang Rafael, pria yang tak bisa ditolak oleh wanita mana pun. Rafael tidak bisa menerima kenyataan ini.  “Pak,” panggil sebuah suara. Toni, pria berkacamata itu sudah berdiri di depan meja Rafael. Dia bisa melihat sebuah map merah yang kini ada di atas meja, menanti untuk ditanda tangani. “Oh,” kata Rafael. “Apa Mia sudah menyelesaikan artikel yang saya minta?” “Sebagian,” jawab Toni.  Dari cara Toni berucap, Rafael bisa memastikan bahwa Toni termasuk dalam golongan pria yang menyenangi segala hal yang efisien dan hanya akan berkata mengenai pekerjaan. Tidak lebih.  “Jadi dia masih belum menyelesaikan semuanya,” ucap Rafael menyimpulkan. Lalu, sebuah senyum pun muncul. Rafael yakin, malam ini Mia pasti akan lembur—menyelesaikan sisa artikel yang ada. Dan itu artinya Rafael memiliki kesempatan. *** Jam makan siang. Saatnya Mia melakukan pengisian amunisi. Tak ingin kejadian suara keruyuk terulang untuk kedua kalinya. Tidak. Itu sangat memalukan. Duduk di sebuah meja yang terletak di dekat pintu masuk kantin, Mia, Nayla, dan Miranda tampak sibuk dengan hidangan masing-masing. Miranda memesan batagor dan es teh, Nayla puas dengan nasi goreng dan es lemonnya, sementara Mia sengaja memesan dua mangkuk mie ayam dan sebotol air putih. Tidak masalah, Mia tidak takut gemuk. Adapun yang dia takutkan adalah berjumpa kembali dengan Rafael, yang omong-omong tidak bisa dihindari. Tak jauh dari meja mereka, samar-samar Mia bisa mendengar celoteh beberapa karyawati tengah berceloteh riang. Tentu saja isi pembicaraan mereka berkisar mengenai ketampanan Rafael. Bah. Mia ingin menggampar satu per satu perempuan yang ada di seberang. Berharap, dia bisa menyadarkan mereka. “Lagi-lagi,” kata Miranda memulai percakapan. “Topik mengenai Pangeran Rafael.” Nayla terkikik. Ia mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut, lalu berucap, “Dia terlalu seksi untuk ditolak.” Mia memutar mata. Jengah. “Ya, sangat seksi dan tidak bisa ditolak,” ucap Miranda mengamini perkataan Nayla. Miranda dan Nayla. Kedua manusia itu bisa sepaham untuk satu hal: lelaki. “Nay, bertobatlah.” “Auw, Mia,” kata Nayla. “Ayolah, Pak Rafael memang sulit untuk dilupakan.” Ya, benar sekali. Jika kategori sulit dilupakan yang dimaksud Nayla termasuk dalam kegiatan membuat hidup seorang Mia sengsara selama tiga tahun, mungkin jenis lelaki semacam itu patut untuk dilestarikan di sebuah marga satwa. “Nay, Mia sepertinya tidak tertarik dengan Pak Rafael.” “Mungkin dia memiliki kelainan.” “Apa perlu kita kirimkan Mia ke rumah sakit terdekat?” “Aku setuju denganmu.” “Halo,” sela Mia. “Aku masih ada di sini.” “Oke,” kata Nayla. “Jujur aja deh. Semua wanita yang ada di Intermezo pasti memiliki fantasi liar mengenai Pak Rafael.” Miranda mulai memain-mainkan ujung rambutnya. Senyum tak lekang menghias wajah ayu Miranda. “Bayangkan, seperti apa rasanya menyentuh rahang yang seksi itu.” Dimulailah sesi khayalan milik Miranda dan Nayla. Mia merasa perlu mempertimbangkan pilihan untuk mengundurkan diri. Pasti.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN