Andrea pulang dijemput oleh sopir. Dia mengamati jalanan yang sangat ramai saat sore hari. Beberapa pegawai langsung menikmati waktu bersama teman sepulang kerja, anak-anak yang menikmati waktu hangout bersama teman atau kerabat, hanya di hanya terlalu kesepian.
Sejak hamil, dia mudah lelah. Sehingga dia mengurangi aktivitasnya. Juga karena Bobby tidak mengijinkannya kemana-mana selain pergi kuliah.
Matanya tanpa sengaja melihat sosok familiar sedang berkumpul dengan segerombolan pemuda lainnya. Dia melihat ada seorang gadis sexy yang duduk diboncengan motor laki-laki yang adalah suaminya.
"Ck, dia menyuruhku tetap di rumah. Tapi dirinya sendiri asik dengan gadis lain. b******k!" Andrea cukup kesal, dia enggan melihatnya lagi. Melemparkan pandangan ke arah lain.
Agak kesal, tapi tidak tahu itu karena melihat Bobby bersama gadis lain, atau karena dia iri melihat Bobby bisa bersenang-senang, sedangkan dia dibatasi oleh keadaan.
"Dea mau pulang!" gumamnya merindukan masa-masa sebelum pernikahan.
Dia rindu kue buatan mamanya. Rindu main dengan kakaknya. Dia rindu saat mengajak teman-temannya menginap. Sekarang itu tidak bisa lagi.
Saat malam hari, Bobby baru pulang dan melihat istrinya sedang menonton film seperti biasanya. Dia tersenyum lebar saat mata mereka bertemu, tapi Andrea dengan kejamnya hanya meliriknya tanpa reaksi berarti.
"Benar-benar!" Bobby mencibir sebelum masuk ke kamar mandi.
Andrea mendongak melihat ke arah kamar mandi. Kemarahan naik di dadanya. Laki-laki itu tidak pernah berubah. Buaya tetaplah buaya, apa yang bisa diharapkan darinya?
Clak
Andrea melemparkan pena di atas meja ke pintu kamar mandi. Itu membuat orang di dalamnya terkejut. Dia membuka pintunya sedikit, dan melihat ke arah pena di lantai, menebak pena itulah yang tadi mengejutkannya.
"Kenapa kau melempar barang? Aku kaget!" tegur Bobby mengeluhkan tindakan istrinya.
"Kenapa? Yang penting aku tidak melempar pada wajahmu!" jawab Andrea ketus, dalam hatinya, "Aku sangat ingin melempar tepat di wajah jelekmu itu!"
Bobby menggeleng, dia melanjutkan untuk membasahi tubuhnya yang sudah polos. Dia mengerutkan keningnya, karena tatapan Andrea seakan dia telah melakukan kesalahan.
Saat keluar dari kamar mandi, dia tidak lagi melihat keberadaan sang istri. Kemana istrinya pergi? Dia melihat laptopnya juga tergeletak di atas tempat tidur.
Buru-buru berpakaian, Bobby keluar dari kamar ingin mencari keberadaannya. Di tangga, dia bertemu bersisipan dengan Maureen. Dan mereka hanya saling melewati tanpa menganggap keberadaan masing-masing.
Bobby menemukan istrinya sedang di dapur, ada pelayan yang tengah sibuk mengupas buah. Dia tersenyum, istrinya itu sangat suka buah-buahan. Beruntung, rumah itu tidak pernah kekurangan buah. Bahkan jika Andrea makan hingga berkali-kali pun, akan selalu ada persediaan buah lainnya.
"Wah, enak nih!" Bobby akan mencomot satu potongan buah apel, saat tangannya sudah lebih dulu ditepis oleh Andrea.
"Aduh! Kenapa di pukul?" Bobby mengulurkan tangannya lagi, tapi lagi-lagi Andrea menepis tangannya kasar.
Bobby kesal. Dia melihat Andrea dengan wkahay datarnya tidak sekalipun merasa bersalah. Dia menatapnya, ada yang aneh dengan sikap Andrea sore ini.
"Aku melakukan kesalahan?" Bobby langsung bertanya, karena akan sulit jika terus seperti itu.
"Aku tidak tahu!" jawab Andrea tanpa melihatnya.
Bobby tahu jawabannya. Saat seseorang menjawab seperti itu, artinya iya. Dan dia tidak mengingat kalau dia melakukan kesalahan.
"Jangan berbelit-belit. Katakan saja apa Keluhanmu! Wanita selalu bicara seakan tidak ada masalah, tapi pada nyatanya sikapnya menunjukkan hal lain. Aku tidak suka, jadi katakan apa masalahnya?" Bobby menyentuh bahu istrinya, agar menghadap ke arahnya. Tapi lagi-lagi tangannya tepis kasar.
"Dea!" Bentak Bobby dengan suara lebih tinggi.
Pelayan yang tengah mengupas buah saja terkejut, pisau di ditangannya hampir mengiris jarinya sendiri.
Bobby bukan tipe orang yang mudah marah. Jadi mendengarnya mengeraskan suara, membuatnya takut.
"Potong apelnya lebih banyak!" Andrea tidak menanggapi kekesalan Bobby, dia malah menyuruh pelayan untuk menambahkan potongan apelnya.
Merasa di acuhkan, Bobby tentunya kesal. Dia merebut apel yang akan dimakan oleh Andrea. Padahal itu sudah di depan mulutnya, tapi Bobby merebut dan memasukkan ke mulutnya sendiri.
Andrea tidak kesal. Dia dengan acuh tak acuh kembali mengambil potongan buah apel di piring. Seakan tidak terganggu dengan kelakuan Bobby barusan.
Melihatnya, Bobby tidak sabar lagi. Dia mengangkat istrinya dan membawanya pergi menuju ke tangga.
"Apa maumu! Turunkan aku!" Teriak Andrea memukuli Bobby.
"Diam! Kau akan jatuh nanti!" tegur Bobby galak.
Andrea masih terus bergerak ingin diturunkan. Dia tidak sudi disentuh olehnya, apalagi digendong seperti itu.
Kepala yang akan masuk dapur hampir ditabrak oleh Bobby. Untung saja dia buru-buru menyingkir. Melihat adegan itu, membuat wajah datarnya jadi sedikit menunjukkan senyum. Yang muda yang bahagia.
Mungkin pertengkaran mereka memang mengesalkan untuk keduanya, tapi sangat manis bagi yang lainnya.
"Bawakan potongan buahnya ke atas!" teriak Bobby pada kepala pelayan, dia membawa istinya naik ke lantai dua. Andrea tadinya memberontak, tapi karena takut berguling di tangga, dia jadi anteng.
Sampai di kamar, Bobby menurunkan istrinya di tempat tidur. Lalu memenjarakan di bawahnya. Tidak menindih perut, karena kakinya masih menapak di lantai.
"Katakan padaku! Apa masalahmu!" Bobby tidak membiarkan Andrea dapat mengelak, mata mereka saling bertemu.
"Apa? Kau yang bermasalah! Mengganggu ketenanganku!" Andrea menyelak galak.
Bobby gemas, dua menciumi wajah istrinya yang sedari tadi marah-marah tidak jelas. Mencium pipi, kening, hidung dan bibir berulang-ulang.
"Berhenti!" Andrea kualahan dengan serangan ciuman dari Bobby.
"Aku akan berhenti saat kau mengatakan apa masalahmya, hingga kau berani mengabaikanku!" Bobby membuat istrinya kesal, dan tidak berdaya dalam waktu bersamaan.
"Bobby!" keluh Andrea yang tadinya kesal jadi tertawa.
Bobby berhasil meluluhkan istrinya.
"Apa?" Bobby bertanya, masih belum berhenti dengan serangannya. Sampai wanita nakal itu meminta ampun.
"Kau menjilat pipiku!" Andrea mengeluhkan pipinya yang basah.
Bobby tersenyum, kemenangan ada di depan mata. Dia akhirnya berhenti, dengan bibir yang bersentuhan lembut dengan bibir sang istri. Menjilatinya, membuat Andrea mendorongnya, tapi tentu tidak membuatnya bisa pergi.
"Hukumanmu belum selesai. Kau tadi berani membentak suamimu, Hm? Maka terimalah hukumanmu!"
Meraih bibir Andrea dengan bibirnya. Membuka celah bibirnya untuk melumat bagian bawah bibirnya. Mengigit kecil dan terus melumat dalam. Ada tangan yang mencengkram lengannya kuat, Bobby menarik tangan itu, membawanya ke sisi atas kepalanya. Memasukkan jarinya diantara ruas-ruas jari Andrea.
Hukuman itu tidak menyakiti Andrea. Tapi menjadi nikmat untuk pasangan muda tersebut. Bobby baru berhenti, melihat bibir istrinya sedikit membengkak karenanya. Dia mencuri ciuman lembut sebagai penutup.
"Jangan marah lagi. Tidak baik untuk bayimu. Kau bisa memukulku seperti ini. Tapi jangan acuhkan aku. Itu menyakitkan untukku!" Bobby menuntun tangan Andrea untuk memukul pipinya, tapi sangat pelan.
Untuk Bobby, dia sudah terlalu sering diacuhkan sejak kecil. Jadi melihat istrinya mengacuhkannya, itu sangat menyakitinya dari pada pukulan.
"Maka jangan buat aku kesal!" jawab Andrea yang masih mengingat kejadian yang dilihatnya sore tadi.
"Apa yang membuatmu kesal. Katakan, apa salahku?" Bobby bertanya lembut, dia ingin mendengar keluhan sang istri.
"Tidak ada!" Andrea tidak ingin mengatakannya. Dia tidak mau dibilang cemburu, karena sebenarnya dia juga tidak tahu kenapa begitu kesal.
"Saat wanita bilang tidak ada. Maka artinya ada!" Bobby pikir Andrea akan mengatakan alasannya, karena tau terlihat sangat kesal padanya. Tapi ternyata tidak.
Tok-tok
"Tuan?" panggil seseorang.
"Buahmu datang!" Bobby bangkit dan berjalan menuju pintu. Andres cukup lega, karena pelayan datang di saat yang tepat.
___